Perempuan dan Kenangan (Part 8)
Oleh: Cici Ramadhani
Jilatan matahari tertinggal di sekujur tubuhku. Segera kusambar handuk yang tergantung di balik pintu kamar, memanjakan diri dengan aroma green tea dari body shampoo. Segar rasanya setelah mandi dan keramas. Kupandang keluar jendela, terik mentari hari ini sungguh menyengat, padahal hari sudah menjelang sore. Jika begini, biasanya malam hari akan turun hujan. Terlebih ini sudah memasuki bulannya, bulan yang berakhiran ‘ber’. Meski musim kini tak lagi sama seperti dahulu–sebelum atmosfer bumi menipis–hujan kini hadir tanpa bisa diprediksi.
Saat kecil, aku suka sekali mandi hujan, sambil melompat–menghasilkan cipratan genangan air kemana-mana. Lalu, ada masa ketika aku sangat takut sekali akan hujan, yaitu masa ketika aku duduk di bangku kelas tiga SMP. Bapak dan Ibu bertengkar hebat malam itu. Tak bisa kudengar dari balik pintu kamar apa yang diributkan kedua orang tuaku. Aku hanya mendengar tangisan Ibu yang melebur bersama derasnya hujan malam itu. Kulihat di balik celah pintu kamar, Bapak bahkan menampar Ibu. Ingin sekali kulindungi Ibu dari amarah Bapak. Namun, kakiku terasa beku, aku tak punya cukup nyali untuk keluar kamar. Aku hanya menangis sambil memeluk lututku yang gemetar.
Sejak malam itu, Bapak tak pernah lagi pulang. Hujan di malam itu membawa Bapak pergi dan kami benar-benar kehilangan figur seorang Ayah. Aku dan Putra tak pernah bertanya kepada Ibu, mengapa Bapak tak pernah lagi pulang ke rumah. Satu sisi ada kedamaian tidak ada Bapak di rumah, tapi di sisi lain keuangan terancam. Bapak seakan melupakan tanggung jawabnya. Beliau hanya memberi uang ketika Ibu meminta. Begitu pun uang yang diberikan Bapak, biasanya hanya cukup memenuhi kebutuhan hidup kami selama satu bulan. Dan Ibu harus berjualan gorengan sambil memomong Firman demi kelangsungan hidup.
Namun, ketakutan akan hujan itu sirna ketika aku mengenal Arya. Banyak hujan kulalui bersama Arya. Semua serba terbalik, yang kusuka, menjadi tidak kusuka, yang kutakuti, aku jadi tidak takut. Ternyata cinta berperan sangat besar merubah seseorang. Dan mencintai Arya seperti candu bagiku. Setiap hari ingin selalu melihatnya. Sehari tak bertemu, entah seperti apa rasanya tak dapat didefinisikan.
Kuambil foto yang selalu tersimpan dalam dompetku. Kupandangi pas foto berukuran empat kali enam itu.
Arya Alvaro. Aku mengenalnya empat tahun lalu. Dia atasanku, manajer muda yang tampan dan gagah. Lulusan universitas nomor satu di ibu kota dengan nilai cumlaude. Saat itu, dia menggantikan posisi Pak Andi yang naik jabatan–sekaligus dipindah-tugaskan ke provinsi lain. Tubuhnya yang tinggi dibalut jas hitam dengan dasi biru navy bermotif polkadot menambah kesan menawan dalam dirinya.
Awalnya hubungan kami biasa saja, antara manajer dan karyawati. Namun, seiring berjalannya waktu kami menjadi lebih dekat. Arya memintaku untuk memanggilnya nama saja ketika tidak berada di kantor, alasannya karena umur kami hanya beda satu tahun dan dia tidak ingin terkesan tua dengan panggilan Pak.
“Ra, lagi apa?” ucap Arya dari ujung telepon.
“Nonton TV. Kenapa?”
“Eh, jalan, yuk. Kemana gitu, pokoknya tempatnya enak. Tahu enggak di mana?”
“Kapan? Sekarang?”
“Iya, sore ini. Bentar lagi aku jeput ya. Kita kemana?”
“Hemmm … ke pantai saja, yuk, lihat laut,” kataku senang.
“Oke, aku gerak, nih. Kamu siap-siap ya, jadi gitu aku sampai kita langsung berangkat.” Sambungan telepon pun terputus.
