Judul: Undangan
Oleh: Diah
Entah konspirasi apa yang sedang disiapkan untuk Praja. Tiga undangan acara resepsi pernikahan dari mantannya berdatangan dalam kurun waktu yang tak bisa dibilang lama. Dua hari lalu, milik Anindhita yang datang diantar oleh gadis yang Praja tahu sebagai teman dekat Anin sendiri. Lalu hari ini, milik Tisa Ramdhan dan Puji Setiana Dewi datang bersamaan.
Ia perhatikan betul nama-nama di undangan itu, mulai dari nama mempelai wanita, nama orang tua mempelai wanita, juga namanya di bagian depan. Tidak ada tipo sedikit pun, padahal Praja berharap ada supaya bisa mengelak untuk menghadiri acara mereka.
Kenapa para mantan seperti bekerja sama satu dengan yang lain? Seolah-olah datangnya undangan mereka adalah kesengajaan untuk membuat Praja mati kutu. Seharusnya bukan masalah besar menghadiri acara pernikahan, jika saja saat ini paling tidak, Praja mempunyai gandengan atau teman dekat yang bisa diajak datang bersama. Namun, Praja sedang dalam masa melajang dan tidak dekat dengan perempuan mana pun.
Tahun-tahun sebelumnya, Praja juga beberapa kali menghadiri acara pernikahan mantan. Baginya bukan hal aneh ketika dia melakukan itu. Perasannya justru membuncah bangga saat menggandeng tangan pacar barunya. Dia senang menunjukkan pada mantannya, bahwa seorang Praja masih baik-baik saja meski ditinggal menikah.
Tapi bagaimana lagi, Praja sudah lelah bermain-main dengan hubungan. Satu tahun terakhir dia biarkan hidupnya melarat kasih sayang. Dia mulai menyeleksi betul-betul perempuan mana yang akan dibiarkan dekat dengannya dan mana yang harus dia singkirkan segera. Hasilnya, semua perempuan yang naksir Praja tidak masuk dalam kategori pertama, dan perempuan yang ditaksir Praja tidak merespons pendekatan yang berusaha dia lakukan.
Praja mulai berpikir mungkin saja ini adalah sebuah karma. Sejak usia dua puluh dua tahun, dia mulai senang bermain-main dengan perempuan. Perempuan yang dia temui di salon, di pasar kain, di warung makan sebelah tempatnya kerja, penjaga toko di seberang jalan tempatnya bekerja juga, sampai perempuan yang dikenalkan temannya.
Dari sekian banyak itu, Anindhita adalah pacar terakhirnya. Menjalin hubungan selama sebelas bulan dan putus karena Anin tak sabar ingin segera menikah. Sejak hubungannya dengan gadis itu memasuki usia enam bulan, Anindhita sudah bertanya terang-terangan kapan Praja akan melamarnya. Tapi dasar Praja saja yang belum punya keinginan sampai Anindhita kalap dan memutuskan hubungan mereka sepihak.
“Aku memang sayang sama kamu, tapi kalau kamu enggak berniat menikah buat apa ditunggu?”
Praja bisa apa? Tidak ada. Dia biarkan Anindhita pulang sendiri. Meski berniat, dia juga tak memberi tisu selembar pun untuk menghapus air mata Anindhita.
Sementara Puji Setiana Dewi adalah orang yang mengaku sudah naksir Praja dari pertama mereka bertemu. Dulu, Aris—teman Praja—membawa Puji ke tempat kerja mereka. Gadis itu tipe manusia selengekan, dan Praja tidak suka sama sekali. Tapi entah bagaimana akhirnya Praja bisa terjerat hubungan dengan Puji selama empat bulan. Puji yang menuruti semua perintahnya, mengikuti saran-sarannya, dan mengubah sikap selengekannya menjadi lebih beradab menurut Praja.
Tapi lagi-lagi, gadis itu menuntut komitmen yang lebih, berupa pernikahan, dan Praja lebih memilih melepas Puji daripada menuruti kemauan gadis itu. Sejujurnya Praja bersedia menjadikan Puji pacar hanya demi kesenangannya sendiri. Dia tidak punya perasaan khusus pada Puji.
Dan pemilik undangan warna gold dengan pita merah di sisi sudut bagian atas, pemilik nama Tisa Ramdhan, itu adalah alasan kenapa Praja tidak ingin menikahi Puji dan Anindhita. Katakanlah, dia belum bisa melepas Tisa dengan benar. Sebagian besar perasannya masih ditujukan untuk Tisa.
Gadis beda agama itu yang menjalin hubungan paling lama dengan Praja. Dua tahun lamanya, tiga tahun beserta masa pendekatan mereka. Tisa adalah gadis ayu dan sopan yang membuat Praja ingin menikahinya segera. Namun apa mau dikata jika mereka memang diciptakan tak sejalan. Masalahnya tentu sudah tertebak, Tisa dilarang orang tuanya masuk ke agama yang dianut Praja, padahal Tisa tak keberatan sama sekali. Praja pun, memilih menorehkan luka atas kehilangan Tisa daripada masuk agama yang dianut Tisa.
Tisa telah melaksanakan pernikahan tak lama setelah berakhirnya hubungan mereka dengan laki-laki yang dipilihkan ayahnya. Namun, entah kenapa baru mengadakan resepsi sekarang saat Praja tidak tahu harus membawa siapa.
Di usia tiga puluh tahun ini Praja tak ingin lagi gegabah mengambil langkah, terlebih soal perempuan. Cukup sebelum bertemu Tisa dia asal comot perempuan sebagai ajang pamer. Anindhita dan Puji tentu tidak masuk hitungan itu karena Praja menjadikan mereka pacar untuk kesenangan, bukan pamer.
“Musim orang nikah gini memang suka ngundang galau ya, Ja. Tapi mbok, ya, jangan kebangetan, wajahmu itu kalau disandingkan dengan cucian mirip banget, lho.”
Oalah … Bos! Coba kalau lihat hatinya Praja, sudah bukan mirip cucian lagi bentuknya!
“Jangan diganggu, Bos, undangan semua dari mantan,” timpal Aris yang entah sejak kapan sudah duduk di tangga paling atas, memegang ponsel dan kopi.
“Lho, mantan semua tiga ini?” Praja tak berbuat banyak saat bosnya membaca nama-nama yang tertulis di undangan.
“Kok ya bisa pas bertiga barengan. Galau belum move on apa bingung mau datang sama siapa?”
Dua-duanya, batin Praja, tetapi bibirnya tetap terkatup rapat.
“Bawa Ning atau Laras saja, Ja. Setiap hari sudah kamu sayang-sayang tapi enggak kamu kepastian.”
Praja menahan diri agar tak mengumpat, tetapi matanya tetap memicing pada Bos yang melingkarkan tangan ke pundaknya.
“Bos rela kehilangan karyawan paling setia ini?”
“Lho, aku kasih saran kok.”
“Tapi kalau sudah sama Ning dan Laras, pasti aku sudah stres.”
“Tapi Ning dan Laras manis kan?”
“Tapi mereka kucing.”
Jangan dengarkan tawa Aris dan Bos yang membahana, cukup lihat bagaimana Praja semakin berwajah masam mendengarnya.
Tempat ternyaman, 01 Oktober 2020
Diah: Perempuan yang tak bisa mendeskripsikan dirinya sendiri.