Memarahi dengan Anggun
Ayahku tidak pernah membentak kami dengan kasar, seperti orang jawa kebanyakan beliau adalah seorang priai yang menjadi role model dalam kehidupan kami.
Suatu kali aku mengepel lantai, namun bukannya bersih, lantai malah semakin kotor karena caraku mengepel yang tidak rapi. Bukannya marah, beliau malah tertawa dan bilang, “Ini ngepel apa membatik?” seketika aku ikut tertawa dan dengan senang hati mengepel kembali.
Lain waktu ketika disuruh mencuci kendaraan, aku hanya menggunakan air seember dan Ayah pun bertanya lagi, “Ini mau nyuci motor apa nyiram motor?” Lagi-lagi aku dibuatnya tersenyum, kemudian Ayah mengambilkan selang air. Kadang-kadang kami usil, dengan sengaja melakukan kesalahan supaya bisa mendengar candaan Ayah.
Cara Ayah itu kemudian aku tiru, ketika aku melihat sampah-sampah bertebaran di mana-mana, aku tidak langsung menyuruh muridku memungutnya. Aku akan berjongkok agak lama untuk mengambil beberapa sampah lalu menjatuhkan satu atau dua plastik sehingga muridku bisa melihatnya dan datang membant. Tanpa disuruh mereka akan meneriaki teman-temannya, “Kasihan, Miss, harus memunguti sampah sendiri. Biar kami saja, Miss, kami janji tidak akan buang sampah sembarangan.”
Kemudian aku akan menanggapinya dengan lembut, “Oh ya? Bagus sekali itu, terima kasih ya.” Dan ajaibnya, sejak itu jarang sekali kulihat sampah bertebaran.
Ada juga murid yang super bandel. Kelakuanya sungguh membuat jengkel dan memarahinya hanya akan membuatnya semakin menjadi-jadi. Jadi, alih-alih menegurnya, aku menyuruh temannya untuk menempelkan stiker kecil—yang tidak berbekas di pakaian—di punggungnya setiap dia berulah. Nanti tiap pulang sekolah, akan dihitung berapa banyak stiker yang menempel di sana.
Hari pertama ada banyak sekali stiker yang menempel di seragamnya, sampai hari ke duabelas, seragamnya bersih dari stiker.
“Lho, kemana stikermu, Donni?” tanyaku takjub.
Ia menanggapiku dengan tersenyum sambil menjawab, “Terlalu nakal gak enak, Miss, sepanjang jalan pulang ke rumah aku diketawain, dan capek juga melepas stiker itu tiap hari. Lain kali hukumanya diganti aja, Miss.”
Apa aku sukses? Tidak juga! Donni tetap saja bandel, hanya saja tidak separah sebelumnya. Lumayanlah.
Enak ya, kalau disuruh dengan lembut, dimarahi dengan kata-kata yang tertata rapi, rasanya kok beda saat kita dibentak dan dimarahi dengan kasar. Selain menyakitkan, hal itu juga membuat anak-anak takut. Takut kepada gurunya dan takut membuat kesalahan. Dan yang paling buruk, mereka akan takut untuk mencoba hal baru.
Jadi, besok-besok kalau mau marah, mau menyuruh-suruh, pertimbangkanlah untuk melakukannya dengan cara lain yang lebih lemah lembut, sebab hal itu bisa membuat yang disuruh (atau ditegur) akan merasa senang. Kita juga akan senang karena apa yang kita inginkan akan dilakukan dengan baik. Ya, walau terkadang hasilnya tidak langsung sesuai harapan, tapi mereka masih bisa memperbaiki perilakunya di lain hari.
Bukan begitu?
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan