Tiara, Tujuh Belas Tahun
Tak ada acara siram tepung, siram air, atau pecah telur. Tak ada satu pun. Aku dan Jessi hanya bernyanyi-nyanyi kecil di muka kelas, Rani dan Sefta sibuk mencorat-coret papan tulis sedangkan Aisyah dan Uci masih bersetia menemani Tiara di tempat duduknya.
“Sebaiknya kita pulang, sebelum kepala sekolah tahu kita masih berada di kelas,” ucapku sambil mengawasi ruang kepala sekolah dari depan pintu kelas.
“Hari ini aku tepat tujuh belas tahun, dan aku hanya punya sepuluh ribu!” Tiara mengeraskan suaranya sembari mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu kusam lengkap dengan tambahan lem di salah satu sisinya.
“Apa masalahnya?” sahut Jessi seraya mengajakku mendekat ke arah Tiara.
“Sepuluh ribu, Je! Dimana lagi aku akan mengajak kalian makan dan merayakan hari ini?”
Kami serentak memandang heran pada Tiara. Aku menepuk-nepuk kedua pipinya demi memastikan bahwa dia baik-baik saja. Apalah artinya lembaran rupiah itu jika dibandingkan kesenangan bersama sahabat sendiri pada hari ulang tahunnya?
***
Tiara itu … sombong, jarang menyapa, tak pernah tersenyum, dan selalu sok pintar. Itulah kesan pertama yang kudapatkan saat bertemu Tiara di kelasku. Aku tak suka padanya. Dan tampaknya gadis bertubuh mungil itu juga tak suka padaku. Buktinya selama aku tak menegurnya, dia juga tak pernah menegurku. Saat bertemu, kami lebih suka untuk bersikap seperti tak saling kenal. Berbeda sekali dengan teman-temanku yang rata-rata senang bertegur sapa dan suka bercanda.
Pernah satu kali aku mencoba menegurnya. Saat itu siang hari pada jam istirahat ke dua, Tiara tampak sibuk dengan buku-buku yang berserakan di bawah kursi chitosenya—sepertinya buku-buku itu baru saja terjatuh. Dia menjawabku dengan ala kadarnya, dan setelah iu kami pun mulai mengobrol ringan, meskipun aku sama sekali tak mengubah pemikiranku tentang Tiara.
“Aku rasa kau siswa yang paling rajin membawa buku, Ra!” ungkapku.
“Seperti yang kau lihat.”
“Kau suka membaca?” tanyaku.
“Aku yakin kau tahu itu, Yu!” jawabnya sambil memandang ke arahku.
***
Walaupun aku terkadang merasa malas, tetapi seingatku aku tak pernah absen dari pertemuan dan kegiatan Rohis di sekolah. Di sanalah tempat kami sering bertukar pikiran, berinteraksi, berkarya, dan tentunya belajar bersama. Karena sering berkumpul di sana pulalah, aku mendadak menjadi penyuka musik rebana. Saban Minggu aku dan teman-temanku selalu berkumpul dan berlatih bermain rebana di sekolah. Perlahan-lahan aku mulai menyukai kegiatanku di Rohis bersama orang-orang yang kemudian menjadi sahabat dekatku. Salah satunya ada Tiara.
Pada awalnya aku terus memperhatikan Tiara. Penampilannya berubah, jilbabnya menjadi enam puluh senti lebih panjang daripada sebelumnya. Jujur aku tak menganggap perubahan itu sebagai perbuatan yang tulus. Mana mungkin Tiara yang hanya lulusan salah satu SMP di Lubuklinggau itu begitu cepat di berikan Tuhan hidayah untuk berjilbab syar’i. Pasti itu hanya triknya supaya menarik perhatian di sekolah.
Sebagai siswi yang sama-sama mencintai Rohis, aku dan keenam teman sekelasku, Jessi, Rani, Aisyah, Uci, Sefta, dan Tiara sudah pasti akan sering bertemu. Dugaanku benar. Salah satunya adalah ketika kamu melakukan rihlah atau tafakur alam. Pengalaman itu yang paling kukenang. Dalam kegiatan itu kami diberi banyak tantangan, salah satunya adalah menyeberangi sungai dengan menggunakan tali tambang yang dipasang melintang dengan cara diikat di kedua sisi sungai. Kami harus menyeberangi derasnya arus Sungai Kelingi di daerah Watas. Lebar sungai itu sekitar tujuh belas meter, dan terdapat banyak batu-batuan besar di antaranya. Aku melihat beberapa anggota tim keselamatan siap siaga di tepi sungai. Asal kautahu, aku tak bisa berenang, tapi aku tak mau membiarkan pengalaman berharga itu terlewat begitu saja.
Dalam tim kami hanya Uci yang bisa berenang, dia jugalah yang berjalan paling depan demi mengomandoi kami, memastikan setiap pijakan kami aman. Aku berada di posisi ketiga setelah Uci dan Tiara. Di antara semua anggota lain, ternyata tim kamilah yang dianggap paling tangkas, paling berani, dan juga paling kompak selama kegiatan itu.
Setelah rihlah itu, sebuah panggilan muncul begitu saja di antara teman-teman yang lain terhadap kami: Seven Akhwat, atau tujuh perempuan. Sampai sekarang aku tak tahu siapakah gerangan yang pertama kali menyebut kami dengan nama itu. Meskipun awalnya aku merasa risih dengan panggilan itu, tapi aku juga tak mau mempermasalahkan urusan yang sepele begitu. Terserahlah, lagipula sebutan itu lebih bermakna pujian ketimbang ejekan.
***
Entah pada pertemuan Rohis yang ke berapa, aku mulai merasa bahwa kehadiran Tiara penting. Rasanya dia tidaklah seburuk yang kubayangkan sebelumnya. Dia punya banyak sifat dan kebiasaan baik dan aku mulai tepikat pada sikap itu. Misalnya, setiap pagi menjelang pelajaran pertama dimulai dia selalu mengajakku ke musala untuk salat Dhuha. Begitupula ketika masuk waktunya salat Zuhur saat pelajaran ke tujuh. Dan perasaan itu tidak hanya dirasakan olehku saja, tetapi oleh teman-temanku yang lain juga.
Hari ini adalah tepat tujuh belas tahun setelah Tiara dilahirkan. Aku yakin selama tujuh belas tahun itu ada banyak hal tak terduga menghampirinya, mungkin mengenalku adalah salah satunya.(*)
Ayu Hanifah, lahir di Tugumulyo, Musi rawas, 2 Agustus 1998. Mahasiswi semester pertama di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta ini hobi membaca dan bercita-cita menjadi penulis.
FB: Ayu Hanifah Sy