Alika (Bagian 6)
Oleh: Vianda Alshafaq
Samar-samar, senyuman masih mengembang di wajah Alika. Matanya menatap langit-langit kamar, tangannya terentang. Bunga-bunga di hati Alika tumbuh begitu cepat, seperti musim semi sedang jatuh di sana. Alika tidak menyangka sama sekali bahwa Reino menyukainya. Ah, cara yang romantis sekali untuk menyatakan perasaan. Tidak biasa, pikirnya.
“Bagaimana aku harus menghadapinya besok, ya?” ucap Alika, sementara wajahnya masih berseri bahagia.
***
Alika melewati koridor menuju kelasnya. Sepanjang perjalanan, ia bersenandung kecil. Sesekali ia masih tersenyum, sementara pikirannya masih terngiang-ngiang jawaban soal yang kemarin ia kerjakan. Di pikirannya, gadis itu memikirkan apa yang harus ia lakukan jika bertemu Reino. Haruskah ia langsung memeluknya? Atau, memperlihatkan jawabannya kemarin? Atau, haruskah ia mengatakan bahwa ia telah mengerjakan soal tersebut dengan malu-malu, persis seperti gadis kasmaran yang dua minggu lalu ia lihat dalam drama Cina kesukaannya? Ah, Alika benar-benar bingung!
Setelah sampai di kelas, Alika melihat Reino. Laki-laki itu duduk di bangku guru sembari memainkan handphone-nya. Alika memegang tengkuknya, mencoba mengurangi rasa gugup yang menggerogoti dirinya. Dengan pelan, ia melangkah ke arah Reino.
Reino mengernyit ketika sebuah kertas yang dilipat rapi diulurkan ke arahnya. Ia menengadah, melihat orang yang mengulurkan kertas itu. Ah, ternyata Alika, pikirnya. Dengan segera, kertas itu sudah berpindah ke tangan Reino.
Alika segera pergi ke bangkunya setelah kertas itu diambil oleh Reino. Ia malu. Bingung harus bagaimana. Makanya ia memilih meninggalkan Reino. ‘Biar saja laki-laki itu yang akan menghampirinya,’ pikir Alika.
Melihat Alika yang meninggalkannya begitu saja, Reino menjadi penasaran. Ada apa dengan kertas itu, sehingga setelah mengambilnya Alika langsung pergi begitu saja? Bahkan tanpa sepatah kata pun.
“Ah, dia sudah menyelesaikannya, ternyata.” Reino tersenyum, samar.
***
“Weh, kayaknya ada pasangan baru, nih,” ujar Citra setelah bergabung dengan Reino dan Alika di kantin.
Alika dan Reino mengabaikan Citra. Tidak ada yang perlu ditanggapi, pikir mereka.
“Kalian beneran jadian? Kok bisa?”
“Apa, sih, Cit. Ganggu aja. Kamu pindah meja aja, deh. Gabung sama Nindy aja, tuh. Aku lagi curhat sama Reino.”
“Ya ampun, Alika. Biasa juga kamu curhat sama aku. Kenapa sekarang malah usir aku. Nggak bener ini, mah.”
“Duh, Cit. Lain kali aku ceritain sama kamu. Tapi nggak sekarang. Belum waktunya. Ya?” Alika menatap Citra dengan wajah memelas, sesekali matanya ia kedip-kedipkan.
“Oke, tapi jawab dulu. Kalian beneran jadian?”
Mendengar pertanyaan Citra, Alika dan Reino saling memandang. Kemudian mengangguk pelan.
“Aku tunggu traktirannya,” ujar Citra kemudian berlalu ke meja lain.
Alika dan Reino melanjutkan pembicaraan mereka. Mereka membahas kebiasaan Alika yang sering mengambil barang orang lain.
“Sejak kapan kamu ngelakuin itu?” tanya Reino.
Alika menggeleng. Ia tidak ingat kapan pertama kali ia melakukan hal itu. Yang ia ingat hanya ketika ia masuk ke kamar mamanya yang sedang di luar kota saat dia masih SMP. Waktu itu, mamanya ke luar kota selama seminggu. Ia di rumah bersama asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak ia kecil.
