Pembalasan
Oleh: Rinanda Tesniana
Perempuan berambut hitam pekat itu memeluk putri kecilnya yang sedang bermain di halaman. Tampak ia menghapus air mata yang menetes di pipi. Sesekali, ia berbisik pada anaknya, kemudian mereka saling melempar senyuman.
Aku menelan ludah. Ingin sekali mendekat, dan memberikan roti cokelat yang telah aku beli di toko bakery paling terkenal di kota ini. Namun, ah, sepertinya masih sama seperti semalam, semalamnya lagi, bahkan masih sama dengan seminggu yang lalu. Aku tak punya nyali.
“Om.”
Entah sejak kapan, putri kecil ini berdiri di hadapanku. Matanya yang cemerlang menatap penuh harap pada plastik berisi roti cokelat yang aku pegang.
“Om siapa?” Ia mengalihkan pandangan padaku.
“Eh, siapa nama kamu?” tanyaku gugup.
“Intan, Om. Intan lihat, Om sering banget berdiri di sini.”
Aku tersipu. Memang, sudah dua minggu aku mengamati rumah bercat kuning ini. Menatap dari kejauhan Intan dan ibunya.
“Intan!” Suara lembut perempuan itu memanggil Intan. Langkahnya lebar ke arah kami. Sorot matanya ketakutan saat melihat Intan berbicara denganku.
“Makan dulu, Nak,” ujarnya.
“Tapi, Intan mau roti itu, Bu.” Bocah kecil itu menunjuk tanganku.
Perempuan cantik di depanku tampak tidak nyaman.
“Maaf, Bapak siapa?”
“S-saya, saya teman Handoko.”
Mendung langsung menggelayuti mata indah itu. Ia menatapku nanar.
“Maafkan Mas Handoko kalau ada salah, Pak. Beliau sudah berpulang sebulan lalu,” desisnya.
“Saya tahu, Mbak. Handoko menitipkan anak dan istrinya pada saya. Eh, m-maksudnya, sebelum meninggal beliau sempat berpesan begitu.” Aku berkata cepat, takut rasa was-wasku tertangkap olehnya.
“Benarkah? Bapak sempat bertemu dengan dia sebelum dia …, dia.”
“Ya sudah, Mbak. Ini untuk Intan. Saya pamit dulu.”
Aku menaiki Toyota Vios yang baru aku beli sebulan lalu. Menekan pedal gas sedalam-dalamnya. Aku takut, tak mampu lagi menjawab pertanyaan wanita itu.
Sejak hari itu, aku datang setiap hari ke rumah wanita itu–Sukma namanya. Intan senang sekali setiap aku datang, sebab aku datang tidak pernah dengan tangan kosong. Paling tidak, sebungkus es krim aku bawakan untuknya.
Kali ini, aku mengajak Intan dan Sukma berjalan-jalan menggunakan sedan hitamku. Intan senang sekali, pun Sukma. Wajah pucatnya seketika bercahaya.
Intan berceloteh tentang apa saja. Aku dan Sukma menanggapinya sesekali. Hingga gadis kecil itu mengantuk dan tertidur di jok belakang.
Hening menyergap antara aku dan Sukma. Suasana mendadak kaku. Sesaat.
“Aku selalu teringat Mas Handoko, Sam,” ucapnya lirih.
Aku menelan ludah. Terbayang wajah pria berkulit sawo matang itu.
“Dia pria baik, Sam. Sangat baik. Bagaimana saat terakhir kamu berjumpa dia? Dia mengatakan apa tentang aku?”
“Dia gak bilang apa-apa. Hanya bilang, ng, dia sayang kamu dan Intan.”
“Aku tahu, Sam,” isak Sukma. “Dia baik, soleh, dan selalu berjuang untuk keluarga kami. Aku gak habis pikir, Sam, ada orang yang tega melakukan itu pada Handoko.”
“Sudahlah! Suamimu sudah tenang di sana,” bujukku.
“Tapi, Keparat itu belum ditemukan. Tidurku belum tenang.”
Aku menelan ludah.
“Aku tak bisa membayangkan, sakitnya akhir hidup Mas Handoko. Bayangkan, Sam, tujuh tusukan di kepala, belum lebam di seluruh badan.”
Keringat dingin mengalir di punggungku mendengar suara Sukma yang biasa lembut, kini menyimpan kemarahan.
“Keparat itu iblis. Kalau dia mau ambil mobil Mas Handoko, ambil saja. Menjadi supir taksi online bukan satu-satunya cara. Tapi mengapa, dia membunuh Mas Handoko?” Ia mulai meraung.
Aku menenangkannya, walaupun sesungguhnya aku panik. Aku genggam tangannya. Tiba-tiba, seperti ada sengatan listrik yang mengalir dari tangan hingga ke hati. Kemudian, turun ke bagian bawah tubuhku. Sialan!
“Sukma, aku bersedia menggantikan Handoko, jika kamu siap.”
Saat itu, kami sudah tiba di depan rumahnya. Udara dalam mobil yang dingin, semakin dingin saat matanya menghujam tepat ke dalam mataku.
“Mas Handoko gak akan terganti, Sam.”
“Kasihan Intan, Ma.”
Sukma terdiam. Aku memang sangat dekat dengan Intan. Anak itu pasti menjadi salah satu pertimbangan Sukma dalam mengambil keputusan.
