Rindu yang Tak Bertuan

Rindu yang Tak Bertuan

Rindu yang Tak Bertuan

Oleh : Ida Royani Telaumbanua

 

Cuaca malam ini terasa dingin, rembulan terlihat ditutupi awan gelap, sementara jam masih menunjukkan pukul 19.30 malam. Aku merekatkan jaket, mengecek perlengkapan kerja dalam tas lalu meletakkannya pada pertengahan motor Vario yang dikendarai. Kulajukan kendaraan dengan kecepatan 60km/jam agar bisa segera sampai di rumah. Rintik hujan mulai jatuh mengenai pergelangan tangan, aku membuka kaca helm, membiarkan hujan membasahi setiap sudut  wajah, menyamarkan air mata yang siap  keluar. Sayup-sayup, terdengar alunan takbir menggema di setiap mesjid. Ada yang terasa sakit hingga tidak bisa ditahan meski sudah ditekan kuat.

Kenangan demi kenangan di masa lalu kembali terbayang dalam ingatan. Sungguh, tak sedetik pun aku lupa tentang itu. Tentang masa indah yang pernah kita lalui bersama. Lalu kau pergi begitu saja dalam hidupku, tanpa pernah memberitahu sebelumnya. Aku sakit. Masih sakit seperti dulu. Kenapa kau memberiku kenangan indah bila hanya untuk ditinggal sendirian?  Kau bilang akan terus ada bersamaku saat suka maupun duka, lalu sekarang kamu di mana? Aku ingin bersamamu malam ini, menghabiskan waktu bersama seperti tahun yang lalu.

 

************

Satu tahun yang lalu ….

Nada dering ponsel terdengar nyaring di setiap sudut ruangan. Aku berlari ke ruang tamu, mengambil benda datar yang dari tadi mengusik ketenangan. Melihat nama panggilan masuk saja sudah membuatku tersenyum, segera menekan tombol jawab.

“Halo, Assalamu’alaikum, apa ini dengan Ibu Sarah?” Terdengar suara serak khas dari lelakiku.

“Wa’alaikumussalam, iya, benar. Ini dengan siapa?”

“Ini dengan Pak Handoko, ingin mengabari bahwa sebentar lagi Ibu akan dijemput. Segera bersiap-siap agar Pak Sopir gak nunggu lama.”

“Oke. Siap, Pak!” seruku seperti tentara yang menghormati komandan. Lelaki di balik telepon itu tertawa renyah.

Aku melirik jam di ponsel lalu bersiap dengan mengenakan gamis berwarna biru muda dipadukan khimar warna senada. Sembari menunggu Mas Han datang, aku membalas beberapa chat WhatsApp dari teman yang sibuk mengajak kopi darat. Beberapa menit kemudian terdengar bunyi klakson mobil, aku berlari kecil mendatangi Mas Han, lalu berangkat menuju tempat praktik dokter kandungan. Rasanya sudah tidak sabar mengetahui hasil tes yang kami lakukan kemarin.

Dr. Imran Hasyim, Sp.OG, berulang kali aku membaca nama itu. Sementara sang Dokter sedang fokus melihat hasil tes kami.

“Ibu Sarah … dari hasil testa yang kami lakukan, anda positif mengidap PCOS,” ucap Dokter Imran, wajahnya terlihat gusar dan kening mengerut.

“PCOS?” Aku tidak mengerti dengan nama penyakit itu, baru kali ini mendengarnya. Di sampingku, Mas Han menggenggam erat tanganku, seketika kami beradu pandangan. Ada bening-bening halus yang siap keluar dari sudut mataku.

“Iya, Bu. PCOS, polycystic ovary syndrome, gangguan kesuburan pada wanita akibat adanya kista di indung telur atau ovarium. Bisa menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yang memengaruhi atau mengganggu menstruasi dan menyebabkan wanita sulit hamil.”

“Apa penyakit itu bisa disembuhkan, Dok?” Mas Han bertanya, tangannya masih dalam genggamanku.

“Penyakit ini hanya bisa dicegah dan mengurangi gejala yang akan ditimbulkan, belum bisa diobati. Kecil kemungkinan Ibu Sarah bisa hamil.” Dokter Imran menunduk pasrah.

Dadaku kian menyesak, tak kuasa menahan air mata. Kami memohon ijin pamit keluar ruangan. Mas Han masih saja memelukku erat. Tubuh ini terasa lemas. Harapan kami telah pupus, aku tidak bisa memberikan keturunan untuk Mas Han. Aku tidak sempurna.

“Mas … maafkan aku. Aku tidak bisa memberikanmu kebahagiaan juga keinginan dan impian yang kita idamkan belum bisa terwujud. Aku ikhlas, bila Mas menikah lagi,” ucapku saat kami duduk di ruang makan. Setelah pulang dari rumah sakit, kami hanya terdiam dengan pikiran masing-masing.

Mas Han menyentuh tanganku, kemudian mengecupnya pelan dengan penuh perasaan. Tatapan matanya teduh dan menenangkan, inilah yang aku sukai dari lelaki yang menemani hidupku selama tujuh tahun.

“Sarah … jangan pernah ucapkan kata itu lagi. Mas sudah berjanji akan bersamamu, walau apa pun yang terjadi. Kita akan tetap bersama.” Mas Han berjalan ke arahku, mengajak ikut berdiri, kemudian mengecup kening, lalu kedua mata, turun ke hidung dan bibirku, “Tidak akan ada wanita lain dalam hidupku, hanya kamu,” bisiknya lembut.

Kami berpelukan erat, sangat erat. Menumpahkan segala sesak dan air mata. Aku tidak ingin kehilangan Mas Han. Ada perasaan takut bila suatu hari nanti ia akan pergi meninggalkanku sendirian. Meski kutahu, di dunia tidak ada yang abadi. Semua pasti akan merasa kehilangan dan ditinggalkan.

************

 

Pagi ini sangat indah, langit terlihat cerah ditutupi awan tipis. Matahari tampak malu-malu menampakkan sinarnya. Jam dinding menunjukkan ke angka tujuh. Setelah membuka jendela rumah, aku mempersiapkan perlengkapan kerja Mas Han juga bekal yang akan dia bawa ke kantor.

“Pagi, Sayang.” Sebuah kecupan hangat mendarat di keningku. Senyum hangatnya terlihat manis.

“Pagi,” balasku manja. Mas Han duduk di meja makan sementara aku menyendokkan nasi ke piring. Hari ini aku memasak menu kesukaannya, sambal kerang dengan sayur daun ubi tumbuk. Wajahnya begitu senang melihat lauk yang kuhidangkan dipiring.

“Siang nanti kita jadi ke kantor properti itu, kan?”

“Properti mana? Mas mau beli rumah?”

“Iya, Mas ingin membelikan rumah untukmu.”

“Dengan kredit? Mas kan tahu aku tidak mau kredit rumah, itu riba!” seruku sedikit meninggikan suara. Sejak awal aku tidak suka Mas Han membeli rumah secara kredit.

“Mas tahu, tapi Mas tidak tahu kapan waktu akan berhenti untuk Mas, ketika itu terjadi, Mas ingin memastikan dirimu memiliki tempat tinggal yang layak. Mas yang akan bertanggungjawab dengan pembayarannya,” ucap Mas Han pelan.

“Mas … aku tidak mau hidup dalam hutang riba, lebih baik aku tidak punya rumah daripada hutang. Aku bahagia meski kita ngontrak rumah, dan Mas gak boleh ngomong waktu akan berhenti untuk Mas.”

“Yang berhutang bukan kamu, tapi Mas! Pokoknya, nanti siang Mas akan pergi ke properti itu dan membeli rumah. Kalau kamu gak ikut, gak apa-apa.”

“Kalau Mas tetap maksa beli rumah dengan kredit. Aku tidak akan mau tinggal di rumah itu!” Kali ini aku kecewa dengan sikap Mas Han, sebelumnya kami tidak pernah bertengkar seperti ini. Pasti akan ada yang mengalah.

Mas Han pergi dengan amarah, begitu juga denganku. Untuk apa membeli rumah dengan kredit, bukankah lebih baik uang itu ditabung saja dulu. Kenapa Mas Han tidak bisa sabar dalam beberapa tahun saja? Harusnya pagi yang cerah ini juga secerah hati kami.

Tepat pukul sebelas siang, aku mematut diri di cermin. Memerhatikan pakaian dan riasan wajah, mengenakan make-up tipis dengan lipstik yang tidak terlalu cerah. Hari ini, aku sudah membuat mood-nya berantakan, semoga dengan mengajaknya makan siang di luar, bisa mengurangi sedikit ketegangan yang ada.

Setelah memastikan rumah terkunci dengan rapat, aku memasukkan ponsel juga dompet ke dalam tas, lalu keluar rumah dan mengunci pintu depan. Saat sedang menunggu taksi online yang dipesan, tiba-tiba ponsel-ku berdering. Panggilan dari kantor Mas Han, mungkin dia yang menelepon.

“Halo, Assalamu’alaikum.” Aku tersenyum saat mengucap salam. Menunggu jawaban mesra dari Mas Han.

“Ha-ha-halo, Wa’alaikumussalam,” jawab seorang wanita dengan suara terbata.

“Ya, dengan siapa ini?” tanyaku penasaran. Biasanya tidak pernah ada pegawai di tempat Mas Han meneleponku, ini pasti kabar penting.

“I-ini dengan Ike, Bu Sarah.” Masih dengan suara terbata, aku merasa seperti ada yang tidak beres. Kenapa wanita itu gugup ditelepon.

“Iya, Ike, ada apa?”

“Ibu Sarah … bisa datang ke rumah sakit sekarang?”