Aku langsung menyambar handuk dan bergegas mandi. Dua puluh menit kemudian Arya menjemput. Arya memakai celana jeans biru dan kaos longgar berwarna senada. Pakaiannya lebih santai. Sedang aku memakai celana jeans biru dongker dan kaos lengan panjang berwarna hitam. Satu jam kemudian kami sampai ke tujuan.
Kawasan pantai ini cukup luas dengan pinggiran pantainya yang di beri beton. Setelah berjalan menyusuri kawasan, kami duduk di bangku yang berderet di pinggiran beton.
Setahun lalu, aku ke sini pertama kali bersama Rian–kekasihku. Menatap luas hamparan laut sambil menikmati angin yang berembus. Kali ini anginnya lebih menyejukkan, mungkin karena menjelang petang. Matahari perlahan tenggelam, sinarnya mulai samar.
Kepalaku memutar ke sana kemari memperhatikan sekitar. Ternyata bukan hanya kami muda-mudi di sini. Ada beberapa yang masih berjalan di sekitar pinggir pantai, ada juga yang duduk tak jauh dari tempat kami.
Kini hari telah berganti malam. Entah setan apa yang berada di antara kami, awalnya kami hanya saling menatap. Namun sedetik kemudian bibir kami telah menyatu. Mataku terpejam menikmati sentuhan bibirnya seiring irama jantung yang terus bertalu. Mataku terbuka saat Arya melepaskan ciumannya.
“Maaf,” katanya memalingkan wajah.
Kupikir aku sudah cukup setia pada Rian namun ciuman singkat ini membuktikan aku lemah oleh pesona seorang Arya. Jantungku berdebar tak menentu, kuharap Arya tak mendengarnya. Apakah aku jatuh cinta pada Arya? Tapi ini salah, kami sudah memiliki kekasih. Kupikir kami hanyalah berteman. Aku menggigit bibir bawahku. Ada rasa getir terasa di hati.
“Kenapa?” tanyaku. Aku masih menatapnya, Arya melihat ke arah laut yang tak lagi berwarna indah. Kini semua berwarna samar, seperti hubungan kami kini. Hanya temaram beberapa lampu yang menjadi sumber cahaya.
Aku menatap lampu-lampu yang tergantung di tiang sisi beton. Dinginnya angin rasanya menembus tulang belulang. Kupeluk erat tubuhku dengan kedua tangan.
“Ayo, kita pulang. Sudah malam,” Arya beranjak dari duduknya.
“Tunggu!” Aku menangkap dengan cepat pergelangan tangannya. Kini kami kembali saling pandang di bawah pendar cahaya rembulan.
Arya mengusap tengkuknya dengan lengan kirinya. “Aku terbawa suasana, mungkin karena sudah lama LDR,” katanya dengan wajah tertunduk.
Kulepaskan genggaman tanganku, “Sudah berapa lama?” tanyaku. Selama berteman, kami saling menjaga privasi. Aku hanya tahu dia sudah memiliki kekasih, begitu juga denganku.
“Sudah tiga bulan.” Arya memasukkan kedua tangannya dalam saku celana, kemudian menatap lurus ke depan.
Hah? Baru tiga bulan dia menjalin hubungan jarak jauh, sedang aku sudah berusaha menjaga kesetiaan selama setengah tahun jauh dari Rian. Ini bukan hari yang kurencanakan, pasrah dicium oleh atasan. Pikiranku terus mengembara, ada rasa bersalah teringat Rian yang setia di sana.
“Ayo, nanti kita kemalaman.” Arya berjalan meninggalkanku. Segera aku berlari kecil mencoba mengikuti langkah kakinya yang panjang menuju parkiran. Satu jam perjalanan pulang kami tempuh dengan keadaan hening, hanya ditemani suara kendaraan yang lalu lalang.
“Aku langsung pulang, ya,” katanya begitu sampai depan pagar rumah kosku.
“Tidak mau singgah dulu?” tawarku basa-basi. Aku tahu dia akan menolak, ada rasa canggung di antara kami berdua sejak ciuman di pantai tadi.
“Terima kasih,” Arya memutar balik motornya. Kupandangi punggungnya hingga hilang dari pandangan.
Aku berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Kurebahkan tubuh di kasur. Tiba-tiba ponsel dalam saku celanaku bergetar.
“Assalamulaikum,” ucapku saat menerima panggilan.
“Waalaikumsalam,” jawab Rian dari seberang telepon. “Lagi ngapain, Dek?” tanyanya.
“Gak ada. Lagi rebahan aja di kamar. Kalau Mas lagi ngapain?”
