Aglonema Ibu
Oleh : Lusiana
Hari beranjak sore ketika aku pulang dari tempat kerja. Begitu masuk rumah, langsung disambut bau tanah basah yang sangat kusuka. Pasti Ibu sedang menyirami tanaman kesayangannya. Aku pun segera menuju kebun belakang. Belum juga aku mencapai kebun, terdengar percakapan antara Bapak dan Ibu.
“Dek, jaga baik-baik aglonemamu yang warna merah itu. Sekarang aglonema lagi mahal-mahalnya. Apalagi yang warna merah, sekarang banyak yang minat,” itu yang kudengar dari Bapak.
“Halah, orang-orang itu pada latah. Mereka berburu aglonema karena pengen ningkatin gengsi aja, biar orang pada tau kalau dia berduit, bisa beli tanaman hias mahal. Sedang kayak kami ini yang beneran pecinta tanaman, kadang harga tanaman mahal bikin kami mikir, mahalnya sampai kapan? Daripada duit buat beli tanaman mahal, mending buat beli barang lain yang lebih jelas investasinya,” begitu suara Ibu menyahuti ucapan Bapak.
Benar juga kata Ibu, karena memang selama ini Ibu jarang sekali atau malah tak pernah sekali pun mengeluarkan budget lebih untuk menyalurkan hobinya. Beliau biasanya meminta kepada teman dan saudara. Bahkan tak jarang ketika kami keluar, lalu Ibu melihat di halaman rumah orang ada tanaman yang dia sukai, tanpa sungkan dia meminta tanaman itu kepada tuan rumah walaupun tak kenal. Dari sana Ibu mengenal orang-orang yang memiliki hobi yang sama dengannya. Mereka membuat grup WA, lalu sering bercerita soal tanaman-tanaman hias milik masing-masing. Atau sekadar sharing ilmu ataupun informasi tentang tanaman hias.
“Assalamualaikum, Bu, Pak!” sapaku sembari mencium tangan Bapak, lalu bergantian tangan Ibu.
“Sudah pulang, Nduk?” Aku mengangguk, lalu kembali masuk untuk mengganti sepatu dan menaruh tas kerja, dan kembali ke kebun belakang. Aku mengedarkan pandangan, melihat tanaman hias Ibu yang sekarang sudah banyak sekali koleksinya. Ada sansivera, kaktus-kaktus mungil, gelombang cinta yang sempat heboh beberapa tahun lalu, bahkan euphorbia yang beberapa waktu lalu juga membuat heboh karena dituduh sebagai penyebab penyakit cikungunya. Alhasil, beberapa tetangga langsung membuang bunga euphorbia milik mereka ke tempat sampah.
Melihat bunga-bunga euphorbia dibuang di tempat sampah, tanpa berpikir panjang Ibu segera mengambil dan membawanya pulang. Aku ingat sekali, kala itu Ibu pulang dari jalan-jalan pagi dan heboh mencari keranjang. Sempat bingung dengan sikapnya. Tak lama kemudian, Ibu menyeret dan memaksaku untuk mengikutinya sambil menenteng keranjang belanja. Ternyata bunga ephorbia yang Ibu pungut dari sampah para tetangga lumayan banyak. Sekarang Ibu memiliki bunga euphorbia dengan berbagai macam warna, tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Seperti itulah Ibu dengan hobinya.
Hari masih terlalu pagi, bahkan aku masih malas sekali membuka mata karena ingat hari ini hari Minggu. Hari di mana aku bisa bermalas-malasan sepuasnya. Hanya saja, mendadak aku mendengar omelan Ibu. Bahkan suaranya terdengar meninggi.
“Ga malu ta? Kalau aku udah malu banget, Kang!” begitu suara yang terdengar. Segera aku bergegas keluar, dengan siapa Ibu sedang beradu argumen. Biasanya Ibu jarang sekali meninggikan suaranya kepada orang lain, kecuali pada kami, keluarganya. Kulihat kakakku juga ikut keluar kamar sembari memicingkan mata.
“Ibu kenapa?” tanyanya dengan suara serak, aku hanya menjawab dengan gelengan kepala. Kulihat Ibu ada di halaman dengan daster batik kesayangannya. Wajahnya terlihat merah padam menahan amarah. Aku melihat Pakde Bejo berdiri di hadapan Ibu dengan pandangan menantang. Segera aku menyusul Ibu lalu menggamit lengan beliau.
“Ada apa to, Bu? Pagi-pagi kok, sudah marah-marah?”
“Pakdemu ini kurang ajar. Usia tua tapi pikirannya kok ga dipake. Mangkel ibumu ini. Orang kok ga punya tata krama blas,” Ibu masih marah-marah. Aku mengamati Pakde yang berdiri diam. Di tangan kanannya tergantung lunglai aglonema milik ibu yang berwarna merah. Bahkan akarnya masih penuh dengan tanah. Melihat hal itu aku paham apa yang terjadi. Pantas saja Ibu murka.
“Apa salahnya aku minta tanamanmu ini to, Sri?”
“Minta itu ngomong sama aku, Kang. Kalau ga ngomong tapi tau-tau nggondol[1] itu namanya nyolong[2]. Mosok gitu ga bisa mbedakne?[3] Dulu pas harga cabe mahal, kamu juga nyolong cabe punyaku. Sampe sekresek gede. Ngerti aku, tapi aku diam. Ga lama setelah itu kamu beli HP buat anakmu. Ga lama malah anak bungsumu kecelakaan. Kalau udah kejadian kaya gitu harusnya sadar, Kang. Ora tambah ndadi. Lha, iki dibaleni maneh.[4] Tau aku harga aglonema itu mahal. Tapi ga nyangka ternyata tega kamu, ya!” Ibu meluapkan semua amarahnya. Aku melihat wajah Pakde dengan saksama. Tak ada rasa menyesal di sana. Datar saja.
“Yo wes, kalau ndak boleh minta. Tak pulang wae. Minta ra oleh malah diomeli,” ujar Pakde seraya beranjak pergi.
“Eee … taruh dulu itu tanduran[5] di tanganmu. Enak aja mau digondol. Tak teriaki maling mau kamu, Kang!”
Akhirnya dengan wajah masam, Pakde pulang dengan tangan hampa. Kemudian sisa hari itu diselingi omelan Ibu tentang tingkah Pakde Bejo yang bikin tensi darah naik drastis.
Ya, kakak dari ibuku ini memang tingkahnya ajaib. Membuat kami terkadang geleng-geleng kepala. Jarang sekali main ke rumah, sekalinya ke rumah pasti bertengkar sama Ibu. Ada saja yang dijadikan bahan pertengkaran. Seperti hari ini, yang menjadi alasannya adalah tanaman hias Ibu dan entah sampai kapan Pakde akan bersikap seperti itu.(*)
Catatan:
[1] Mengambil
[2] Mencuri
[3] Masa tidak bisa membedakan?
[4] Bukannya semakin menjadi-jadi. Lha, ini diulang lagi.
[5] Tanaman
Tentang Penulis:
Lusiana, biasa mem-branding diri dengan nama Lusiana Mak SerIn hanya untuk menegaskan bahwa ia seorang emak-emak anak dua. SerIn diambil dari gabungan nama anak-anaknya. Ia sudah belajar nulis sejak SD. Selalu suka dengan tugas mengarang bebas. Tapi mulai serius baru beberapa tahun ini.
Editor : Tri Wahyu Utami
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata
Tag : cerpen, aglonema, mencuri, tertangkap basah, bertengkar