Judul : Orang-Orang Sakit Hati
Penulis : Siti Nuraliah
Di ruangan ini, semua orang berwajah pucat. Mereka datang ke sini, sama sepertiku—untuk mengobati luka hati. Setelah mengambil nomor antrean, aku dipersilakan duduk menunggu panggilan untuk menyerahkan data-data. Setelah itu, aku akan dibawa masuk lagi ke ruangan lain untuk diperiksa. Antrean masih panjang, kulihat nomor yang tertulis di kertas putih, 101.
Panggilan sudah mendekati angka yang aku pegang, setalah dua orang di depanku dipanggil, pasti giliranku. Seorang lelaki muda dengan seragam putih menyebutkan angka seratus satu, dan aku langsung beranjak menyerahkan berkas-berkas yang telah kusiapkan sejak seminggu yang lalu.
Aku mencari ruangan yang ditunjukkan oleh lelaki berbaju satpam. Karena belum tahu, aku meminta tolong untuk diantarkan sampai ke depan ruangan. Ternyata, setiap pasien yang berkunjung ke sini akan dipisahkan sesuai keluhan, meski penyebabnya sama yaitu karena sakit hati.
“Kalau ini, ruangan khusus untuk orang yang mempunyai keluhan menangis setiap hari, tidak berselera makan, dan tidak bisa tidur.” Pak Satpam menunjuk ruangan yang kami lewati. Aku hanya mengangguk.
“Dan ini, ruangan untuk orang-orang yang sakit hati karena ditinggal menikah, diputuskan oleh pacarnya, atau ditolak pas lagi nembak gebetan,” tutur Pak Satpam, tanpa kuminta.
“Apa ruangan yang kita tuju masih jauh?” tanyaku. Ini sudah melewati dua ruangan lagi selain yang disebutkan olehnya tadi. Dia tidak menyebutkan untuk keluhan yang mana ruangan itu, dia hanya menunjuknya saja, dan mengatakan padaku, lihatlah sendiri bagaimana kondisi orang-orang yang sakit hati yang menunggu panggilan pemeriksaan di ruangan ini, katanya.
Orang-orang sakit hati, memang rupa-rupa. Tergantung sebabnya apa, ada saja yang meraung-raung menangis sambil memegangi dadanya, ada yang melamun entah pandangannya melihat ke mana, ada juga yang hanya terisak-isak dengan mata yang bengkak. Ada juga di ruangan lain yang kami lewati tadi, hampir semua pasiennya mengalami gangguan jiwa. Aku juga baru tahu, bila sakit hati bisa juga menyebabkan seseorang kurang waras. Kata Pak Satpam, mereka itu biasanya orang-orang yang kalah pada perebutan kursi kekuasaan. Aku terus berjalan menaiki anak tangga, mengikuti langkah kaki Pak Satpam yang lebar-lebar.
“Sebentar lagi kita sampai, ruangannya di depan,” tutur Pak Satpam. Aku menghentikan langkah karena hampir saja menabrak tubuhnya yang berhenti di depanku dengan tiba-tiba.
“Kau masih muda, apa yang membuat kau sakit hati sehingga ingin berobat ke sini dan mengambil ruangan yang paling khusus untuk keluhan-keluhan yang berat. Di sini tempat orang-orang yang sakit hati karena tidak terima dengan keadaan, orang-orang yang diusir keluarga, bahkan orang-orang korban diskriminasi dan masih banyak lagi,” tuturnya. “Kau termasuk yang mana?” tanyanya lagi.
Aku tidak menjawab, hanya mengucapkan terima kasih saja sudah diantar. Aku mengambil tempat duduk paling ujung, padahal hanya ada satu pasien yang menunggu giliran masuk, aku tahu ada pasien yang sedang diperiksa di dalam, saat aku melewati pintu ruangan tadi. Totalnya hanya ada tiga pasien di ruangan ini. Barangkali orang-orang tidak terlalu banyak yang mempunyai keluhan begitu kompleks sepertiku dan dua pasien yang ada di sini. Aku tidak sabar menunggu giliran, sedari tadi lukaku semakin parah. Aku merasakan di dalam dadaku terasa seperti dikerat-kerat oleh pisau yang tajam. Aku memeluk tas lusuh yang di dalamnya berisi uang recehan hasil dari mengamen.
Awalnya, aku sudah terbiasa menerima kenyataan yang pahit dalam hidup. Terlahir sebagai seorang gadis yang entah siapa ayahnya, lalu dikucilkan teman disebut-sebut sebagai anak jadah, diusir kakek-nenek saat berkunjung lebaran bersama ibu, menyambung hidup dengan mencari seperak-dua perak uang dari hasil menjual barang bekas yang aku pungut dari sampah-sampah orang kaya, dan beberapa hal yang aku sendiri sudah menganggapnya biasa.
Seminggu yang lalu, dadaku merasakan sesak yang amat berat. Aku rasa ini disebabkan karena aku terlalu abai, sedikit-sedikit luka itu menempel sehingga bertambah banyak dan hasilnya menjadi sangat buruk seperti sekarang. Aku sangat ingat, pertama kali ada luka di hatiku adalah saat pertama aku tahu bahwa aku terlahir menjadi bayi tanpa Ayah. Itu pun aku tahu dari para tetangga yang sering mengobrol saat aku main bersama anak-anak mereka. Kata-kata menyayangkan, namun sedikit mengejek itu menjadi terngiang-ngiang di telingaku. Pernah aku bertanya kepada ibu perihal itu. Tapi, katanya ayah seorang pelaut dan meninggal bersama kapalnya yang karam selagi aku masih di dalam kandungan.
Namun, kebohongan ibu tidak berlangsung lama. Terbongkar saat mengajakku berkunjung ke kampung untuk bertemu nenek. Ibuku dimarahi tanpa ampun. Meski saat itu usiaku baru empat tahun, aku lupa-lupa ingat. Sejak saat itu, setiap kali berkunjung, aku mesti menebalkan telinga dari cibiran-cibiran keluarga. Dan pada akhirnya, ibu berhenti mengajakku pulang kampung.
Luka terakhir, adalah luka yang diberikan oleh ibu, luka paling sesak yang mengharuskanku untuk berkunjung ke sini. Ibu sempat bercerita perihal pekerjaannya di masa lalu. Namun, seminggu yang lalu aku melihat ibu dijemput mobil mewah berwarna hitam, laki-laki di dalamnya merangkul ibu saat hendak menutup pintu. Ibu sudah berjanji meninggalkan pekerjaan itu. Tapi, ibu mengkhianatiku. Ibu kembali membohongiku.
Seseorang memanggil namaku dari ruangan, aku masuk dan langsung duduk. Setelah menanyai semua keluhanku. Seorang asisten dokter meracik obat untukku. Kulihat, ada dua belas rupa yang mesti aku bayar. Aku membuka tas lusuh dan menghitung-hitung jumlah yang mesti dibayarkan. Aku meringis, setelah dikira-kira jumlahnya tidak akan cukup. Belum sempat aku memohon, Dokter itu telah lebih dulu bilang.
“Kamu tidak perlu membayar apa pun. Semua kepahitan yang kamu telan sejak kecil sudah menjadi bayarannya.”
***
Banjarsari, 13 Oktober 2020
Siti Nuraliah. Perempuan sederhana kadang suka menulis kadang suka membaca.
Editor: Erlyna