Wanita di Tepi Pantai
Oleh : Ida Royani Telaumbanua
Matahari telah masuk dalam peraduannya, sementara itu para nelayan terlihat sibuk menambatkan sampan, mengikat tali ke tiang pancang yang berdiri kukuh di tepian pantai. Sebagian dari mereka sibuk membongkar ikan hasil tangkap dari laut, anak-anak remaja juga ikut berlarian menuju sampan, membantu memilih ikan yang akan dibawa ke tempat penimbangan diikuti para pembeli yang sudah menunggu sejak tadi.
Saat para nelayan bersukacita dengan hasil tangkapan laut, terlihat di pinggir pantai, jaraknya tak jauh dari tempat para nelayan, seorang wanita tua sedang duduk di atas bebatuan yang dipenuhi lumut. Wajahnya tampak lesu, matanya sayu dan bengkak. Bibirnya tak henti berbicara meski tak ada lawan bicara. Ia hanya meracau sendirian. Sesekali mengusap bulir air mata yang jatuh membasahi pipi.
Aku berjalan, ingin mendekati wanita itu. Namun, langkahku terhenti ketika melihat seorang gadis remaja berlari mendekatinya.
“Nek, ayok kita balek! Hari dah gelap, sebentar lagi Maghrib.” Sepertinya gadis remaja itu cucu dari si nenek.
“Nenek menunggu Apak[1] Amee kau.”
“Apak Amee tak balek lagi, Nek. Yoklah kita balek!” ajak gadis remaja sedikit memaksa. Sang Nenek dituntunnya menuruni bebatuan yang dipenuhi lumut tebal.
Tak sedikit pun pandanganku beralih dari nenek dan cucu itu, ada sesuatu yang mengusik hati saat menatap wajah sendunya. Tubuh yang ringkih, berjalan agak sedikit bongkok dan sangat lambat.
“Hasna! Di sini kau rupanya, aku pikir tadi entah ke mana.” Aku terkejut begitu mendengar Kak Rusma memanggil dari jauh. Dia berlari menghampiriku.
“Nenek itu siapa, Wak?”
“Oh, itu Wak Cayo. Seminggu yang lalu, anaknya Amee hilang,” ucap Kak Rusma.
Sambil berjalan menuju rumah, Kak Rusma bercerita tentang awal mulanya Amee menghilang. Saat itu, selepas sholat Ashar, Wak Cayo berjalan mengelilingi pantai, wajahnya tampak risau. Setiap bertemu orang ia bertanya apa ada lihat Amee atau tidak. Tepat di depan rumah Nurdin, Wak Cayo berhenti, meminta tolong cucunya mencari paman mereka. Hasilnya sama saja, Amee tak terlihat di mana pun.
Seluruh warga di Kampung Kuala Aceh berkumpul, banyak yang bilang melihat Amee berjalan ke pantai. Memakai sarung dan sempat meminta uang pada orang yang singgah beristirahat di pinggir pantai.
Wak Cayo kemudian bercerita, sekitar pukul sebelas siang, Amee lapar ingin makan. Akan tetapi, di rumah tidak ada makanan. Kemudian Amee bilang ingin ke pantai meminta ikan pada bot yang singgah beristirahat di pantai. Hingga pukul empat sore, Amee belum juga pulang ke rumah. Perasaan Wak Cayo jadi tak tenang, sebab sejak pagi anaknya belum ada makan sedikit pun.
Warga pun mulai mencari informasi tentang keberadaan Amee. Aparat desa sepakat mencari di sekitar pantai dan hutan. Namun, hingga pukul dua malam, tidak ada tanda-tanda Amee ditemukan.
Esok harinya, juragan dan anak buah bot singgah mencari Nurdin, anak tertua Wak Cayo. Mereka datang untuk meminta maaf. Sebab, kemarin siang bot itu mendarat di tepi pantai, karena angin kencang dan ombak sangat besar disertai air laut pasang sehingga mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan ke tengah laut. Tiba-tiba, Amee datang meminta ikan, anak buah bot memberikan ikan satu plastik kecil. Pemuda itu tampak senang mendapat ikan, lalu berlari kecil meninggalkan bot. Di tengah perjalanan, ketika hendak menyeberangi jalan pantai yang terbelah akibat terjangan ombak, Amee terlihat kewalahan, kedua tangannya terangkat. Tangan sebelah kiri memegang plastik ikan, sedang tangan sebelah kanan mengangkat kain sarung. Air pasang semakin naik, Amee terpeselet dan jatuh dibawa ombak. Sebuah Bot yang melewati pantai melihat tangan Amee melambai. Anak buah bot berteriak mengajak teman-temannya untuk menolong, tapi mereka takut terjun ke laut sebab ombak sangat besar. Mereka pergi begitu saja membiarkan Amee tenggelam.
Nurdin mengamuk mendengar cerita mereka. Satu pukulan telak melayang ke wajah pemilik bot itu. Nyawa adiknya tidak terselamatkan karena sikap pengecut mereka.
Tangis Wak Cayo tumpah, sedangkan suaminya hanya bisa terduduk lemas. Sudah dapat dipastikan, Amee meninggal diterjang ombak. Tetapi pencarian tetap mereka lakukan, selagi mayat Amee belum ditemukan, mereka tidak akan berhenti mencari.
“Sejak saat itu, setiap sore sehabis sholat Ashar, Wak Cayo selalu duduk di pantai menunggu Amee pulang.” Kak Rusma menghentikan ceritanya.
“Amee itu anak durhaka, sehari sebelum hilang, dia sempat membentak Wak Cayo, minta uang buat beli rokok, sementara Wak Cayo tidak punya uang, dapat hasil kepah hanya dua puluh ribu. Kasian sekali Wak Cayo punya anak seperti Amee,” sahut tetangga Kak Rusma, entah sejak kapan dia ikut menyimak oborolan kami.
“Seburuk apa pun, yang namanya anak tetaplah anak. Kelak, kau akan merasakan sakitnya ditinggalkan anak,” ucap Kak Rusma.
“Halah! Kalau aku punya anak kayak si Amee itu, tak payah sedih gitu. Berkurang beban mengurus anak pembangkang sama orang tua,” sergah wanita itu, ketus.
Aku hanya bisa istigfar mendengar celotehan wanita itu, masih ada saja yang berkata menyakitkan ketika orang sedang berduka.
***
Esok hari, setelah sholat Ashar, aku sengaja duduk di batu besar yang dipenuhi lumut, tempat biasa Wak Cayo duduk. Aku merasa penasaran dengan ucapannya kemarin. Lalu, sayup-sayup aku mendengar Wak Cayo berceloteh sendirian.
“Amee baleklah, Nak. Amee bukan anak durhaka, tak pernah Omak menyumpah. Baik anak Omak. Tak ada kawan Omak tidur, Nak. Ayah kau udah sakit-sakit, tiap malam ngigau aja dia, Nak. Baleklah, ya, Nak. Omak dah masak gulai ikan di rumah,” ucap Wak Cayo lirih.
Aku pergi, meninggalkannya duduk sendirian di sana. Hatiku remuk saat melihat ia menangis. Rupanya, tak ada seorang pun ibu yang sanggup kehilangan anaknya, meski itu seorang anak durhaka. (*)
Catatan:
Apak: Paman
Ida Royani Telaumbanua, wanita yang dikenal galak ini menyukai literasi sejak bergabung di KBM, tetapi baru memulai untuk menulis setelah mengikuti beberapa kelas belajar menulis online.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata