Perempuan dan Kenangan (Part 7)
Oleh: Cici Ramadhani
“Ma, Ma.” Satria menarik-narik lengan Ane sambil menunjuk ke arah playground. Sepertinya jagoan kecil ini tidak sabar untuk segera bermain.
“Iya, mainnya sama Mbak aja, ya.” Ane menoleh ke arah tangga, “Nah, tuh, Mbaknya.” Seorang gadis belia menghampiri. “Mbak, tolong temani Satria main, ya,” pinta Ane. Gadis itu mengangguk dan langsung membawa Satria bermain.
“Itu pengasuh Satria?” tanyaku.
“Iya, yang dulu udah gak kerja lagi karena sakit-sakitan. Yang ini baru tamat SMA,” jelas Ane.
“Pantas, kelihatan masih muda,” gumamku. Bersyukur, walau dulu hidup pas-pasan tapi aku bisa juga menyelesaikan pendidikan S1 meski harus bekerja sambil kuliah. Jika tidak, mungkin aku bernasib sama dengan gadis itu. “Oya, kenapa ke kota? Ada kerjaan, ya?” Aku menyeruput jus jeruk yang tak lagi dingin.
“Besok ada pelatihan.” Ane masih memperhatikan jagoannya bermain.
“Mungkin kalau aku menikah, umur anak kita gak beda jauh, ya,” ucapku, lebih tepatnya pada diriku sendiri. Menatap Satria yang bermain perosotan. Sesekali dia berteriak ketika tubuh mungilnya meluncur kemudian ditangkap pengasuhnya.
Ane mengalihkan pandangannya padaku. “Kamu menyesal?” tanya Ane. Ada penekanan di nada suaranya.
Aku menggeleng. “Menyesal sekarang pun percuma, kan?” tanyaku balik.
“Dulu udah pernah kubilang minta aja pertanggungjawabannya. Tapi, kamu bersikeras gak mau. Setelah itu apa yang kamu dapat? Kamu dicampakkan!” Wajah Ane memerah menahan marah. Tiap kali menyinggung Arya, Ane pasti berang.
Pembicaraan terhenti saat pramusaji datang membawa pesanan. Ane memanggil pengasuh Satria untuk makan bersama. Menu ayam penyet dan jus jeruk Ane diletakkan di hadapanku. Dia hapal betul kesukaanku karena tiap makan bersamanya, aku selalu memesan menu yang sama.
Kupandangi nasi yang ada di hadapanku. Jika bersama Arya, setengah nasi ini akan dimakannya karena aku tak pernah bisa menghabiskan satu porsi sendirian. Dia tak pernah merasa jijik saat menghabiskan sisa makananku.
“Kok, diliatin aja?” tanya Ane heran. “Atau mau ganti pesanan?”
“Gak, cuma kayaknya bakal gak habis, nih. Tadi aku udah makan sate,” kilahku.
“Tapi gak pake lontong, ‘kan, makannya?” tanyanya lagi.
Aku menjawab dengan anggukan kepala. Ini pun dia hapal, kebiasaanku jika sesekali ingin makan sate Madura, selalu memesan satenya saja.
“Kamu tetap harus makan nasi. Habiskan!” perintahnya.
Setelah selesai makan, bocah tiga tahun itu minta bermain di playground lagi. Tapi Ane hanya mengijinkan Satria bermain ayunan saja dengan alasan Satria baru selesai makan, tidak boleh berlari atau melompat-lompat. Sepertinya Satria tumbuh menjadi anak yang penurut, kelihatan dia mengangguk-angguk saat Ane berbicara. Satria juga bukan anak yang rewel, sedari tadi aku tidak melihatnya menangis karena sesuatu. Dia juga makan dengan tenang saat disuapi Ane.
Aku menghela napas panjang. “Kalau aku menikah waktu itu, apa aku bahagia? Aku tidak seberuntung dirimu,” keluhku. Sialnya aku dan Ane sama-sama tidak direstui keluarga dari pasangan kami. Namun, Mas Hendra–suami Ane–sangat mencintainya, hingga perjuangan cinta mereka sampai juga ke pelaminan. Dan Satria adalah bukti cinta mereka.
“Tidak seperti yang terlihat,” ucap Ane sambil mengaduk-aduk jus jeruknya yang tersisa setengah. “Mama mertuaku selalu ikut campur urusan rumah tanggaku. Alasannya semata peduli karena Mas Hendra anak laki-laki satu-satunya dan menjadi kesayangan. Aku tak pernah merasa nyaman. Kalau sudah menikah, urusan dapur dan kasur bukan lagi ranah orang tua mencampurinya.” Ane terlihat sangat kesal.
Aku tak mengerti apa sebenarnya maksud perkataan Ane, tapi aku tak berani bertanya kehidupan pribadinya, biarlah dia yang bercerita sendiri.
“Kamu tau, kan? Aku dan Mas Hendra sama-sama anak paling besar,” lanjutnya. “Dia lebih mengutamakan adik-adiknya, mengirim uang tanpa sepengetahuanku. Sementara aku juga punya adik-adik, setidaknya dia harus adil seperti aku memperlakukan adik-adiknya.”
“Kamu sudah bicara baik-baik dengan Mas Hendra tentang ini? Tentang keinginanmu bagaimana mengelola keuangan.”
“Sudah. Terakhir dia cerita sama mamanya dan mamanya salah paham. Padahal adeknya minta apa pun samaku selalu kukasih,” ucap Ane penuh emosi.