“Lagi mikirin Adek, nih.”
“Ih, gombal banget, sih.” Ada senyum terkembang di bibirku. Tak bisa dipungkiri, wanita adalah makhluk aneh. Bibir mengatakan tidak suka, tapi hati berbunga-bunga. Seperti diriku, merasa bagai banyak kupu beterbangan hanya mendengar Rian sedang memikirkan diriku.
“Hahahaha,” terdengar keras sekali suara tawanya. “Tapi, Mas enggak gombal, loh. Setiap hari Mas mikirin Adek, merindukan Adek. Kalau dulu kita bisa tiap hari ketemu, sekarang Mas cuma bisa lihat foto Adek dari ponsel saja. Enggak tahu kapan Mas bisa ketemu Adek, apalagi melamar Adek.” Suaranya terdengar sedih.
Aku mengenal Rian ketika tanpa sengaja bertemu di warung depan rumah kos. Ternyata rumah kos Rian hanya berjarak sepuluh rumah dari kosanku. Saat itu Rian bekerja sebagai karyawan harian lepas di sebuah pabrik kelapa sawit. Namun, setelah kami menjalin hubungan selama setahun, Rian memutuskan pulang kampung mengurus kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia.
“Adek masih setia, ‘kan, di sana?” tanyanya kemudian.
Deg! Degup jantungku seakan tiba-tiba berhenti. Apakah Rian merasakan firasat di sana?
“Mas ngomong apaan, sih? Tentu Adek masih setialah nungguin Mas.” Aku mencoba berkilah.
“Soalnya perasaan Mas enggak enak dari tadi sore. Mas teringat cerita Adek tentang Manajer baru itu.”
“Enggak usah mikir macam-macam, Mas. Manajer itu juga sudah punya pacar, kok.” Aku berusaha meyakinkan Rian akan firasat buruknya. Sebelumnya aku memang pernah bercerita bahwa kantor tempatku bekerja sedang ada pergantian manajer. Mungkin karena hampir tiap hari teleponan, jadi semua segala kegiatan kuceritakan pada Rian.
“Mas harus percaya sama Adek, ya,” kataku lagi, meyakinkannya.
“Iya, Mas percaya. Sekarang kita istirahat, yuk. Besok Adek kan harus bangun pagi-pagi biar enggak telat berangkat kerja.”
Sambungan telepon pun berakhir setelah kami saling mengucapkan salam.
Sejak awal berpacaran dengan Rian, Ibu tak pernah setuju. Alasannya karena Rian hanya karyawan pabrik yang tiap saat bisa dipecat, ditambah lagi kini Rian menganggur, membuat Ibu semakin menentang.
Aku tahu Ibu tak ingin aku merasakan kesulitan ekonomi ketika berumah tangga. Setidaknya jangan sampai aku menjadi tulang punggung keluarga seperti dirinya. Tapi rasa kasmaran terhadap Rian saat itu membuatku mengacuhkan nasihat Ibu. Berharap Rian akan membuktikan pada Ibu bisa hidup mapan dan membahagiakanku.
Rian adalah pemuda yang baik dan pekerja keras. Walaupun wajahnya tidak setampan Bang Karim bahkan, untuk urusan kemapanan juga dia sangat tertinggal jauh. Inilah yang membuat Ibu selalu marah, bagaimanapun Ibu berharap aku bisa bersanding dengan Bang Karim.
Namun sampai kapan aku harus menunggu? Bukankah wanita butuh kepastian? Tidak ada pernyataan cinta atau sayang dari Bang Karim. Hanya kenyamanan saling bercerita berbagai hal. Dan Bang Karim sering tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Saat itulah Rian hadir menawarkan cinta dan keseriusan. Dan aku mulai mencoba membuka hati padanya.
Sebelum Rian pulang kampung, kami sudah berjanji untuk saling setia. Bagaimanapun, ujian hubungan jarak jauh itu adalah tentang kesetiaan. Aku yang merasa penuh percaya diri, menganggap diri ini setia. Namun kenyataannya semua runtuh seketika malam ini. Sebuah ciuman singkat membekas di hati.
Bagaimana kami akan bertemu besok? Apa yang dipikirkan Arya sekarang tentangku? Dan aku, kenapa mau saja dicium pria lain yang bukan kekasihku? Aku menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran buruk. Kupejamkan mata, berharap semua hanyalah sebatas mimpi yang ketika aku terbangun semua kembali seperti semula.
Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun,sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.
Editor: Evamuzy