Perempuan dan Kenangan (Part 6)

Perempuan dan Kenangan (Part 6)

Perempuan dan Kenangan (Part 6)
Oleh : Cici Ramadhani

“Halo, Ra. Lagi kerja, ya?” tanya Ane dari seberang. Ane adalah sahabatku. Dari SD sampai SMA kami satu sekolah, bahkan saat SMA kami satu bangku.

“Gak. Aku lagi di stasiun, nih, ngantar Ibu. Kamu di mana?” Aku punya feeling kalau Ane sedang berada di kota.

“Berarti kamu gak kerja, dong? Ketemuan, yuk,” ajaknya.

“Ayok,” jawabku senang. “Di mana?”

“Di Kafe Black White aja, gak terlalu jauh dari rumah mertuaku. Kamu tau?”

“Tau. Malam Minggu kemarin, aku baru nongkrong di sana.”

“Wih, nongkrong sama gebetan baru ya?” goda Ane dari seberang.

“Gak. Bukan–” Belum selesai aku bicara, Ane sudah memotongnya.

“Tapi, aku senang, loh, kalau kamu udah move on. Ntar kita ceritanya di sana aja ya. Sekitar setengah jam lagi kita ketemuan, ya.”

Setelah sepakat, Ane memutuskan sambungannya. Aku berjalan menuju parkiran motor, saat duduk, pantat seperti berada di atas penggorengan. Jok motorku panasnya luar biasa. Kenapa, sih, nih, tukang parkir tak mau nutupin pakai kardus kayak di depan tokotoko kelontong itu. Taunya terima duit aja, rutukku dalam hati.

Setelah membayar, kulajukan motor matic kesayanganku menuju Kafe Black White. Jarak stasiun ke kafe Mas Haikal lumayan jauh, tapi setidaknya aku bisa sampai lebih dulu di sana jika berangkat sekarang.

Setelah memarkirkan motor, aku masuk ke dalam kafe, lalu menuju lantai dua. Aku ingin ngobrol dengan Ane sambil melihat orang lalu-lalang dari lantai dua. Jika di lantai satu terdapat lebih banyak meja dan panggung mini, di lantai dua sebaliknya. Ruangan di lantai ini dikelilingi kaca tembus pandang. Hanya ada sekitar tiga meja di balkon dan dua meja di dalam. Ada sebuah musala kecil dengan kamar mandi di sampingnya dan taman bermain anak. Kalau saja panasnya tidak menyengat, mungkin aku lebih memilih duduk di balkon. Kuputuskan duduk di kursi yang mejanya berada di sisi kaca mengahadap jalan raya. Aku bisa melihat kendaraan lalu-lalang di jalan raya dari sini. Kuambil ponsel dari dalam tas selempang, berniat menghubungi Ane. Namun, muncul notifikasi dari aplikasi berwarna hijau itu.

Ra, sorry. Aku agak telat. Anakku baru bangun tidur, nih, sekalian aku ajak aja. Kamu udah sampai, ya? Pesan dari Ane.

Udah, baru aja. Gak apa. Gak usah buruburu, beresin aja dulu si Ganteng.

Kukirim gambar playground yang berada di sisi kiri mejaku dengan  caption : Aku tunggu di sini, oke. Dan langsung centang dua berwarna biru.

Sip, sabar, ya, Sayang. Ane mengirim balasan dengan emoticon kiss. Senyum terkembang di wajahku membaca balasannya.

Ane memang super ramai sedari dulu. Berbeda jauh dariku, yang lebih pendiam. Sebenarnya bukan pendiam, tapi lebih ke rendah diri. Sejak kehilangan figur seorang ayah, aku menjadi anak yang minderan. Saat SMA aku hanya memiliki teman yang bisa dihitung dengan jari, tapi tidak dengan Ane. Hampir tiap kelas dia punya kenalan. Ditambah lagi dia anak basket, pergaulannya sungguh luas sampai di SMA lain.

Kami memiliki latar belakang keluarga yang hampir sama yaitu sama-sama anak broken home. Bedanya, kalau bapakku menikah lagi sejak aku SMP, sedangkan papanya Ane sejak Ane kelas tiga SMA. Namun begitu, papanya Ane masih tinggal serumah dengan anak-anaknya. Ane dan adik-adiknya tidak pernah merasakan kekurangan materi sedikit pun. Papa Ane seorang kontraktor, sedangkan mamanya seorang ASN. Sekali pun Ane tak pernah mengeluh akan perpisahan kedua orang tuanya. Entah karena Ane memang bisa mengerti alasan perpisahan kedua orang tuanya atau Ane yang pandai menyimpan perasaan, aku tak pernah tahu. Akan tetapi, sebagai anak sulung kami sadar harus menjadi pribadi yang kuat sebagai contoh untuk adik-adik kami. Padahal, siapa yang tahu apa yang kami rasa. Kehidupan pahit seperti apa yang pernah kami jalani.

“Rara.”

Reflek aku menoleh ke sumber suara. Kaget. Entah sejak kapan pemilik kafe ini berada di sampingku, aku sama sekali tidak menyadari kehadirannya.

“Eh, Mas Haikal rupanya,” kataku gugup.

“Kamu, sendirian?” tanyanya.

“Gak, Mas. Aku lagi nunggu teman.”

“Oh, janjian sama teman cowok, ya?” godanya.

Ah, bisa nggak, sih, dia nggak usah senyumsenyum gitu. Lesung pipinya bikin nggak kuat. Tapi, mana mungkin dia gak senyum ramah, lah, itulah triknya menarik pengunjung kafe. Siapa pun pasti betah lama-lama di sini sambil curi-curi pandang pemilik kafe yang tampan ini. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Jangan sampai aku terpesona pada ketampanannya. Aku gak mau disebut pelakor–lagi. Ampun.

“Kenapa? Kok, geleng-geleng?” tanya Mas Haikal. Alisnya menyatu.

“Hehehe. Nggak papa, Mas. Cuma pusing dikit, mungkin karena tadi di luar panas kali.” Aku mencari alasan. Tapi, sepertinya jawabanku cukup masuk akal, terlihat Mas Haikal yang mengangguk-angguk.

“Kamu udah pesan sesuatu?” tanyanya lagi.

Aku menjawab dengan menggelengkan kepala.

“Mau pesan apa? Sekalian aku mau turun,” tawarnya.

“Jus jeruk aja satu, Mas. Pesanan lainnya, ntar aja tunggu temanku datang,” jawabku terbata. Panas matahari membuat kerongkonganku kering, ditambah harus berhadapan dengan cowok ganteng begini, berkali-kali harus menelan ludah.

“Oke, aku pesankan jus kamu dulu ya,” pamitnya.

Lagi, senyum manis yang memperlihatkan lesung di kedua pipinya terpampang nyata. Lebih indah dipandang dari jarak dekat seperti ini.

Kuberi kode oke dengan jariku. Dan kemudian aku melihat punggung itu berlalu menuruni anak tangga. Ah, kuhela napas panjang. Lega, akhirnya Mas Haikal meninggalkanku sendiri.

Sambil menunggu, aku berselancar di media sosial berlambang f. Berandaku dipenuhi para pedagang online. Mulai dari pakaian, sepatu, buku, hingga makanan dijual secara online. Jika Arya tidak memblokirku dulu, mungkin kini aku akan membuka berandanya. Penasaran, bagaimana sekarang kabarnya, kesehariannya. Sekali pun Arya tidak memblokirku, takkan kutemukan status terbaru di berandanya, karena Arya bukanlah tipe pria yang selalu update status.

“Teman kamu belum datang juga?” Tiba-tiba Mas Haikal sudah duduk di hadapanku. Dia memindahkan jus jeruk dari atas nampan ke atas meja tepat di depanku.

“Makasih, Mas.” Segera kuseruput jus jeruk yang sebelumnya kuaduk-aduk dengan pipet. Dinginnya terasa segar menyentuh tenggorokanku. “Temanku agak telat datang, anaknya baru bangun tidur tadi katanya,” lanjutku menjawab pertanyaan Mas Haikal.

“Oh, sudah berkeluarga temannya?”

Aku mengangguk-angguk. “Baru punya anak satu. Dia teman satu kampung, cuma mertuanya orang sini,” jelasku.

“Mas Haikal sendiri, anaknya udah berapa?” tanyaku penasaran.

Dia tergelak menunjukkan gigi-gigi putihnya yang berderet. Aku menautkan alis. Bingung. Di mana letak lucunya pertanyaanku, mengapa Mas Haikal tertawa?

“Apa aku terlihat seperti bapak-bapak bagimu, Ra?” tanyanya menahan tawa. “Apa aku setua itu, ya?” Dahinya berkerut.

“Ya … enggak, sih,” ucapku terbata. “Cuma kupikir karena Mas teman kuliahnya Kak Diana, jadi umur kalian pasti sama. Jadi, kupikir–” Aku tak lagi melanjutkan, takut kata-kataku menyinggung perasaannya. Menikah, momongan dan uang, ketiganya adalah hal-hal yang sensitif.

“Itu Aunty Rara.”

Serentak aku dan Mas Haikal menoleh ke arah tangga. Terlihat Ane dan anaknya–Satria–berjalan ke arah kami. Aku melambaikan tangan.

“Hai, Sayang,” sapaku pada Satria. Kupeluk dan kucium jagoan Ane itu. Setelah itu bergantian memeluk Ane.

“Ini siapa?” bisik Ane melirik Mas Haikal.

“Eh, kenalin. Ini Mas Haikal, pemilik kafe ini. Mas, ini Ane sahabat kecilku.”

Mas Haikal dan Ane saling berjabat tangan.

“Kalian mau pesan sekarang atau nanti?” tawar Mas Haikal.

“Aku udah pesan tadi, Mas, di bawah,” jawab Ane.

“Oke kalau gitu aku tinggal kalian. Selamat melepas rindu,” ucapnya tersenyum kemudian berlalu.

“Kok bisa kamu kenal pemilik kafe ini, Ra?” tanya Ane setelah Mas Haikal tidak terlihat.

“Dia teman bosku di kantor,” jawabku datar.

“Udah nikah belum, tuh?” tanyanya lagi.

Aku hanya mengangkat kedua bahu. Apakah Mas Haikal sudah menikah, namun belum memiliki anak? Atau, dia adalah pria dewasa yang masih betah melajang seperti Kak Diana? Jika iya, mengapa pria setampan dan semapan dia masih sendiri? (*)

 

Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun,sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply