Apa Mau-Mu, Tuhan?!
Oleh : Jeevita Ginting
Ibu sering berkata bahwa segala hal yang terjadi di dunia ini semuanya atas kehendak Tuhan. Entah itu baik, maupun buruk. Sama seperti saat malam di mana Ayah pergi sambil menenteng sebuah koper besar. Ia tak mengeluarkan sepatah kata pun ketika melihatku tengah mengintipnya dari balik jendela kamar yang sedikit terbuka. Malam itu petir menggelegar, memekikkan telinga. Sepertinya hujan akan segera turun. Namun, Ayah tetap pergi, entah mau ke mana.
Saat aku keluar kamar hendak mengejar Ayah, aku melihat Ibu tengah duduk di sofa ruang tamu berwarna coklat yang sudah mulai lapuk sambil menunduk dan meremas ujung baju menggunakan kedua tangan. Rambut lurusnya yang berantakan menutupi wajah. Ia terisak.
Pintu terbuka lebar. Di luar, gerimis yang turun mulai semakin deras. Sepertinya Ayah juga sudah jauh. Aku mengurungkan niat untuk mengejarnya, dan memilih untuk tetap seperti ini, berdiri di balik tembok sambil memperhatikan Ibu. Sepanjang malam, sampai akhirnya ia terlelap di sofa. Aku enggan menghampirinya, bingung dengan situasi yang sedang terjadi.
Aku tak pernah mengerti, apa alasan Ayah pergi. Juga Ibu yang keesokan paginya terlihat baik-baik saja meski sepanjang malam ia terus menangis, bahkan sampai menitikkan air mata meski sudah tertidur. Ibu tersenyum ceria saat menghidangkan semangkuk sup ayam untukku dan Adik. Ya, sama seperti saat Ayah masih bersama kami.
Keluarga kami memang cukup harmonis. Setiap pagi Ibu akan menyajikan sarapan di meja makan setelah membantuku dan Adik bersiap sebelum berangkat sekolah–kecuali saat hari minggu atau tanggal merah. Sementara itu, Ayah yang tengah membaca berita atau apa pun itu di koran sambil menikmati secangkir kopi hitam, sesekali melemparkan candaan. Katanya, Ibu adalah jelmaan seorang dewi sebab bisa melakukan apa pun dalam waktu hampir bersamaan.
“Ayah mana, Bu?” tanya Adik setelah menyuap sesendok sup. Suaranya agak kurang jelas sebab mulutnya penuh makanan.
Ibu bergeming, lantas menyuruh Adik untuk segera menghabiskan sup tersebut. “Tidak baik berbicara saat makan,” tambahnya.
Seusai makan, adik kembali menanyakan keberadaan Ayah. Kali ini ia merengek–jurus ampuh yang sering Adik lakukan jika menginginkan sesuatu. Dan, ya, jurus itu berhasil.
Ibu menghela napas, kemudian meminta kami mendekat ke sisinya. Ia mengusap lembut kepala kami, bergantian.
“Jian, Arka … Tuhan sudah memberikan sesuatu yang begitu berharga buat kita. Dan sekarang, Tuhan ingin menggantikannya dengan hal lain yang lebih istimewa lagi.”
Aku mengernyit. “Maksud Ibu?”
“Ayah memang tidak ada di sini sekarang, sebab Tuhan ingin Jian dan Arka bisa menjadi lebih dewasa dan bertanggung jawab, seperti Ayah. Kalian bisa kan, menggantikan posisi Ayah di rumah ini?”
Jian mendekatkan wajah ke Ibu, lantas menghujaninya dengan tiga pertanyaan sekaligus. “Jadi, Ayah tidak tinggal di sini lagi? Sampai kapan, Bu? Apa Ayah pergi bekerja ke luar kota?”
Ibu menggeleng. “Ini semua kehendak Tuhan, Nak.”
Kami bertiga diam. Aku paham maksud Ibu. Tuhan yang telah membawa Ayah pergi dari sisi kami. Dan Tuhan juga yang telah merenggut kebahagiaan kami, terutama Ibu. Setiap malam, Ibu menangis sambil memandangi foto Ayah sampai ia tertidur. Begitu terus, sampai akhirnya dua bulan kemudian Ibu meninggal. Tentu saja aku dan Jian sangat terpukul, tapi setidaknya aku tidak akan melihat Ibu menderita lagi.
Setelah mendengar kabar kematian Ibu dari Paman, Ayah datang, lantas membawa Jian pergi bersamanya. Ia juga memintaku untuk ikut, tetapi aku menolak. Ayah menghadiri pemakaman Ibu bersama seorang wanita, istri barunya. Ayah mengkhianati Ibu, mengkhianati kami, keluarganya, demi wanita tersebut. Lagi-lagi ini semua terjadi atas kehendak Tuhan. Aku membenci Ayah, tetapi, aku lebih benci kepada Tuhan.
Tahun-tahun kujalani dengan keengganan ke gereja. Tetapi kali ini aku terpaksa harus pergi, demi Jian. Ia memohon agar aku menghadiri upacara pernikahannya. Antara aku dan Tuhan memang sudah tidak ada lagi ikatan. Terserah orang-orang, termasuk Jian mau menilai seperti apa. Bukan urusanku. Keberadaan Tuhan di hatiku sudah lama mati.
Usai menjawab pertanyaan peneguhan dari pendeta, Jian dan mempelai wanita berdiri saling berhadapan, lantas mengucapkan janji nikah secara bergantian, dipandu oleh pendeta dan disaksikan oleh semua orang yang hadir di gereja.
Apa ini? Tuhan kembali mempermainkanku. Rasanya baru kemarin aku melamar Nesya, dan ia menerimanya sambil terus tersenyum manis. Harapan demi harapan pun terus terapal dari mulut kami. Namun ….
Ah, inikah sebabnya akhir-akhir ini, Nesya menolak untuk bertemu dengan berbagai alasan? Bahkan pesan dan panggilan dari ponsel pun sering tidak dijawab.
Sekarang, aku harus melihat kembali senyum juga harapan-harapan yang sudah menjadi nyata itu di depan mata. Ya, cukup hanya melihat, bukan menjadi bagian dari harapan itu.
Aku melirik sekilas ke arah Ayah dan istrinya. Mereka tampak sangat bahagia, begitu pun Jian yang kini sudah resmi memperistri Nesya. Lagi-lagi ini semua terjadi atas kehendak Tuhan. Aku bisa apa selain membenci-Nya? Lebih tepatnya membenci takdir yang Tuhan kehendaki.
Tamat.
Bionarasi :
Jeevita Ginting. Si penyuka kopi.
Editor : Freky Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata