Es Cincau
Oleh : Lusiana
“Maukah kau menikah denganku?”
Aku yang sedang menyeruput es cincau tersedak, terbatuk-batuk, bahkan air dari es cincau sampai keluar lewat hidung. Perih. Kau hanya menepuk-nepuk punggungku dengan sabar tanpa berucap sepatah kata pun. Lalu aku membersihkan hidung dengan tisu yang kau berikan. Sampai menit-menit berlalu aku masih membungkuk, wajahku terasa panas. Entah karena kalimat yang kau ucapkan tadi, atau karena aku terlalu lama membungkuk.
Aku mengenal dirimu belum lama. Bahkan perkenalan kita pun tak sengaja. Beberapa kali kita membeli es cincau di tempat yang sama, itu saja. Setelah beberapa kali bertemu kau mencoba mengajak berkenalan, lalu obrolan remeh-temeh mengalir. Biasanya setelah lima belas menit kita akan berjalan ke tempat kerja masing-masing. Kau ke arah kiri, sedangkan aku ke kanan.
Tentangmu, aku hanya tahu namamu Cakra. Selebihnya, aku berpikir kau seorang pria manis dengan senyum menawan. Kata temanku Yuli, kau pria baik, bahkan jadi idola beberapa teman wanitamu di kantor. Yuli bahkan berkata jabatanmu bagus. Andai benar menikah denganmu, aku tak perlu pusing memikirkan kebutuhan sehari-hari seperti saat ini. Kini, tiba-tiba saja kau mengatakan ingin menikah denganku? Leluconmu sungguh tak lucu.
Aku menegakkan punggung, lalu menoleh padamu. Tanpa peringatan mataku langsung bertemu dengan pandanganmu. Entah kenapa ada desir aneh yang tiba-tiba saja hadir. Aku merutuk dalam hati, kenapa perasaanku tak tahu diri hanya karena sebuah kalimat dari seseorang yang bahkan tak kukenal dengan baik?
“Sudah baikan?” ucapmu lembut. Aku hanya mengangguk, berpura-pura memainkan sedotan.
“Lalu, apa jawabanmu?” Aku menoleh cepat, tapi ternyata kau sedang memandangku. Segera kutundukkan pandangan.
“Kau serius? Bahkan kita baru saja kenal?”
“Aku sudah tahu sebagian tentangmu. Tentang ceritamu. Kau anak tunggal, seorang ibu dari dua anak yang ditinggalkan lelakimu demi wanita lain yang lebih kaya. Bahkan kau terpaksa membayar semua utang-utang yang ditinggalkan lelakimu, hanya demi rumah peninggalan orangtuamu agar tak disita oleh bank. Rela hidup terpisah dari anak-anakmu untuk bekerja di kota,” kalimat panjangmu membuatku terperangah. Bagaimana mungkin kau tahu semua itu? Sedangkan aku tak pernah menyinggung apa pun yang telah kualami di pertemuan-pertemuan kita yang lalu. Kembali kuminum es cincau yang mulai terasa hambar karena esnya telah mencair. Dadaku berdebar kencang, aku takut kau akan mendengar debaran yang sungguh tak tahu malu ini.
“Kau sudah tahu hidupku seperti itu, tapi kau tetap ingin menikah denganku? Kalau ini lelucon, sungguh leluconmu kali ini tak lucu,” dengusku sembari mencoba meredam debaran yang tak tahu aturan.
“Aku ingin menikah denganmu. Aku ingin membahagiakanmu dan anak-anakmu. Aku ingin terus melihat senyum juga tawamu persis ketika kau tertawa karena leluconku.”
“Hahaha …,” aku memaksa tertawa. Andai ini kenyataan, pasti akan sungguh indah.
“Kenapa kau memaksa tertawa. Sungguh tawamu itu tak pas untuk situasi kita saat ini,” ucapmu. Aku sengaja tak melihatmu agar kau tak tahu apa yang sedang kurasakan.
“Kau tahu, kalimatmu itu seperti ucapan pangeran berkuda putih yang rasanya mustahil terwujud,” aku menukas dengan gusar. Tak ingin kau mengetahui bahwa jantungku berdebar kencang.
“Apa yang mustahil? Memang itu yang kuingin. Kau tahu, pertemuan pertama kita itu bukan kebetulan. Bahkan sampai pertemuan kita saat ini. Aku sengaja mendekatimu. Bahkan bertanya pada Yuli sahabatmu, yang dengan senang hati menceritakan segala keluh kesahmu. Hal yang tak pernah terucap dari bibirmu saat kita bertemu. Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah mengagumimu. Hari itu bahkan tak pernah bisa kulupa. Kau wanita yang bercahaya,” katamu seraya menatapku. Sungguh semua ucapanmu itu membuat pipiku memanas. Entah seperti apa wajahku saat ini. Dalam hati merutuki Yuli yang sudah berani membocorkan semua rahasiaku.
“Sudah saatnya bekerja. Aku harus kembali.” Aku berdiri sambil menepuk-nepuk celana panjang berwarna hitam yang kupakai. Sengaja tak melihatmu. Kulirik kau juga ikut berdiri.
“Agni, jangan abaikan apa yang telah kuucap hari ini. Aku tetap menunggu jawabanmu.” Kau menggenggam tanganku, seperti ingin meyakinkanku. Apa yang harus kukatakan?
Aku tersenyum canggung, dan kau membalasnya dengan senyuman yang entah mengapa terlihat manis di mataku. Entah mimpi apa aku semalam dilamar di depan abang penjual es cincau, bahkan oleh orang yang baru kukenal.
Aku pun bergegas pergi menuju tempat kerjaku tanpa menoleh lagi padamu. Pria bermata bening yang—aku yakin—saat ini sedang menatap punggungku.(*)
Tentang Penulis:
Lusiana, biasa mem-branding diri dengan nama Lusiana Mak SerIn hanya untuk menegaskan bahwa ia seorang emak-emak anak dua. SerIn diambil dari gabungan nama anak-anaknya. Ia sudah belajar nulis sejak SD. Selalu suka dengan tugas mengarang bebas. Tapi mulai serius baru beberapa tahun ini.
Editor : Tri Wahyu Utami
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata