Dengarkan Aku, Maira
Jeevita Ginting
Terkadang saat malam tiba, aku lebih memilih untuk duduk di teras sambil mengamati kerlip bintang yang sesekali tertutup awan. Sendirian, hingga mulai merasa mengantuk. Aku pernah menonton sebuah film yang mengatakan bahwa bintang adalah jelmaan dari orang-orang tercinta yang telah tiada dan aku memercayainya. Begitu pun dengan kekasihku.
Aku bukan introver, yang katanya memang lebih suka menyendiri. Aku hanya sekadar memilih menikmati waktu tanpa harus mendengarkan atau memedulikan tanggapan orang lain terhadap suatu hal. Bisa dibilang, aku bukanlah orang yang cocok dijadikan tempat curhat. Makannya, Fa’i—sahabatku yang belum lama ini bertemu kembali setelah sekian lama–pasti akan mengeluh setelah menceritakan beberapa hal yang mengganggu pikirannya.
“Ayolah, beri sedikit saja tanggapan,” katanya kala duduk bersamaku di tepi danau.
Aku diam sesaat, sambil menatap permukaan air danau yang keruh, lantas menghela napas dan mengalihkan pandangan ke Fa’i.
“Entahlah, aku nggak tau mesti nanggepin apa,” jawabku asal .
Lagi, sahabat yang kukenal sejak kecil itu menunjukkan wajah kekecewaan. Ia lantas mendesah, lalu mulai mencibir. Namun, setelahnya kami tertawa, menertawakan diri masing-masing.
Aku selalu suka melihat Fa’i tertawa, sebab tawa itu mengingatkanku pada Alvin. Bukan hanya itu, mereka pun terlihat mirip, hanya penampilannya saja yang berbeda. Aku baru menyadarinya belum lama ini setelah membandingkan foto keduanya. Matanya yang cokelat dan hidung bangirnya … sama persis. Ah, aku jadi merindukan Alvin. Lelaki itu sangat suka iseng mengambil kacamataku, lalu ia kenakan.
“Dengar.” Alvin menggenggam tanganku. Sorot matanya yang tajam membuatku kikuk. Tak biasanya ia seserius ini.
“Aku bukan Tuhan yang bisa menjadikan segala sesuatu yang kita jalani sesuai dengan keinginanku. Jadi, jika kelak kita berpisah, atau ada pertemuan lain yang mengejutkan, tolong jangan bertanya mengapa, atau apa alasannya. Mengerti?”
Aku terkejut, lantas melepaskan genggamannya, Apa maksud Alvin berkata demikian?
“Maira, dengar ….”
Aku menggeleng, lantas mencecar Alvin karena perkataannya sungguh tak masuk akal. Ya, untuk pertama kalinya aku tidak mau hanya mendengarkan. Sekarang giliran Alvin yang harus mendengarku.
“Maira dengar!” Kali ini Alvin agak meninggikan suaranya. Aku pun diam. Dan kembali hanya mendengarkan, sama seperti biasanya.
“Sudah kubilang, aku bukan Tuhan. Jadi kamu jangan tanya mengapa kita berpisah atau menanyakan hal lainnya.”
Aku diam. Hanya mendengarkan, meski banyak pertanyaan yang terus berputar dalam kepala. Hanya mendengarkan.
“Kamu mengerti, kan?”
Sebuah anggukan mengakhiri kebersamaan kami hari itu. Semua pertanyaan yang sudah terangkai di dalam kepala, terus berputar, membentuk tanda tanya besar yang mungkin tak akan pernah terjawab.
Hari berikutnya kami kembali bertemu. Ia datang ke rumahku, lalu menceritakan tentang sebuah kota yang begitu ramai, hingga dijuluki kota yang tak pernah tidur. Alvin ingin sekali tinggal di sana, bersamaku. Lampu-lampu jalan di kota itu sangat terang, serupa bintang, dan menurutnya aku pasti akan sangat suka tinggal di sana. Mata Alvin berbinar ketika merangkai satu per satu harapan tentang kami di sana. Sedangkan aku hanya diam, masih mendengarkan.
Kemudian hari berikutnya lagi, Alvin datang dan bercerita tentang aurora yang konon katanya merupakan perwujudan arwah-arwah bayi yang mati atau dibuang. Ia terlihat kesal karena memikirkan nasib bayi-bayi itu.
Aku tetap diam, hanya mendengarkan. Hari-hari berikutnya juga begitu, aku masih diam, mendengarkan semua cerita Alvin. Hingga akhirnya, ia tak lagi datang menemuiku. Tak ada kabar apa pun darinya. Ia menghilang, kita benar-benar berpisah.
“Maira, apa kamu pernah mendengar cerita tentang kota yang tidak pernah tidur? Juga tentang bayi-bayi yang menjelma menjadi aurora? Atau tentang bintang-bintang yang selalu memperhatikan kita, karena mereka adalah perwujudan orang-orang yang sudah mati?”
Aku mengernyit. Mendadak semua pertanyaan-pertanyaan itu kembali muncul.
“Maira, dengar. Ada beberapa hal yang begitu sulit untuk dijelaskan. Perpisahan, pertemuan untuk yang pertama kali, kedua kali, dan seterusnya. Tapi satu yang pasti, semua itu bukanlah kebetulan.”
Aku berusaha mencerna setiap perkataan Fa’i, semua ini benar-benar membingungkan. “Tapi kenapa?” tanyaku kemudian.
Fa’i bergeming, kemudian mengambil kacamataku, lantas mengenakannya. “Bukankah aku pernah bilang, apa pun yang terjadi kamu tidak boleh bertanya. Yang jelas, aku ingin menjadi diriku sendiri di depanmu, Maira. Tapi aku terlalu takut,” tuturnya sambil mengacak rambutku.”
Aku diam, mendengarkannya, tanpa memberikan pertanyaan apa pun, sama seperti biasanya.
Selesai.
Jeevita Ginting. Si pisces yang tak menyukai air.
Editor: Erlyna