Ternyata kehidupan berumahtangga itu sangat kompleks. Tidak cukup bermodalkan cinta, suami-istri bekerja pun tidak menjamin tak ada yang diributkan soal keuangan.
“Sabar, An,” ucapku sambil menggenggam tangannya. “Semoga semua ada jalan keluarnya, kudoakan rumah tangga kalian selalu bahagia.”
Ane mengangguk dan tersenyum. “Bagaimana dengan gebetan barumu? Siapa dia? Kerja apa?” Ane mengalihkan obrolan. Kurasa cukup baginya mengeluarkan unek-unek karena aku juga tidak memiliki solusi apa pun, dari dulu aku hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Berbeda dengan Ane yang pemikirannya lebih terbuka, lebih ekspresif. Jika aku memilih memendam masalah, Ane lebih suka blak-blakan.
“Gak ada,” jawabku singkat.
“Kenapa? Kamu takut? Atau karena masih menunggu pria yang sudah jelas-jelas mencampakkanmu?”
Aku diam. Semua perkataan Ane benar. Aku masih menunggu Arya kembali, dan aku takut jatuh cinta pada pria lain karena masa lalu.
“Jangan menunggunya lagi. Buka hatimu untuk cinta yang baru.” Ane menyeruput jus jeruknya hingga tandas.
“Aku takut tak ada yang menerima masa laluku,” ucapku putus asa.
“Kalau pria masih perjaka takkan tahu istrinya masih perawan atau gak. Asal terus perawatan, minum jamu-jamuan. Tapi mungkin berbeda denganmu. Bahkan aku saja bisa dikatakan masih perawan karena melahirkan caesar.” Ane cengengesan. “Tapi tak perlu risaukan hal itu. Jika pria itu benar-benar mencintaimu, dia takkan mempermasalahkan masa lalumu. Karena yang terpenting adalah saat ini dan masa depan yang tentunya harus lebih baik.”
Aku memijit pelipis, tiba-tiba sakit kepala menyerang.
“Kalau nanti kamu menikah, berikan pelayanan terbaikmu, servis dia, puaskan dia. Aku jamin suamimu gak bakal menyesal menikahimu,” lanjut Ane.
Aku mengangguk-angguk seakan mengerti semua yang disampaikan Ane. Padahal butuh waktu mencerna segala kata-katanya. Mungkin yang Ane katakan berdasarkan pengalamannya. Lihatlah penampilannya sekarang. Berbeda saat setahun lalu, terakhir bertemu. Kini make-up tebal menghiasi wajahnya, ditambah bulu mata anti badai dan lipstik merah pada bibir tipisnya. Ane memang lebih modis sejak masa sekolah dulu. Walau dia banyak bergaul dengan teman laki-laki, tapi tetap memperhatikan penampilannya.
Untuk seseorang yang tinggal di kampung, penampilan Ane bagiku sangat mencolok. Aku tak paham, apakah ini tuntutan zaman yang mengharuskan menarik agar suami tak dilirik perempuan lain ataukah Ane memang sudah terbiasa berdandan? Mengingat dia adalah seorang wanita karir yang bekerja dalam instansi pemerintahan daerah. Atau karena Ane memang terlahir dengan kepercayaan diri yang tinggi? Apakah ke depannya aku akan merubah penampilan seperti Ane karena salah satu tuntutan tersebut? Entahlah. Jujur, sejak dulu aku ingin seperti Ane yang memiliki keberanian. Namun, aku sadar kami adalah sahabat yang memiliki pribadi yang berbeda.
“Mama ….” Satria berteriak, berlari memeluk Ane.
“Sudah puas mainnya?” tanya Ane sambil menciumi pipi tembem jagoannya.
Satria mengangguk-angguk, sesekali menguap.
“Kamu ngantuk, Sayang?” tanya Ane lagi.
Satria tak menjawab, tapi terus menguap.
“Tuh, kan, tadi cepat kali bangunnya. Sekarang kecapekan, jadi ngantuk lagi.” Ane tersenyum sambil menggendong Satria dalam dekapannya. “Ra, maaf aku gak bisa lama ngobrol sama kamu. Satria kalau udah ngantuk gini harus tidur di kamar ber-AC, kalau gak rewel banget dia,” ucap Ane sungkan.
“Gak apa-apa. Aku udah senang banget ketemu kamu hari ini,” ucapku sambil membelai kepala Satria dan mencium pipinya.
Kami berjalan bersama menuruni tangga menuju meja kasir. “Kali ini biar aku yang bayar,” kataku cepat sebelum Ane mengeluarkan dompet dari dalam tasnya.
“Tapi–”
“Ayolah, biarkan sesekali aku mentraktirmu,” potongku. Dan akhirnya, Ane menurut.
Setelah membayar aku mengantar Ane menuju parkiran. Sedari tadi kuedarkan pandangan mencari sosok Mas Haikal, tapi tak kutemukan. Sepertinya pemilik kafe ini sedang keluar, padahal aku ingin berpamitan padanya.
Ane meletakkan Satria di pangkuan pengasuhnya. “Ingat pesanku, jangan lagi tunggu pria brengsek itu. Sama aja, tuh, kayak si Dirga. Habis manias sepah dibuang,” ucapnya setelah duduk di balik kemudi.
“Iya, iya,” kataku sambil tersenyum.
Aku dan Ane saling melambaikan tangan. Kini mobil yang dikendarai Ane menyatu dengan mobil lain yang berdesakan di jalan raya. (*)
Cici Ramadhani menyukai literasisejak SMP. Namun,sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.