Ada apa ini? Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Mas Han. Pikirku

“Pak Handoko, masuk rumah sakit. Barusan, ada kecelakaan di depan kantor dan Pak Handoko tertabrak truk saat menyeberang,” lanjutnya

Allah! Napasku sesak, detak jantungku semakin kencang. Serasa waktu terhenti saat itu juga. Aku kehilangan keseimbangan, terduduk lemas di jalan. Aku harus kuat!

Tidak boleh lemah! Mas Han pasti baik-baik saja. Pasti!

Aku mengumpulkan sedikit tenaga yang masih tersisa, mematikan telepon lalu menghubungi pengemudi taksi Online agar segera sampai.

“Pak, tujuan kita ke rumah sakit Mitra Medika. Tolong lebih cepat!” seruku cepat begitu mobil sampai.

“Yang di Brayan apa di SM. Raja, Bu?”

Aku baru teringat, di kota ini ada tiga rumah sakit dengan nama yang sama.

“Yang di SM. Raja, Pak.”

Kantor Mas Han berdekatan dengan rumah sakit itu, aku yakin Mas Han dibawa ke sana. Sepanjang perjalanan Pak supir mengajak berbicara, sedangkan aku hanya menjawab dengan tangisan. Sudah tak ada kekuatan lagi untuk menjawab setiap pertanyaan. Tubuhku semakin lemas, teringat dengan kata-kata yang Mas Han ucapkan tadi pagi.

Waktu tidak akan berhenti untuknya. Tidak! Mas Han harus tetap hidup untukku. Mas Han berjanji akan tetap bersamaku, walau apa pun yang terjadi.

Setibanya di rumah sakit, aku melihat kerumunan orang di sana. Beberapa rekan kerja Mas Han yang kukenal datang menghampiri.

“Bagaimana dengan suamiku?”

Aku menatap wajah mereka satu per satu, semuanya menunduk sedih. Salah seorang wanita datang memelukku dari belakang.

“Bu, Sarah. Pak Handoko tidak dapat diselamatkan. Maafkan kami. Pak Handoko meninggal dunia.” Frans menunduk, air matanya menetes.

Pandanganku mengabur, terhuyung dan jatuh. Gelap. Semuanya gelap.

**********

 

“Sarah … Sarah, bangunlah. Kamu sudah tidur terlalu lama, mau sampai kapan tidur terus?” Suara itu, suara lembut itu membangunkan tidurku. Apa ini mimpi? Ah, mungkin saja aku bermimpi. Mas Han masih hidup.

Pelan. Kubuka mata, yang terlihat hanyalah Mas Han. Wajahnya sangat tampan dan bersinar. Wajah ini yang selalu menemaniku dalam suka dan duka. Bagaimana aku bisa hidup tanpa melihat senyuman dan kehangatannya.

Mas Han mengangkat tubuhku untuk bisa duduk, tangan kami saling bertautan, menggenggam erat. Aku menangis dalam pelukannya.

“Jangan pergi, aku mohon. Aku minta maaf karena sudah membuatmu marah. Maafkan aku. Janji, setelah ini aku gak akan membantah ucapanmu lagi.”

“Sayang … dalam hidup ini tidak ada yang abadi. Ada yang datang lalu pergi, ada yang bahagia kemudian menangis, ada yang sehat lalu tiba-tiba sakit, dan ada yang hidup lalu pada akhirnya akan meninggal. Semua ini sudah ketentuan dari Allah. Kita harus siap menerima setiap takdir yang Dia telah tentukan. Hari ini akan banyak air mata, tapi yakinlah, Allah telah menyediakan kebahagiaan untukmu.”

“Jangan pergi, aku mohon.” Pelukanku semakin erat. Isak tangis kian menjadi. Apa yang akan kulakukan tanpamu? Bagaimana bisa aku menjalani hidup tanpa hadirmu?

 

***********

 

Handoko Bin Prayitno

Lahir, 20 Maret 1978

Wafat 24, 14 Juli 2019

 

Aku memandangi pusara Mas Han, ini hari raya pertama tanpa Mas Han. Air mata ini belum kering, setiap malam hanya ada kedinginan dan kesunyian. Adakah yang lebih sakit dari semua ini? Aku menjalani hari-hari dengan berat. Raga dan tubuh masih ada di sini, tapi hatiku telah lama pergi. Bersama dengan kepergian Mas Han. Hanya bisa bertahan hidup bersama dengan kenangan indah yang ia berikan.

Sejatinya … tiada yang abadi di dunia ini, karena akan tiba saatnya kita meninggalkan atau ditinggalkan. Ini hanya soal waktu saja. Kematian akan datang pada kita tanpa mengenal usia. Kita tidak bisa menghindarinya, sekalipun bersembunyi dalam benteng yang berdinding tebal.

 

Medan, 4 Oktober 2020

 

Ida Royani Telaumbanua, wanita galak yang hobi membaca, dan ngemil kentang goreng.

 

Editor : Freky Mudjiono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply