Perempuan yang Merajut

Perempuan yang Merajut

Perempuan yang Merajut

Oleh: Ika Mulyani

Kinanti tersenyum melihat hasil pekerjannya. Tidak sia-sia ia bersusah payah membuat gambar “Hello Kitty” favorit Kenanga itu, hingga hampir mirip dengan karakter aslinya. Tidak sia-sia pula ia menghabiskan waktu untuk mencari benang dengan warna kesukaan putri kesayangannya itu–merah marun. Warna yang cukup sulit untuk diperoleh. Ia baru mendapatkan benang itu setelah mendatangi tiga toko.

Kinanti tidak pernah lagi memprotes warna pilihan gadis kecilnya itu.

“Sayang, warna yang itu kurang cocok buat kamu. Pilih warna biru muda ini saja, ya? Nih, sama warnanya dengan baju Ibu,” ucap Kinanti suatu waktu, saat mereka memilih baju di sebuah toko. Namun, bujukannya disambut putrinya dengan gelengan kuat.

Kulit Kenanga sewarna dengan kulit Kinanti, sawo matang. Tentu saja ia akan terlihat semakin gelap dengan mengenakan pakaian berwarna gelap seperti itu. Dan seperti juga sang ibu, Kenanga pun tidak mudah goyah pada pilihannya.

“Aku mau warna itu, pokoknya. Aku sukanya yang itu. Aku enggak suka warna biru!” Kenanga setengah berseru dengan mata mulai berkaca-kaca.

“Kalau kamu pakai yang warna marun ini, kamu jadi kelihatan makin ….”

“Sudah, biar saja dia pilih warna itu, Bu.” Ayah Kenanga dengan cepat menyela. “Malu dilihat orang lain,” desis lelaki itu dengan suara rendah.

Seruan Kenanga memang berhasil menarik perhatian sebagian besar pengunjung toko pakaian itu.

Kinanti menghela napas, dan terpaksa menuruti keinginan putrinya, meskipun tetap mengeluh, “Masa semua bajunya warna marun, Pak? Seperti enggak ganti baju jadinya.”

“Namanya juga anak kecil. Sudah, ayo segera bayar. Kita pulang.”

Ya, Kenanga suka sekali warna merah marun.

Suatu hari, gadis delapan tahun itu datang dari sekolah dan merengek pada ibunya. “Ibu, Nunik punya sweter baru. Bagus sekali! Aku mau juga.”

Kinanti yang tengah merajut baju hangat pesanan salah satu tetangga mereka, hanya tersenyum menanggapinya.

Gadis kecil itu terpekik senang saat Kinanti membentangkan rajutannya, untuk melihat apakah bentuk bunga yang dibuatnya sudah sesuai pesanan atau belum.

“Itu seperti punya Nunik! Tapi punya Nunik gambarnya rumah. Ibu yang membuat sweter Nunik?”

Seruan Kenanga disambut ibunya dengan anggukan yang disertai senyuman.

Setelah ibu Nunik menerima pesanannya, berbondong-bondong ibu-ibu tetangga yang lain turut pula memesan. Mereka sama sekali tidak keberatan dengan harga yang ditetapkan oleh Kinanti. Total ada lima baju hangat yang harus diselesaikan oleh perempuan itu.

“Yang ini punya siapa?” Kenanga bertanya dengan mata berbinar.

Sang ibu menyebut nama salah satu teman sekelas Kenanga.

“Aku mau juga dibuatkan, ya, Bu!” seru Kenanga senang. “Warnanya merah marun. Aku mau gambar Hello Kitty.”

Kinanti menghela napas mendengarnya. “Masa warna marun lagi? Hello Kitty juga? Susah bikinnya itu, Sayang. Nanti kalau tidak mirip, gimana?”

Seperti biasa, Kenanga bersikeras dengan pilihannya, memaksa Kinanti mengiyakan permintaan sang putri. “Tapi tunggu Ibu selesaikan semua pesanan, ya.”

Kenanga mengangguk senang.

Ternyata, setelah pesanan ketiga selesai, datang lagi pesanan yang lain.

“Saya lihat punya Wanti. Buatannya rapi. Anak saya mau juga. Adiknya sama kakaknya sekalian, ya, Bu Kinanti.”

Kinanti menyanggupi, membuat malam dan siangnya disibukkan oleh merajut.

“Jangan terlalu capek, Bu. Besok lagi dilanjutkan. Sudah jam dua belas, lho!” tegur suaminya suatu malam.

“Tanggung, Pak. Tinggal rapikan sedikit. Ini bajunya mau diambil besok soalnya.”

Sang suami hanya menggelengkan kepala dan melanjutkan tidur, setelah baru saja ia terbangun karena desakan kantung kemihnya. Laki-laki itu sudah hafal akan sifat keras kepala Kinanti.

“Ibu, kapan sweterku jadi? Sari sama Rani sudah pakai tadi,” rengek Kenanga suatu hari.

Kinanti berdalih dan mengingatkan kesepakatan mereka, bahwa ia baru akan merajut baju hangat untuk Kenanga saat semua pesanan selesai dikerjakan.

Akan tetapi, kembali setelah jadi satu pesanan, datang lagi satu pesanan yang lain.

“Bu, kasihan Kenanga. Tidak bisakah diselang satu saja untuk buatkan punya dia?” Ayah Kenanga berucap setelah melihat betapa seringnya putri mereka merengek.

Kinanti pun kembali berdalih, bahwa sulit mendapatkan benang warna merah marun. “Aku juga harus buat pola Hello Kitty yang pas. Kalau tidak mirip, nanti Kenanga pasti protes. Repot.”

Sang ayah pun memutuskan mengajak putrinya berjalan-jalan, agar gadis kecil itu sedikit terhibur dan berhenti merengek.

Melihat kepergian mereka, Kinanti jatuh kasihan pada putrinya. Ia pun memutuskan untuk pergi mencari benang. Setelah berhasil memperoleh apa yang dibutuhkannya di toko ketiga yang didatangi, Kinanti segera pulang, dan mulai membuat pola “Hello Kitty”. Ia mencontoh dari gambar yang ada di bagian depan tas sekolah Kenanga.

Sekitar lima kilometer dari tempat Kinanti yang tengah tersenyum memandangi kepala karakter kucing karyanya tersebut, banyak orang berkerumun di pinggir sebuah jalan yang tidak terlalu lebar. Mereka berdiri berkeliling, sibuk mengabadikan sebuah kejadian dengan kamera ponsel mereka masing-masing.

Di tengah kerumunan, tergeletak–entah mati atau hanya pingsan–dua orang, sepertinya ayah dan anak, dengan darah tergenang di sekitar kepala mereka. Sepeda motor yang mereka tumpangi, teronggok lima meter jauhnya dalam keadaan ringsek. Sopir sebuah truk tangki air yang tengah mengantuk, telah menabraknya hingga pengendara sepeda motor itu dan penumpangnya–yang tidak mengenakan helm–terpental. Salah satu korban yang diperkirakan berusia delapan-sembilan tahun, mengenakan baju berwarna merah marun, tangannya masih memegang sebuah boneka “Hello Kitty” dengan erat. (*)

Ciawi, 18 Oktober 2020

***

Ika Mulyani, perempuan beranak dua. Ketiganya sama-sama memiliki hobi membaca dan penyuka Matematika.

Leave a Reply