“Aku tahu, kasih aku waktu. Kuburan Mas Handoko belum kering, Sam.”
Sukma benar. Mungkin aku yang terlalu cepat.
***
Tiga bulan, aku masih belum bisa tenang menjalani hidup. Kasus Handoko masih hangat dibicarakan. Sementara itu, Sukma belum juga menerima lamaranku. Padahal, aku sangat ingin menikahinya, membahagiakannya, menebus semua yang tak sempat Handoko berikan.
Handoko. Tengkukku bergidik saat mengingat kali terakhir aku berjumpa dengannya. Dia menangis, dan memohon. Tapi, aku kalut, bayangan hutang yang sudah melilit pinggang membuatku gelap mata. Ditambah teror dari para debt collector yang tak putus asa mempermalukanku, membuat akalku tak mampu bekerja dengan lancar.
Handoko bahkan rela menyerahkan mobilnya, dengan syarat, aku tak melenyapkan nyawanya. Dia menyebut nama Sukma dan Intan berkali-kali. Hatiku sudah tertutup rapat, lengkingan kesakitan Handoko seakan tak terdengar. Jenazahnya aku buang ke jurang yang berjarak seratus kilometer dari gubuk di tengah kebun sawit, tempat aku menghabisinya.
Ketika berita kematian itu viral, aku merasa berdosa saat melihat wajah Sukma dan Intan menangis histeris di layar kaca. Aku, yang biasanya tak memiliki nurani, jatuh iba untuk pertama kalinya pada Intan. Pun jatuh cinta pada Sukma. Karena itulah aku mendatangi mereka setiap hari, hingga akhirnya Sukma membuka hati sedikit demi sedikit. Ia mulai jarang membahas Handoko.
Saat kami menikah, aku merasa seluruh dosaku telah diampuni. Sebab aku bersumpah dalam hati, tak akan pernah menyakiti Intan dan Sukma. Aku akan membahagiakan mereka, bekerja sebaik-baiknya. Menebus segala dosa yang telah aku lakukan pada Handoko.
Malam pertama kami berlangsung dengan mendebarkan. Aku tak sabar, memiliki Sukma sepenuhnya, lahir dan batin. Sukma masuk ke kamar, setelah menidurkan Intan. Perempuan itu tersenyum malu-malu padaku.
“Aku punya kejutan,” ujarnya manis.
“Apa?” tanyaku, tak sabar.
“Masuklah!”
Seorang lelaki berpakaian hitam masuk ke kamarku. Bibirnya hitam dan rambutnya berwarna putih.
“Siapa dia?” Aku menatap Sukma dengan heran.
Sukma tersenyum. “Dialah yang akan membalas semuanya, Sam. Nyawa harus dibayar nyawa.”
Dadaku berdebar kencang. Apa maksud Sukma?
“Silakan, Pak!” Sukma duduk bersila di lantai.
Lelaki itu membakar kemenyan, membaca doa entah apa, kemudian, seluruh tubuhku terasa panas seperti terbakar. Kulitku melepuh. Aku ingin berteriak, tapi seperti ada duri yang tersangkut di tenggorokanku. Suaraku tak bisa keluar. Sangat menyiksa.
Sejam berlalu dalam penderitaan luar biasa. Akhirnya, semua selesai. Lelaki itu menyelesaikan ritualnya. Sukma berdiri dari duduknya.
Aku tergolek lemas tak berdaya di atas kasur. Tubuhku mengeluarkan aroma daging terbakar. Sakit, sangat sakit.
“Semua belum selesai, Sam. Belum! Aku tak akan membiarkanmu langsung mati.”
Sukma menyeringai di depanku setelah kepergian pria berpakaian hitam tersebut.
“Kau tahu, wajahmu sudah kuhapal, saat polisi menunjukkan karikatur wajah pembunuh Handoko. Ketika melihatmu pertama kali, aku ingin langsung membunuhmu. Karena melaporkanmu ke polisi, tidak akan menuntaskan dendamku.”
Sukma tertawa terbahak-bahak.
“Aku telah lama menunggu, Sam. Menunggu malam pertama kita, menyiksamu perlahan, hingga kau mati dalam derita, adalah tujuanku. Lelaki tadi, ayahku. Ia pun meyakini, bahwa kau adalah pembunuh Handoko.”
Aku terjebak. Ternyata, Sukma tak sebodoh yang aku kira.
“Bapak adalah seorang dukun terkenal. Ia akan menggiringmu perlahan ke lubang kematian.”
Aku tak mampu beranjak dari kasur. Tubuhku lemah seperti tak bertulang. Suara pun tak bisa keluar.
Sukma berlalu, membawa sebuah koper besar. Aku melihatnya menggendong Intan ke arah pintu. Meninggalkanku seorang diri. Aku menahan sakit yang masih tersisa di seluruh tubuhku. Sakit yang teramat sakit. Mendadak, bayangan Handoko yang mengemis ampunku melintas.
“Ampuni aku, Sam, ampun. Intan dan Sukma menungguku,” raungnya kalau itu.
“Diam kau!”
Sabit yang aku bawa menancap tepat di ujung kepalanya. Membungkam mulut Handoko dalam sekejap. Tak lama, kepalaku seperti diiris benda tajam, tepat di ujungnya. Aku menggeliat, menggelepar, menahan sakit yang tak terkatakan.
Padang, 30092020
Rinanda Tesniana-Ibu rumah tangga yang suka membaca.
Editor: Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.