Dilema
Oleh : Rinanda Tesniana
Langit sudah gelap ketika aku mengetuk pintu rumah. Pelan saja, karena tak ingin mengganggu tidur Gea-bayi mungilku. Tak lama, pintu terbuka, wajah cantik Naina-istriku menghilangkan seluruh penat di tubuh.
“Kok Abang pulang malam?” Dia bertanya sambil meletakkan tanganku di keningnya.
“Mulai sekarang abang mungkin sering pulang malam, Na. Abang dapat promosi jadi kepala regu.”
“Alhamdulillah.” Naina menadahkan kedua tangannya sambil mengucap syukur.
Aku tersenyum bangga. Menjadi kepala regu petugas keamanan di sebuah perusahaan kayu terbesar di Sumatera bukan pekerjaan main-main. Tanggung jawabnya sangat besar, dan aku terpilih untuk mengemban tugas sepenting itu.
Setelah membersihkan badan, aku merebahkan tubuh di atas kasur. Naina sudah tertidur dengan wajah lelah di sebelahku.
Ingatanku kembali pada puluhan tahun yang lalu. Saat ibu keluar dari rumah, membawa Hani-adikku dan sebuah koper besar. Aku yang masih berumur sepuluh tahun, berteriak memanggil ibu dan Hani, tapi ibu terus berlari tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.
Ayah hanya berdiri kaku di depan pintu, tak ada usahanya untuk memanggil ibu.
Setelah aku dewasa, barulah aku tahu, ibu pergi karena ayah tidak bekerja. Ayah memang tak memiliki pekerjaan tetap. Sehari-hari beliau menggantungkan hidup dengan bekerja sebagai kenek, atau asisten tukang. Hasilnya tentu tidak seberapa, tapi selama ini tak pernah ada masalah.
Suatu hari, rumah yang ayah dan bosnya bangun, roboh dan menewaskan anak sang pemilik, sejak saat itu, ayah tak pernah mendapatkan pekerjaan lagi.
“Laki-laki harus bekerja, Man. Perempuan tak kenyang dengan cinta,” ujar ayah saat aku minta izin untuk menikah dengan Naina.
Aku mengangguk. Nasihat itu tertanam dalam jiwaku. Ayah adalah orang baik, terlihat jelas beliau mencintai ibu. Ayah memeluk ibu setiap saat, ayah mendengarkan semua keluhan ibu tentang harga bahan pokok yang terus merangkak naik setiap bulan, ayah mengurut kaki ibu setiap malam, ayah tak pernah tidur sebelum ibu tidur, dan banyak hal manis yang ayah lakukan untuk ibu.
Nyatanya, semua itu tak mampu menahan ibu untuk tinggal.
“Cinta dan perhatian tak ada gunanya saat kau tak ada beras untuk makan, Man. Bekerjalah, habiskan waktumu untuk mencari uang, agar istrimu tidak meninggalkanmu, seperti ibu.”
Ayah telah tiada, tapi semua perkataannya tertanam dalam sanubariku. Aku berusaha bekerja sebaik-baiknya agar Naina tidak meninggalkanku seperti ibu.
***
“Bang, lihat Gea, dia sudah bisa lari.”
Aku sedang memasang sepatu, sedikit terlambat sebenarnya, jadi aku tidak ada waktu untuk merespons Naina.
“Abang berangkat, Na.”
“Bang, memangnya harus pulang malam terus?” rajuk Naina.
“Iyalah, Na. Abang harus pastiin anggota beres baru bisa pulang.”
“Na kangen, Bang. Udah lama gak ngobrol.”
Aku mendengkus. Perkara sepele seperti itu tak harus dibesar-besarkan.
Wajah Naina berubah mendung. Aku mengangkat bahu. Tak ada waktu untuk mendengar keluhannya. Aku harus bekerja demi memenuhi kebutuhan anak dan istriku.
***
Gajiku semakin besar seiring dengan kenaikan jabatanku. Sekarang, aku bukan petugas keamanan lagi, tapi sudah jadi karyawan kantor.
Naina melompat senang saat mendengar kabar baik itu, pun Gea. Gadis kecil berumur lima tahun itu memeluk kakiku.
“Kalau begitu, Abang bisa sering di rumah sekarang.” Naina tersenyum hangat.
“Ya gak bisa, Na. Abang harus kerja keras, mencari uang sebanyak-banyaknya, supaya kebutuhan kalian terpenuhi.”
“Bang, kebutuhan itu bukan hanya lahir, kebutuhan batin pun harus terpenuhi, Bang. Na perlu perhatian dan kasih sayang, Na ingin ngobrol dengan Abang. Gea juga, Bang.”
Aku menepiskan tangan ke udara. Omong kosong! Dalam hidup, uang yang mengatur semuanya, tanpa uang, nyamuk pun enggan menghisap darah kita.
Aku mencintai Naina, sangat. Karena itu aku harus bekerja sekuat tenaga, agar Naina setia di sisiku, tidak meninggalkanku seperti ibu.
Sebulan menjadi staf kantor, aku semakin sibuk. Naina aku hujani dengan barang-barang mewah. Uang nyaris tak pernah berhenti aku berikan. Aku bahagia sebab bisa membahagiakannya.
Namun, aku sedikit heran, garis murung di bibir tipis Naina semakin nyata kini. Ada apa? Bukankah aku sudah memberikan apa yang seluruh perempuan sukai?
“Bang, lihat ini, gambar Gea.”
Naina menunjukkan kertas putih yang berisi coretan tangan Gea. Aku meliriknya sekilas.
“Bagus,” ujarku singkat. “Abang pergi, ya.” Aku mengencangkan tapi sepatu.
“Hari minggu mau ke mana, Bang? Na pengen di rumah sama Abang, kangen.” Suara manjanya menggugahku, tapi aku sudah terlanjur janji dengan pak Harun masalah jual beli tanah. Jangan sampai gagal, jika berhasil, maka rumah ini bisa aku renovasi menjadi lebih besar.
“Abang harus kerja.”
“Kerja-kerja terus! Na juga butuh Abang, Gea juga.” Untuk pertama kalinya, setelah tujuh tahun menikah, Naina membentakku.
“Abang harus cari uang.”
“Na gak butuh uang banyak, Bang. Lebih baik kita seperti dulu, waktu Abang lebih banyak buat kami, mendengarkan cerita Na, kita bisa ketawa bersama melihat tingkah Gea.”
“Jangan naif!”
Aku berkata keras dan meninggalkannya. Masih kudengar jeritan Naina memanggilku sebelum pedal gas mobil aku tekan dalam-dalam.
Aku tak habis pikir dengan Naina. Harusnya dia senang aku bekerja keras untuknya. Bukan malah menuntut perhatian. Memangnya dia mau, aku memberi perhatian tapi tak memberi uang? Dasar aneh!
Jarum jam di pergelangan kiriku menunjuk ke angka sepuluh saat mobil baruku memasuki halaman rumah. Aku ingin memberi kejutan untuk Naina dan Gea, mobil keluaran terbaru ini adalah hasil penjualan tanah kepada pak Harun, sisanya masih banyak. Cukup untuk liburan ke luar negeri seperti keinginan Naina.
Aku sedikit heran karena rumah gelap gulita. Naina pun tak menyambutku di depan pintu seperti biasa. Ke mana istri dan anakku?
Aku memanggil Naina dan Gea, suaraku hampir habis tetapi tak kunjung ada jawaban. Aku intip ke dalam kamar, berharap mereka ada di sana, entah tertidur atau keasyikan ngobrol hingga tak mendengar panggilanku. Nihil. Mereka tak ada di mana-mana.
Astaga! Kenapa aku tak terpikir untuk menelepon Naina. Segera kuambil benda pipih itu dari dalam saku. Ada beberapa pesan di aplikasi berlogo telepon, salah satunya dari Naina.
[Maaf, Bang, Na pergi. Akan kembali kalau Abang sudah berubah.]
Entah apa inginnya para kaum hawa ini. Dulu, ibu pergi karena ayah tak ada uang, sekarang Naina pun pergi walaupun aku memberi banyak uang. Dadaku sesak, amarahku rasanya ingin meledak. Aku banting benda canggih itu hingga pecah.
***
Padang, 9 Oktober 2020
Rinanda Tesniana – Seorang ambivert yang senang membaca.
Editor : Freky Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata