Lelaki yang Berteman Sepi
Nur Khotimah
Dusun Lempuyang yang biasanya lengang, pagi itu gempar. Hampir semua warga meninggalkan rutinitas. Mereka berbondong-bondong menuju ke sebuah rumah yang berada di ujung desa, guna mendapatkan jawaban kebenaran atas sebuah berita. Wak Yasin ditemukan membusuk di rumahnya.
Di antara rombongan itu, terlihat Wati dan suaminya, Parjo. Perempuan yang saat ini sedang hamil anak kedua itu terlihat kerepotan mengimbangi langkah panjang Parjo. Beberapa kali, lelaki yang sering dijuluki sengget pete itu menengok ke belakang dan harus menghentikan ayunan kakinya, ketika mendapati sang istri tertinggal jauh di belakang. Sebenarnya jarak antara rumah mereka dengan rumah Wak Yasin hanya sekitar lima ratus meter, tetapi untuk perempuan bunting besar macam Wati cukup membuat pinggangnya panas.
“Ayo, Wat, kita harus buru-buru!” ujarnya seraya merangkul pundak istrinya. Namun, Wati bukannya meneruskan langkah, justru berdiam diri, memegangi perutnya yang membulat keras, kemudian menyeka keringat di dahi dengan punggung tangan. Wajahnya pucat, napasnya tersengal.
“Aku nggak percaya berita itu, Mas. Dua minggu yang lalu Bapak masih ke rumah, kok,” ujar perempuan itu dengan suara bergetar. Bagaimana bisa, orang yang serasa baru kemarin berbincang dengannya, kini—dari kabar yang terdengar—terbujur kaku, membusuk di rumahnya. Masih jelas terbayang di pelupuk matanya, Wak Yasin, lelaki tua yang ia panggil Bapak itu duduk selonjor di teras rumah, memangku Gino, anak sulungnya yang berusia dua tahun bermain pok ame-ame.
“Kowe kapan lairan, Wat?” tanya Wak Yasin saat melihat anak perempuannya keluar dari dapur yang terletak di sisi kanan rumah. Hari itu, lelaki separuh baya itu mengenakan celana panjang berwarna cokelat dengan memakai atasan kaus berwarna merah bergambar seorang calon legislatif. Wak Yasin memakainya bukan karena ia pendukung caleg tersebut, ia memakai hampir semua kaus pemberian timses caleg dari bermacam partai. Tak peduli partai apa, bagi Wak Yasin, itu hanya sepotong baju yang tak bermakna apa-apa selain sebagai penutup tubuh.
“Masih sekitar lima mingguan lagi kata Bu Bidan,” jawab Wati acuh. Tangannya sibuk merapikan barisan kerupuk gendar yang hendak dijemurnya pada sebuah tampah bambu. Menyusunnya rapi agar tak saling bertumpuk, menatanya sedemikian rupa hingga tak ada celah yang tersisa.
Saat itu, Wati memang sedang tidak bersahabat dengan Wak Yasin. Sejak pertemuan keluarga sebulan yang lalu, Wati menyimpan perasaan tidak suka kepada bapaknya. Ia kecewa, dan beranggapan kalau lelaki yang usianya sudah lewat dari setengah abad tersebut ternyata bukan lelaki setia.
“Gino Bapak bawa pulang, boleh ya, Wat?” tanya lelaki yang hampir seluruh rambutnya memutih itu. “Bapak sendirian di rumah. Sepi,” lanjutnya.
Gerakan lincah tangan Wati terhenti, ia menoleh sejenak ke arah Wak Yasin yang sedang memainkan anak rambut Gino yang sudah mulai panjang, kemudian kembali masyuk dengan gendarnya. Tak satu pun kalimat terlontar dari mulut perempuan itu. Entah rasa apa yang sedang menggelayuti hatinya, ia enggan berkata-kata.
“Gino tinggal sama Mbah Kung aja, ya, temenin Mbah Kung,” ujar Wak Yasin.
“Nggak usah, nanti Bapak repot,” sanggah Wati. “Kalau Bapak kesepian, Bapak kan bisa tinggal di sini, atau di rumah Kang Daman,” imbuhnya.
Tak ada jawaban dari Wak Yasin, lelaki yang sudah hampir setahun menduda itu hanya menghela napas, menurunkan Gino—yang kemudian berlari ke ibunya—dan berjalan ke samping rumah Wati, menuju kandang kambing berukuran 2×1 meter yang terbuat dari bambu. Di sana ia diam berdiri sejenak kemudian mengambil sejumput rumput dari karung lalu memberikannya pada kambing-kambing Parjo yang sedari tadi mengembik melihat kedatangannya, meminta perutnya diisi. Sedangkan Wati hanya menatapnya dari kejauhan, bergegas masuk ke dapur sembari menggendong Gino. Hingga tak lama kemudian ia menyadari kalau Wak Yasin sudah pulang tanpa berpamitan terlebih dahulu padanya.
“Jalan lagi, yuk,” ajak Parjo, mematahkan lamunan Wati tentang bayang-bayang bapaknya.
Wati hanya mengangguk kemudian meneruskan langkahnya. Beruntung Gino tidak ikut, kalau anak itu turut serta mungkin mereka akan semakin kerepotan, karena terkadang ia hanya mau digendong oleh ibunya. Bocah itu tidak terlalu dekat dengan ayahnya yang setiap hari lebih banyak menghabiskan waktunya di ladang ketimbang di rumah.
Tak sampai setengah jam, mereka sudah tiba di depan rumah Wak Yasin. Sudah ada bendera putih—desa itu menggunakan bendera putih sebagai simbol kematian—dengan tiang bambu terpaku pada batang pohon nangka di depan rumah. Kursi-kursi plastik berwarna hijau kusam berjajar tanpa meja. Daman, kakaknya, dan beberapa tetangga laki-laki terlihat sedang duduk bercakap-cakap, sebagian sedang menyiapkan pemandian untuk jenazah. Ibu-ibu sibuk di dapur, ada yang menjerang air, ada pula yang sedang menyiapkan bunga berbagai macam warna. Dan yang lebih menyedihkan dari semua itu adalah aroma tak sedap yang menguar dari rumah tersebut.
Bila sedari tadi Wati seakan tak berekspresi, kini ia terlihat goyah. Air matanya mengalir deras, menganak sungai tanpa suara ketika Daman menemui dan memeluknya. Hanya sekejap, karena ia segera melesak masuk ke dalam rumah. Saat melihat jenazah Wak Yasin terbaring di ruang tengah, ia ambruk tepat di pintu masuk. Beruntung suaminya sigap menangkap, dan menggotongnya ke kamar dibantu beberapa tetangga.
Perempuan bunting itu tak sadarkan diri. Suaminya berusaha menyadarkannya dengan mengoleskan minyak kayu putih pada punggung, leher, dan kakinya. Tak berhasil. Wati terbangun setelah salah seorang tetangga memercikkan air ke wajahnya. Lelakinya sigap mendudukkannya lalu mengambil teh manis, dan memberikannya kepada Wati. Wanita itu meminumnya sedikit, kemudian terisak.
“Bapakkk!” teriaknya di antara isak tangis. Parjo memeluknya. Seumur-umur baru kali ini ia melihat Wati histeris seperti itu. Bahkan tidak pada kematian ibunya setahun yang lalu. Lelaki itu tak tahu, ada penyesalan tak terkira di dalam hati istrinya. Betapa perempuan itu merasa telah berburuk sangka pada bapaknya. Betapa ia tega tak menengok orang tua itu seminggu ini.
“Bapak pingin nikah lagi,” pinta Wak Yasin lebih dari sebulan lalu. “Bapak kesepian.”
Saat itu, Daman menyetujui permintaan Wak Yasin. Namun, tidak dengan Wati. Anak keduanya menolak keras dan beranggapan kalau bapaknya tak setia. Baru juga ditinggal istri sudah mau menikah lagi, begitu katanya. Dan kini, Wati menyesal, tak menyadari kalau bapaknya kesepian. “Andai bapak sudah menikah, mungkin bapak masih hidup, atau kalau pun meninggal, tak akan seperti ini, membusuk tanpa sanak saudara di sisinya,” gumamnya. Air matanya kembali menderas.
Cikarang, 5 Oktober 2020
Nur Khotimah, ibu rumah tangga biasa yang ingin meninggalkan jejak kenangan untuk anak cucunya.