Ketika masuk ke kamar mamanya, Alika melihat sebuah pin bunga kecil di atas meja rias mamanya. Ia menyukai pin itu. Lalu mengambilnya dan menyimpannya di kamar.
Alika menceritakan hal itu kepada Reino. Tapi, Reino tidak yakin itu adalah awal kebiasaan Alika. Menurutnya, itu biasa saja Alika lakukan sebagai seorang anak.
Lalu, Alika ingat sebulan setelah itu ia pergi ke toko aksesoris bersama teman sekolahnya. Entah kenapa, saat itu ia memasukkan sebuah gantungan kunci ke dalam tas. Dan, pergi dari tempat itu tanpa membayarnya. Sesampainya di rumah, Alika menangis di kamar. Ia duduk di sudut ruangan, menekuk kedua kakinya, dan menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan. Alika menangis. Ia tidak tahu kenapa ia mengambil gantungan kunci itu. Ia sudah melanggar janjinya kepada sang mama, bahwa ia tidak akan pernah melakukan hal yang rendah seperti itu.
“Mama kamu tahu?” tanya Reino setelah mendengar cerita Alika.
Alika menggeleng.
“Mama jarang di rumah sejak dulu, sejak bercerai. Ada aja pekerjaan Mama di luar kota. Baru satu-dua hari di rumah, sudah pergi lagi. Begitu terus sampai sekarang.”
“Kamu nggak kembali ke toko itu untuk membayarnya?”
Lagi-lagi pertanyaan Reino membuat Alika menggeleng. Ia terlalu takut waktu itu. Ia takut kalau orang-orang akan menuduhnya pencuri—walau memang bisa dibilang begitu.
“Entah benar itu yang pertama kali atau nggak, yang aku ingat, sejak itu aku sering mengambil barang orang lain. Kadang hanya sebuah pena yang bahkan tintanya sudah tersisa sedikit. Entahlah, aku nggak tahu kenapa aku nggak bisa menahannya.”
Reino menggenggam tangan Alika. Kemudian menatapnya dengan sebuah senyum simpul yang membuatnya semakin tampan.
“Kamu pasti bisa berubah. Aku yakin. Kamu harus semangat buat berubah. Aku bakal bantu kamu,” ujar Reino yakin—lebih tepatnya meyakinkan Alika.
Melihat hal itu, Alika ikut tersenyum. Kemudian mengangguk yakin.
***
Satu bulan berlalu. Reino sering menemani Alika ke mana pun. Ia masih khawatir kalau saja Alika melakukan kebiasaannya itu. Setidaknya, jika dia menemani Alika, ia bisa mengawasinya. Seperti kemarin, misalnya.
Alika dan Reino sedang berada di swalayan. Alika akan membeli beberapa camilan untuk menemaninya di rumah. Seminggu ini, ia akan sendirian di rumah. Mamanya sedang di luar negeri, mengunjungi kerabat mereka. Sementara Bi Surti, asisten rumah tangganya, sedang pulang kampung karena ada urusan keluarga.
Alika mengambil sebuah makanan kemasan kecil yang dijual satuan. Diam-diam ia akan memasukkannya ke dalam tas kecil yang dibawanya. Tapi, Reino melihat hal itu. Dengan segera, Reino meminta makanan itu seraya menggeleng pelan.
Dengan senyum canggung dan tangan kiri memegang tengkuknya, Alika menyerahkan makanan yang belum sempat masuk ke dalam tasnya itu.
“Kamu mau?” tanya Reino.
Alika menggeleng. Kemudian mengajak Reino ke rak yang lain.
Reino tetap memasukkan makanan itu ke troli yang ia dorong. Mungkin saja Alika menginginkan makanan itu, pikirnya.
Dia pasti bisa berubah! Ucap Reino dalam hati. Reino kemudian tersenyum dan kembali berjalan mengikuti Alika.(*)
Bersambung ….
Part sebelumnya : Bagian 5
Vianda Alshafaq, seseorang yang bukan siapa-siapa.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata