Rumah dan Kenangan

Rumah dan Kenangan

Rumah itu berdiri sebelum rumah besar yang paling sudut. Sebatang pohon mangga yang tidak begitu tinggi dan berbatang kurus sebagai penanda dari deretan rumah-rumah lain yang juga berbentuk sama. Terasnya tidak cukup luas untuk tempat bermain anak-anak apalagi untuk membesarkan dua-tiga pohon yang bakal rindang sekaligus. Hanya ada beberapa tanaman hias yang ditanam sembarangan di sepanjang jalan masuk dan tumbuh subur di atas kaleng-kaleng bekas cat tembok.

Rumah itu tetap terlihat menarik meski dengan kesederhanaannya, dengan hiruk pikuk penghuninya, dengan senyum ramah sang pemilik rumah yang selalu terlihat tulus.

Setiap sore pasti terdengar suara seorang anak lelaki yang sedang bernyanyi dan suaranya menembus dinding-dinding tembok batako yang disusun rapi dan menyerupai tumpukan lego; menelusup lewat lubang kisi-kisi jendela kayu sederhana. Jendela berbentuk sama di seluruh perumahan ini, perumahan rakyat jelata.

Dua orang anak perempuan belia yang usianya hanya selisih beberapa tahun sering bermain congklak atau di atas ubin yang berwarna biru langit cerah dan nampak juga si bungsu yang suka mengganggu ketenangan dan ketentraman kakak-kakaknya. Tangan bocah lelaki itu sesekali berbuat jahil, mencomoti biji-biji congklak di dalam lubang. Ulahnya yang ada-ada saja kadang sering membuat wajah mereka cemberut.

Dan setiap pagi, seorang bapak si pemilik rumah yang berkacamata supertebal, selalu tersenyum ramah dari balik pagar bambu bila ada tetangga kanan-kiri yang kebetulan melintas. Biasanya ia ditemani istrinya melakukan acara minum teh bersama. Sungguh kebiasaan yang jarang dilakukan suami-istri yang tinggal di pinggiran kota besar. Mereka begitu romantis!

Anak-anak mereka banyak, ada setengah lusin, empat orang anak lelaki dan dua orang anak perempuan dan dengan tambahan dua orang keponakan mereka dan beberapa tamu yang datang menginap silih berganti. Jadi rumah itu tidak pernah sungguh-sungguh sepi dan lebih mirip kandang kelinci yang ramai, kecuali bila malam mulai larut atau penghuninya sedang pergi. Tapi itu jarang sekali terjadi sebab selalu saja ada yang membuat gaduh. Entah suara bocah yang menangis, entah suara musik dari kaset yang diputar terus-menerus.

Yang paling menarik dari rumah mereka sebenarnya adalah sebuah padang rumput yang luas di depannya. Pada hari-hari tertentu, saat malam-malam cerah, tiga anak lelaki mereka sering menggelar selembar tikar, tidur-tiduran dan menyalakan api unggun. Anak lelaki yang paling besar sibuk mencari apa saja yang bisa dibakar untuk menghangatkan malam dan anak lelaki yang satunya, yang bertubuh lebih gemuk dan lebih besar, tangan kanannya tidak pernah mau lepas dari tombol pemutar gelombang radio. Ia lebih asyik memilih-milih lagu yang paling sesuai dengan seleranya. Sedang anak lelaki yang lebih tampan lebih asyik menghitung bintang-bintang di langit. Ia tenggelam dalam imajinasinya. Kaki-kakinya terus bergerak-gerak mengikuti irama lagu yang memberikan tanda, bahwa ia belum tertidur, sedang menikmati malam yang indah.

**

Rumah sederhana itu kini sudah hilang dan telah berganti rupa menjadi rumah-rumah model sekarang yang berlantai dua dan bergaya minimalis. Tidak lagi pernah dijumpai keramaian seperti dulu, meski lebaran setahun sekali datang menjenguk bersama kedatangan tetangga atau sanak saudara yang berkunjung. Tidak ada lagi senyum lelaki paruh baya yang berkacamata supertebal dan dua orang anak perempuannya yang sedang bermain congklak, dan si bungsu yang selalu berulah seperti biasanya. Tidak ada lagi suara anak lelaki remaja yang bernyanyi dengan setengah berteriak namun terdengar merdu setiap sore.

Semua telah berubah, tapi rumah itu bukan berubah karena penghuni lamanya yang telah berubah seperti anak-anak menjadi remaja, lalu remaja menjadi orang dewasa dan menikah dan beranak-pinak. Lalu orang dewasa menjadi tua dan orang yang sudah tua akhirnya meninggal dunia.

Rumah itu tinggal kenangan dan kenangannya tersimpan rapi di dalam sebuah album tua yang setiap lembarnya telah menguning dan gambar-gambarnya perlahan mulai memudar.

Aku adalah anak lelaki kurus itu, yang sering bernyanyi dengan setengah berteriak. Sekarang aku sedang berusaha mengingat dan memunguti setiap serpihan kenangannya agar suatu hari menjadi sesuatu yang tetap bisa dikenang.

Dari suatu tempat, aku hanya bisa memandangi rumah itu dari jauh, atau jika sedang rindu, aku berusaha mengingatnya dalam potongan-potongan ingatan yang bergerak dan tidak berurutan. Semakin lambat. Semakin memudar. Satu hal pasti, kenangan tersebut akan menghilang dan digantikan kenangan-kenangan yang lebih baru. Seperti itulah ingatan manusia.

Sekali lagi aku hanya bisa menahannya sejenak, sebelum seluruh ingatan dan kenangan menguap bersama waktu.

Aku tahu, dahulu pemiliknya, Bapak, Ibu, dan kami anak-anaknya telah berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan rumah itu.

Dan kami kalah oleh nasib. (M)

 

 

Karnajaya Tarigan, seorang penulis pemula.

Leave a Reply