Alika (Bagian 5)
Oleh : Honey
Hari yang cukup melelahkan. Alika pergi ke kantin dan memesan es teh manis. Ia celingukan, sosok yang biasanya selalu mentungul di hadapannya, kini tak ada.
Apa Reino memang tidak ingin menemuinya lagi?
Alika terdiam sebentar. Pikirannya melayang ke hari-hari kemarin saat pertemuannya dengan Reino selalu saja berakhir aneh dan tentu saja diwarnai pertengkaran-pertengkaran.
Ah sudahlah, pikirnya. Untuk apa memikirkan seseorang yang selama ini selalu membuatnya kesal? Ya, kalau ada, membuat Alika kesal, kalau tidak ada, membuat Alika rindu.
“Heh!”
Alika hampir saja tersedak dengan sapaan kasar itu. Siapa lagi kalau bukan Reino. Orang yang dicarinya sedari tadi.
“Apa, sih? Ngagetin aja. Sopan dikit, dong.”
“Ya, maaf. Gimana?”
“Hah?”
Reino tersenyum penuh arti. Sementara Alika hanya bengong. Ia tak mengerti.
“Maksud kamu?” tanya Alika semakin penasaran.
“Iya, jadi kamu tahu kan. Aku tuh, ngerasa, aku tahu kekurangan kamu. Aku akan temenin kamu untuk bisa berubah. Aku yakin, kamu pasti bisa. Kita pasti bisa.”
Alika semakin tak mengerti. Ia mengerutkan keningnya, keheranan.
“Kamu kenapa, Rei? Tipes, kamu? Kok ngelantur.”
“Loh, kamu yang aneh.”
“Kok aku, sih? Idih, serem. Ngeri ini anak.”
“Bentar, kamu gak kerjain soal yang aku kasih kemarin?”
What the funiest videos! Alika baru sadar kalau kemarin ia sudah membuang kertas berisi soal yang Reino berikan. Gadis itu sekarang memaksa otaknya untuk berpikir. Berusaha mengingat soal yang ia baca kemarin.
x = 16 sin³ t
y = 13 cos t – 5 cos (2t) ….
Potongan soal itu terus saja bolak-balik di kepala Alika. Ya, setidaknya ia masih bisa mengingat soal tersebut. Namun, jawabannya? Tunggu, menyelesaikannya dalam beberapa detik, itu aduh ….
“Oke. Kamu gak ngehargain aku.”
“Eh, bukan!”
Entah kenapa, tapi kalimat yang baru saja Reino katakan terasa menyakitkan bagi Alika.
“Rei ….”
Reino menggeleng. “Santai aja. Gak usah dipikirin. Bukan apa-apa, kok. Gak penting juga.”
Alika sadar kekesalannya kemarin sudah membuat laki-laki di depannya saat ini menjadi sedemikian terlihat putus asa.
“Ya udah, aku pergi dulu, ya,” ucap Reino.
“Pergi?”
“Iya. Aku ada urusan.”
“Urusan? Urusan apa?”
“Kamu gak perlu tahu, lah. Ini gak ada hubungannya sama kamu. Ingat, aku akan selalu ngawasin kamu, meskipun aku gak ada di deket kamu.”
“Bentar.”
“Kenapa?”
“Aku masih minum es teh ini.”
“Iya, terus?”
“Temenin sampai habis.”
Reino tak habis pikir dengan perempuan di depannya. Apa selain klepto, Alika juga punya kepribadian ganda? Sebentar-sebentar, di mata Reino, gadis itu selalu barbar. Sebentar kemudian, manjanya seperti anak TK.
“Kenapa harus temenin sampai habis?” tanya Reino dengan ketus.
“Ya, tungguin aja. Gimana coba kalau aku nanti ngambil sendok ini?” Alika menunjuk sendok di wadah.
“Atau ini?” Kini Alika menunjuk garpu.
Reino berusaha menahan tawanya. Ia sadar, ia sedang marah sekarang. Ia harus menahannya. Jangan sampai pertahanannya bobol.
“Udah, deh. Kamu, aku yakin punya niat untuk berhenti, kan. Jadi harusnya kamu kuatkan buat kamu itu. Udah, ya. Aku kan dari tadi bilang mau ada urusan.”
“Iya, urusan apa?”
“Ya, kamu gak perlu tahu, lah.”
“Kenapa coba? Kenapa aku gak perlu tahu?”
“Udah, lah.”
Reino berlalu tanpa memedulikan Alika yang cemberut. Alika sendiri sebenarnya merasa bersalah. Kertas yang diberikan oleh Reino kemarin seharusnya tak ia buang begitu saja.
Aduh, sepenting apa, sih kertas itu? rutuk Alika di dalam hati. Ini hanya persoalan kertas saja!
Gadis itu menandaskan teh manisnya dan kembali ke kelas. Ia sudah berencana sepulang sekolah nanti, ia akan mencari kertas di tong sampah dan mencari tahu apakah mungkin soal yang diberikan oleh Reino memiliki maksud tertentu atau bisa saja ditulis dengan pena bertinta emas? Seingatnya tidak, sih. Namun, satu yang pasti. Ia harus menyelesaikan soal itu.
***
“Ma!” Alika berteriak. Tong sampah di kamarnya sudah kosong, bersih, tak menyisakan sobekan kertas sedikit pun.
Gawat! Di mana kertas pemberian Reino?
“Mama!”
“Ada apa, Sayang? Teriak-teriak terus. Kayak ada maling aja.”
“Ma, Mama tuh gimana, sih. Kok sampah udah pada gak ada.”
“Loh, bukannya terima kasih. Kamu malah marahin Mama. Gini loh, Bi Ratmi kan lagi cuti, Mama pulang ke sini bentar, buat beres-beres. Kamu kok malah marah-marah.”
“Mama, Mama jarang ke rumah. Sekalinya ke rumah, malah kayak gini.”
Mamanya Alika tak mengerti. Alika kesal sekali. Ia beranjak keluar tanpa mengatakan apa-apa. Segera, ia menuju tong sampah besar yang biasa dijadikan tempat pembuangan di sekitaran rumahnya.
Ia terus mengorek-ngorek sampah dan mamanya hanya memandang Alika heran di kejauhan.
Kertas putih itu bercampur bersama sampah lain. Meskipun sudah kotor, tapi Alika tidaklah sulit menemukannya.
“Ketemu!”
Alika bersorak. Ia sudah setengah gembira sekarang. Kemudian gadis itu mencoba menyelesaikan soal yang tertera di sana. Untungnya, tulisannya masih jelas.
x = 16 sin³ t
y = 13 cos t – 5 cos (2t) – 2 cos (3t) – cos (4t)
Alika terdiam sesaat. Sebagai seseorang yang bisa dibilang murid cukup cerdas di sekolah, gadis itu mulai mengerjakan soal tersebut di dalam kepalanya.
Beberapa saat kemudian, senyumnya mengembang. Tergambar grafik hati di otaknya, yang membuat gadis itu bersorak kegirangan.
“Ya ampun, Reino!”
Untuk membuat sebuah pernyataan cinta pun rupanya harus sesulit itu. Dasar Reino!
Alika tak bisa berhenti tersenyum. Gadis itu tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
Bersambung ….
Bagian Sebelumnya: Alika (Bagian 4)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata