Berdebat dengan Rohmat bukanlah perdebatan orang waras, melainkan perdebatan yang membabi-buta dan tidak pernah menggunakan logika. Jadi tidak perlu diseriusi atau disikapi dengan luar biasa, nanti kita bisa naik darah, atau bisa gila.
Entah dia mengambil sudut pandang dari mana atau cuma mengarang-ngarang saja sesuai dengan daya tangkapnya yang sederhana. Atau mungkin ia mengikuti sembarang argumentasi yang ditemukan dari medsos yang ditulis oleh segolongan orang yang menurut Rohmat adalah benar.
Contohnya, menurut Rohmat, bumi adalah sebuah bidang datar dan bukanlah bulat. Astaga! Ini sebuah pandangan yang sangat primitif. Bagaimana ia bisa berpikir seperti itu. Itu adalah hal dan sikap yang sama yang pernah diperlihatkan Nixau, seorang lelaki hitam keriting dari suku Bushman di gurun Kahalari dalam sebuah film, Gods Must be Crazy.
Dalam sebuah kejadian tak sengaja, Nixau menemukan sebuah botol kosong Coca-Cola yang jatuh dari langit tepat di depan kakinya. Lelaki yang jauh dari peradaban itu, berusaha menemukan ujung dunia untuk mengembalikan botol kepada si pemiliknya: Tuhan, pencipta alam semesta.
Tetapi itu adalah logika seorang manusia yang sama-sekali tidak pernah mengenal peradaban modern dan hidup dalam keterasingan.
Dan Rohmat … lelaki itu justru hidup, lahir, dan besar di Jakarta. Sebuah kota yang menjadi pusatnya orang-orang pandai se-Indonesia berkumpul, sambil mencari makan.
Jadi ketika lelaki itu juga mengatakan, bahwa Covid-19 dan pandemi ini adalah sebuah konspirasi dan teori bla-bla-bla, saya langsung menginterupsi, dengan segera pamit pulang dan buru-buru menghabiskan segelas kopi yang masih panas agar obrolan selesai. Ini cara paling mudah untuk menghadapi orang keras kepala.
Percakapan selesai dan tak pernah ada urat leher yang menjadi tegang. Ada kalanya kita harus mengerti dengan siapa kita bicara ….
**
Kebodohan Rohmat untuk menyerap hal-hal yang tidak masuk akal tidak berhenti di sini. Kapan kami ada kesempatan bertemu dan mengobrol, ia selalu mengucapkan sumpah serapahnya atas pandemi ini, seolah-olah di muka bumi ini, hanya ia yang paling menderita dan ia berhak untuk menyalahkan siapa saja yang patut disalahkan atas keadaan ini. Dunia di mata Rohmat mungkin cuma selebar kertas pembungkus nasi bungkus. Jadi jangan berharap lelaki ini mampu mencerna teori big-bang yang pernah dikemukakan Stephen Hawking, tentang bagaimana proses penciptaan alam semesta dimulai.
Sebenarnya wajar saja jika sekarang-sekarang ini ia sering naik darah. Saya pun masih bisa menyikapinya dengan kepala dingin. Sering ia mengeluh dengan tatapan matanya yang jauh mengembara entah ke mana. Menurutnya, dari hari ke hari, jumlah penumpang yang naik bajaj-nya semakin merosot, sedangkan pengeluaran keuangan naik drastis. Ia pun tahu, anak-anak sering lebih sering ke dapur untuk menghabiskan makanan sebab tidak ada kegiatan bersekolah dan anak-anak dipaksa keadaan harus bersembunyi di dalam rumah. Ia juga mengeluh harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli paket data internet untuk tugas daring anak-anak dari sekolah.
“ Lagi-lagi uang. Uang. Uang …. Dasar pemerintah goblok, enggak bisa apa-apa. Enggak punya solusi untuk orang miskin.”
Bicaranya begitu bersemangat hingga ludahnya tak sengaja muncrat-muncrat keluar dari mulutnya seperti hujan mendadak yang jatuh tanpa terendus ramalan cuaca. Sialan? Bahkan ia tidak mengenakan masker! Ceroboh sekali ia mengenyampingkan protokol kesehatan yang harus dijalankan selama pandemi ini. Jika bukan teman, malas sekali saya menemaninya.
Lalu ketika mulutnya sudah capek, ia segera minta uang untuk membeli beberapa batang rokok kepada saya. Kemudian mulutnya mulai berhenti “nyerocos” dan mulai membakar rokok dan mengisapnya perlahan-lahan. Saya rasa itu cara Rohmat mengusir kegelisahannya akan hidup yang semakin berat. Merokok mengurangi penderitaannya.
Saya segera merasa mendapat angin untuk mengalihkan topik pembicaraan yang itu-itu melulu dan saya anggap sangat membosankan. Ia tetap hening dalam kenikmatan merokok dan asapnya bergulung-gulung di udara membawa kegelisahan Rohmat. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu. Mungkin ia sebenarnya tahu diri juga, bahwa saya mulai bosan mendengar ceramahnya. Ada bagusnya juga, sejenak kuping saya beristirahat dari orasi berapi-api yang keluar dari mulutnya.
Saya cuma bisa menyarankan kepadanya: “Banyak sabar, Mat. Jangan berhenti ikhtiar.”
Lalu ia menarik napas panjang lagi, mungkin untuk membuang segala beban di hatinya. Namun setelah mendapatkan ketenangan, justru ia segera mendapatkan inspirasi yang buntut-buntutnya tidak enak buat saya. Tanpa ragu ia mengatakan ingin meminjam uang dan mengatakannya dengan wajah memelas. Ucapannya terdengar sangat “nyelekit” di kuping meskipun dengan suara yang lembut.
“Orang susah butuh uang, Sobat. Bukan nasehat ….”
Dan melayanglah selembar uang lima puluh ribu dari dalam saku saya.
“Ikhlas enggak nih?” tanya Rohmat. Kali ini mendung di wajahnya telah menghilang.
“Ikhlas, Mat,” jawab saya, “ikhlas. Ikhlas. Enggak usah nanya lagi, ah. Kayak Jaksa aja, lu. Nanya melulu.”
**
Sudah dua minggu ini Rohmat menghilang. Di warung kopi, di pos kamling, di pangkalan bajaj, atau di teras rumahnya ia jarang terlihat. Mungkin ia punya kesibukan baru. Ada yang hilang sebenarnya, mendengar sumpah serapahnya. Bagaimanapun juga, itu adalah cara seseorang untuk membuang keluh kesahnya. Kita harus tetap menghormati.
Dan saya selalu membungkamnya, walaupun dengan cara yang halus.
Lalu saya bertanya kepada istrinya, namun perempuan itu tidak menjawabnya dan hanya menunduk ke bawah, memandang ubin tua yang berwarna abu-abu. Dan saya tidak ingin mengorek keterangan lebih dalam lagi dari bibir tipis perempuan itu. Mendung telah menggelayut di wajahnya dan sebentar lagi air matanya pasti tumpah. Barangkali mereka habis bertengkar hebat dan mungkin Rohmat berusaha menghilang sementara waktu untuk meredam pertengkaran. Bisa saja kan! Itu hal yang sangat biasa untuk suami-istri.
Istri Rohmat memang masih terlihat cantik diusianya yang kira-kira baru melewati kepala tiga. Tubuh perempuan itu masih terlihat ranum meski telah “beranak” dua kali. Ah, beruntungnya kau, Rohmat. Pantas saja ia sering marah-marah, gelisah, dan suka sumpah serapah. Mempunyai istri secantik ini pasti mempunyai banyak tekanan.
Kemana kamu, Rohmat? Istrimu itu masih muda, lho ….
**
Baru saja saya hendak melewati depan gang, bendera kuning menunduk layu di tiang nama jalan. Perasaan saya langsung tidak enak.
“Ada apaan, nih? Siapa yang meninggal?” saya bertanya kepada salah seorang yang saya kenal.
“Rohmat meninggal, Bang. Kena Covid. Barusan dia dikubur. Tetangga bahkan enggak boleh ada yang datang dan nyelawat!”
Saya terhenyak tanpa kata-kata. Rohmat telah pergi dan kini tak ada lagi teman berdebat yang bisa membuat urat leher selalu tegang. Percakapan beberapa hari lalu adalah percakapan terakhir dengan dia.
Kini saya bebas dari “curhatan” Rohmat, namun saya juga telah kehilangan seorang teman. Selamat jalan, Mat. Mudah-mudahan kau tenang di alam sana ….
**
Perempuan ini tertidur pulas tanpa busana dalam pelukan saya. Ia begitu kelelahan hingga buah dadanya yang montok seperti pepaya menindih dada saya tanpa terasa olehnya. Bagaimana ia tidak kelelahan? dari tadi ia bagaikan singa betina yang sedang berahi dan minta terus disetubuhi. Sudah empat kali kami bercinta dan sudah tak terhitung juga, suara desah dan lenguhannya yang nyaring memenuhi kamar penginapan yang saya sewa per jam. Perempuan itu selalu histeris jika telah mencapai orgasmenya yang sempurna.
Ah, bodoh sekali kau, Mat. Istrimu masih muda, masih cantik, dan kau malah mati cepat!
Seandainya kau tidak percaya teori konspirasi itu dan mau mendengarkan anjuran orang-orang pandai agar selalu mengenakan masker, mungkin istrimu tidak akan terlunta-lunta untuk memenuhi nafsunya.
Perempuan itu masih terlelap, dan saya juga letih, ingin segera tidur. Di bawah kaki tempat tidur, beberapa kondom bekas pakai tercecer keluar dari tempat sampah.
Ah, saya lupa. Bagaimana jika perempuan ini bangun dan ingin mengajak bercinta sekali lagi. Saya tidak lagi memiliki sisa kondom! ©
Karnajaya Tarigan. Seorang penulis absurd.