Menemani Bapak Bercerita
(Rachmawati Ash)
Jika mendengarkan baik-baik cerita Bapak, kupikir tidak ada yang spesial. Apanya yang spesial? Bapak pergi ke sekolah setiap pagi, mengikuti pelajaran di dalam kelas, membaca buku di perpustakaan saat istirahat atau makan nasi pecel dengan teman-temannya di kantin. Tapi, saat cerita Bapak sampai pada bagian menembak Ibu, seketika mata dan telingaku seolah tersedot ke arah Bapak. Aku menyimak dengan sungguh-sungguh. Kupikir ini akan menjadi cerita paling seru, mungkin sekelas kisah Roro Jongrang yang dikejar-kejar oleh Bandung Bondowoso.
Sejak aku masih kecil, tidak pernah satu malam pun lepas dari dongeng yang diceritakan oleh Bapak atau Ibu. Jika saja di sekolah ada lomba mendongeng atau bercerita, mungkin akulah satu-satunya peserta yang dengan mudah menyebutkan nama tokoh, tempat kejadian dan alurnya. Bisa jadi, aku akan menjadi pemenang tanpa harus membuka buku atau membawa catatan kecil yang harus kuhapalkan sebelum naik ke panggung. Bagaimana tidak? Sejak aku belum bisa makan dan pipis sendiri, aku sudah terbiasa mendengar kisah si kancil dan teman-temannya. Bapak mengulang-ulang cerita sampai aku tidak bertanya lagi tentang kisahnya. Kemudian, setelah aku masuk sekolah TK, Bapak menceritakan kisah yang berbau sejarah. Memperkenalkan legenda yang ada di Indonesia mau pun di luar negeri.
Malam-malamku selalu berharga. Mataku tidak akan bisa terpejam sebelum telingaku mendengar dongeng yang seru. Seperti malam ini, saat aku bersama Bapak duduk di teras rumah-ruang baca. Dengan hikmat aku menyimak cerita Bapak. Di antara cahaya lampu yang bersinar penuh semangat, Bapak mengajakku mengenal cinta. Langit malam yang cerah, semakin mendukung kami untuk berbincang tentang kisah asmara. Seperti kata pepatah dalam sebuah buku, semua anak laki-laki akan merasakan waktu Bucin bersama Ayahnya.
Aku adalah salah satu remaja yang beruntung, memiliki Bapak rasa sahabat. Meski Bapakku sangat berwibawa dan penuh kharisma, tetapi bisa menempatkan posisinya sebagai seorang teman. Kami seperti menjalin persahabatan. Iya, Bapak bisa menjadi Orang tua sekaligus sahabat bagiku. Setiap malam selalu bertanya tentang kegiatanku di sekolah mau pun dengan teman-temanku. Kepada Ibu aku bisa berbohong, tetapi kepada Bapak, aku mati kutu. Bapak seperti dapat membaca pikiranku. Sehingga tak satu pun hal dapat kusembunyikan darinya. Termasuk perasaanku terhadap perempuan.
Bapak menyandarkan tubuh di dinding teras, kakinya selonjor. Sarung menutup sebagian kakinya yang kokoh. Aku mengikutinya, menyandarkan juga tubuhku ke dinding di sampingnya. Kami sama-sama menatap langit. Entah, tiba-tiba kami terdiam. Beberapa detik suasana hening. Terdengar desiran angin yang memainkan pucuk-pucuk daun jambu. Bahkan, tarikan napas kami pun terdengar dengan lembut beraturan.
Aku menatap Bapak, tidak berani bertanya apa-apa. Aku hanya mendunga-dunga, bahwa sebentar lagi Bapak akan menceritkan tentang kisahnya bersama Ibu. Tetapi, kenapa Bapak seperti sedang bersedih? Aku memilih tetap diam. Jujur kuakui, dadaku berdebar lebih kencang dari sebelumnya. menunggu cerita Bapak. Benar saja, Bapak menepuk pahaku, membuatku tergagap karena terkejut.
“Kamu tahu kenapa Kakek dan Nenek tidak pernah berkunjung ke rumah kita?”
“Kakek dan Nenek yang di Indraprasta?!” aku balik bertanya kepada Bapak.
“Iya.”
“Kenapa, Pak?” kubetulkan posisi duduk, karena karpet di bawahku selalu bergeser tidak rapi.
Mata Bapak menerawang, kembali menatap langit di atas rumah kami. Dengan hati-hati mulai bercerita.
Dulu, Kakek dan Nenek tidak menyukai Bapak. Karena Bapak hanya anak dari seorang guru SD. Sebelumnya, saat kami sama-sama sekolah tidak ada masalah. Bapak dan Ibu diizinkan belajar bersama setiap hari. Seperti yang pernah diceritakan oleh Bapak sebelumnya, bahwa Ibu adalah adik kelas ketika di SMA. Sikap Bapak yang dingin kepada semua gadis di sekolah membuat Ibu tidak yakin bahwa Bapak juga menyukai Ibu.
Ibu selalu didekati oleh laki-laki, baik di sekolah maupun di lingkungan rumahnya. Bapak terlihat biasa saja dan tidak peduli. sampai suatu saat, Ibu meminta Bapak mengajarinya menyelesaikan tugas membuat puisi. Ibu tidak sengaja menemukan buku harian Bapak. Ibu tahu, itu adalah buku catatan yang selalu dibawa Bapak ke perpustakaan. Saat itu, Bapak sedang ke toilet, Ibu yang sudah lama menjalin persahabatan dengan Bapak berani membuka buku itu.
Alangkah terkejutnya. Seolah terjatuh pingsan, saat membuka halaman pertama pada buku terdapat fotonya. Entah, dari mana Bapak mendapatkan foto Ibu yang menggunakan seragam olah raga. Kemudian Ibu melanjutkan membuka halaman demi halaman. Hati Ibu melompat, matanya terbelalak. Namanya selalu disebut pada setiap kalimat di buku itu. Kejadian demi kejadian setiap hari seolah tercatat dalam buku berukuran lebih kecil dari buku tulis itu.
Kadang Ibu tersenyum, kadang tertawa. Ibu seperti melihat sebuah kisah seorang puteri yang dikagumi oleh seorang pangeran. Astaga, bapak menuliskan semua tentang Ibu dalam buku catatannya. Alhasil, Bapak terperanjat, saat menemukan Ibu sedang tersenyum-senyum membaca bukunya. Bapak berusaha mengambil bukunya dari tangan Ibu. Tetapi, Ibu memeluk buku itu di dadanya. Lalu tersenyum manja.
“Aku akan meminjamnya! Boleh, ya?”
Aku tertawa, tidak bisa menahan diri saat melihat ekspresi Bapak bercerita. Seketika, aku membayangkan wajah malu Bapak di depan Ibu. Bapak melihatku dengan raut wajah tidak terima. Aku semakin keras tertawa, perutku sampai kaku karena terpingkal-pingkal. Betapa malunya Bapakku saat itu, perasaannya diketahui oleh perempuan yang ditaksirnya selama ini.
“Maaf, Pak. Aku tidak bisa berhenti tertawa. Maaf. maaf.” Aku masih memegangi perut yang kaku.
“Mau dilanjutkan atau tidak, nih ceritanya?” nadanya sedikit mengancam. Membuatku menahan tawa.
Terpaksa aku diam, meski dalam hati masih terbahak-bahak. Bapak kembali menatap langit, lalu menoleh ke dalam rumah melalui jendela, memastikan Bahwa Ibu tidak mendengar kami sedang bercerita tentang dirinya. Aku kembali tertawa, tetapi tetap kukendalikan. Aku mengatur posisi duduk, menatap Bapak yang wajah malunya berubah menjadi tegang.
Setelah Ibu meminjam buku. Seminggu kemudian Ibu mengembalikannya. Senyumnya seolah hendak membunuh Bapak, tangannya menarik tangan Bapak dan menyodorkan buku itu. Jantung Bapak seperti melompat-lompat, mulutnya tidak bisa berkata-kata. Ibu duduk di kursi perpustakaan, tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum-senyum. Sedang Bapak semakin merah wajahnya menahan malu. Kepalang Basah, Bapak menembak Ibu di tempat dan waktu yang sama. Ibu menunduk, senyumnya masih malu-malu. Kepalanya mengangguk pelan dan tidak berani menatap Bapak.
Setelah itu, mereka menjalin kasih. Sampai tiba waktunya Bapak melanjutkan kuliah. Mereka tetap menjalin asmara tanpa ada masalah. Setahun kemudian Ibu juga masuk ke Universitas di Jakarta. Bapak dan Ibu hanya berkomunikasi melalui ponsel. Keduanya semakin akrab dan cinta semakin tumbuh subur di hati keduanya. Tidak ada seorang pun yang dapat memisahkan mereka-kecuali maut.
Kurang lebih enam tahun Bapak menjadi kekasih Ibu. Saling memberi motivasi belajar dan menyelesaikan kuliah. Bapak menyelesaikan S1 tepat pada waktunya. Setelah menjadi sarjana, pekerjaan pertamanya adalah menjadi guru di Sebuah SMP Swasta. Tetapi karena tidak memiliki ijazah mengajar atau Akta 4, maka Bapak hanya diberi beban mengajar pada pelajaran Sastra dan menjadi pembina ekstrakurikuler teater.
Bapak menghela napas. Matanya dikerjap-kerjapkan seolah menahan air mata yang hendak jatuh dari matanya. Aku menatapnya dengan perasaan iba. Tetapi, di sisi lain aku tidak sabar mendengar Bapak melanjutkan cerita. Aku memengang pundak Bapak, membuatnya menoleh ke arahku dengan pelan. Aku menangkap pandangan yang mengartikan sebuah permintaan. Mata Bapak seolah mengharapkan aku menjadi laki-laki yang jauh lebih baik dari dirinya.
Bapak melamar Ibu, yang saat itu sedang menyelesaikan skripsinya di jurusan Akuntansi. Lamarannya diterima, meskipun tidak dengan tulus. Calon Ayah dan Ibu mertuanya seperti tidak yakin, bahwa Bapak bisa membahagiakan Ibu. Singkat cerita, setelah Ibu diwisuda dan bekerja di toko buku. Mereka memutuskan untuk menikah.
Bapak merasa risih saat berada di rumah kakek dan nenek. Jelas saja, kakekku adalah seorang anggota DPR di kota kami, sedang nenek adalah seorang kepala di SMA negeri. Rumahnya besar dan megah. Bapak selalu disindir-sindir karena belum bisa membeli rumah sendiri, tetapi menumpang di rumah mertua.
Sindiran Nenek menjadi motivasi bagi Bapak untuk bekerja lebih keras lagi. Bapak yang memiliki keahlian di bidang seni, membuka les privat menggitar dan cipta baca puisi. Bulan demi bulan, nama Bapak semakin terkenal di dunia seni dan sastra. Teman-temannya semakin banyak karena sering mengantar anak didiknya mengikuti lomba dan selalu menjadi pemenang.
Bapak diterima bekerja sebagai editor naskah sastra di Balai Balai. Dengan pendapatan yang kecil, Bapak nekat membeli rumah di daerah Pedurungan. Bukannya bangga menantunya bisa membeli rumah, Nenek justru sering menyakiti hati Bapak. Menyindir, bahwa rumah kecil tidak layak untuk hidup bahagia. Rumah ukuran 8×18 meter hanya pantas untuk dara atau capung. Bukan untuk putrinya yang cantik dan terbiasa hidup di rumah bagus. Bapak memang sakit hati, tetapi tetap menghormati Nenek dan berjanji di dalam hatinya sendiri, bahwa Bapak akan membahagiakan istri dan anaknya.
Sejak pindah ke rumah baru yang kecil, Nenek dan Kakek tidak pernah berkunjung dan menengok kami. konon, mereka datang menjenguk kelahiranku saat masih berada di rumah bersalin. Jangankan menghadiri selamatan kelahiranku, Nenek justru mengatai-ngatai, bahwa rumah tangga itu tidak akan bahagia kalau hanya berdasarkan cinta semata.
Bapak mencerna kata-kata Nenek. Mencoba memahami meski tetap saja tidak menemukan jawabannya. Bapak berkata kepada Ibu, bahwa dengan cinta, seseorang tidak akan berhenti berusaha membuat orang yang dicintainya bahagia. Bapak tahu bagaimana cara membuat Ibu selalu tersenyum,bersyukur dan merasa nyaman.
Aku mengikuti Bapak memandang langit di atas rumah kami. Awan berjalan ke utara. Perlahan-lahan. Aku tidak perlu bertanya lagi, kenapa Bapak sangat menyayangi kami. Meski saat ini, Bapak sudah memiliki empat toko buku, tetapi tetap memilih tinggal di rumah kecil dan hidup sederhana. Tidak kupungkiri, semua kebutuhan dan keinginanku selalu menjadi kewajiban utama bagi Bapak.
Anganku melayang, mengingat hari-hari keren saat bersama Bapak. Aku mengingat saat pertama kali aku belajar naik sepeda, Bapak berusaha melepas tangannya dari sepedaku yang hanya memiliki roda dua. Aku histeris, takut terjatuh dan terluka. Tetapi, Bapak tertawa dan terus memberiku semangat.
Apa yang kutakutkan terjadi, aku kehilangan kendali dan sepedaku menabrak pohon mangga di tepi jalan. Bapak dengan sigap menolongku, lalu membubuhkan betadine di lututku yang terluka. Aku meringis, memejamkan mata. Aku berusaha menahan air mata, aku malu jika harus menangis hanya karena jatuh dari sepeda. Aku malu pada Bapak.
“laki-laki juga boleh menangis, kok.” Bapak tersenyum, merapikan celanaku yang tersingkap di atas paha. Seketika aku menangis, Bapak menggendongku pulang ke rumah.
**
Kulihat Bapak mengerjap-ngerjapkan mata, menahan agar tidak menangis di depanku. Aku menepuk pundak Bapak, “Laki-laki juga boleh menangis, kok.”
Bapak tertawa, menyeka matanya yang basah. Lalu membiarkannya benar-benar berlinang.