Sepenggal Bayangan
Oleh : Ardhya Rahma
Tania berulang kali mematut diri di depan cermin. Bayangannya menunjukkan seorang perempuan manis, yang memakai gaun berpotongan A-line berwarna biru muda dengan bunga pink kecil. Model A-line itu menonjolkan pinggangnya yang tetap langsing meski sudah pernah melahirkan dua kali. Tania terlihat sempurna di mataku.
Namun, desahan berulang kali menunjukkan dia tidak puas dengan penampilannya. Aku yang sudah menunggunya, sejak dua puluh menit lalu, makin tidak sabar melihat dia tidak kunjung selesai berdandan.
“Ayolah, Sayang. Kamu sudah perfect, tuh. Apalagi yang mau diubah?” tanyaku sedikit kesal.
“Bentar, dong, Mas. Di pesta nanti banyak temanku SMA yang datang. Aku malu kalau tidak tampil paripurna,” jawab Tania.
“Kan, aku sudah bilang kalau kamu perfect. Artinya penampilan kamu sudah sempurna.”
Meski sedikit bersungut-sungut, akhirnya Tania mengikuti kemauanku untuk segera berangkat. Itu pun dia lakukan setelah mengganti setelan perhiasannya sekali lagi.
Benar saja, ketika kami sampai, ballroom tempat pernikahan Arman dan Nisa sudah penuh dengan tamu.
Aku merasakan banyak mata memandang kehadiran kami. Salah satu pengusaha muda yang sedang naik daun, dengan istrinya mantan runner up putri kecantikan tingkat provinsi. Pasangan serasi tahun ini, itu gelar yang diberikan pada kami dan menjadi judul sebuah majalah yang pernah kubaca. Tidak salah aku dulu mengejarnya mati-matian.
Tania adalah adik kelasku di SMA. Usia kami selisih cukup jauh, delapan tahun. Itu sebabnya ketika aku mengenalnya pertama kali, aku tidak sedang mencari pacar, tapi mencari istri. Cukup sulit menaklukkan hati Tania yang belum ingin menikah. Berkat kegigihanku, akhirnya dia luluh juga. Satu tahun setelah perkenalan, kami menikah. Saat ini kami sudah memiliki sepasang anak yang lucu dan sehat, membuatku makin mencintai Tania. Sayang sifat perfeksionis Tania, membuat kekesalanku makin bertambah setiap harinya.
Entah kenapa, setiap bercermin, selalu saja, Tania menemukan kekurangannya. Entah pipi kurang tirus, hidung kurang mancung, alis kurang tebal atau hal lainnya. Bahkan pernah, kami sudah siap berangkat ke sebuah pesta terpaksa batal, karena dia menemukan lingkaran hitam di mata yang sulit disamarkan.
Sejak itu, mulailah dia menjadi langganan salon kecantikan ternama. Awalnya aku senang, melihat Tania merawat dirinya. Namun, lama kelamaan aku kesal melihatnya terobsesi. Setiap ada jenis perawatan baru, dia akan mencobanya. Bukan jumlah uang yang aku permasalahkan, toh aku sanggup membiayainya. Namun, obsesinya makin menggelisahkanku.
Tato alis, sulam bibir, setrika pipi, tanam benang, suntik vitamin C, liposuction (sedot lemak), dan entah apa lagi namanya. Semua perawatan yang dia yakini mampu membuat kulitnya putih, bibir merah merona, alis bak semut beriring, pipi halus dan kencang, juga perut mulus tanpa selulit, sudah pernah dicobanya.
“Sudahlah, apa sih yang kamu inginkan? Kamu itu cantik. Apa pun yang ada pada dirimu, aku menyukainya. Tak perlu kau turuti nafsumu,” kataku pada Tania.
“Itu, kan, kata Mas yang ingin memujiku saja, sementara bayanganku tidak berkata seperti itu. Setiap kali aku bercermin selalu saja aku melihat ada kekurangan yang bisa diperbaiki,” bantah Tania.
“Itu wajar. Setiap manusia pasti ada kelebihan dan kekurangan. Tidak ada manusia yang sempurna. Sebagaimana aku menerima kelebihanmu. Aku juga menerima kekuranganmu.” Aku berusaha menasihati Tania. Sayang, rupanya dia tidak mengindahkanku.
Meski aku selalu mengingatkan, bahaya yang mengintai dari perbuatannya. Tania seolah-olah tak peduli dan tetap saja melakukannya. Sampai akhirnya ….
“Kenapa wajahku terasa gatal sekali ya, Mas? Pipiku juga seperti melorot. Coba lihat,” keluh Tania suatu hari.
Aku melihat apa yang dia keluhkan, dan memutuskan segera membawanya ke Rumah Sakit Ananda. Vonis dokter spesialis kulit membuat Tania terpukul. Dokter bilang ini adalah akibat operasi dan semua perawatan yang dia lakukan dan tidak dikerjakan oleh ahlinya. Tidak semua orang bisa menjalani perawatan tersebut, butuh pemeriksaan lengkap untuk melihat karakteristik kulit. Hal ini yang seringkali tidak dilakukan di pusat perawatan kecantikan. Alhasil perawatan kecantikan bisa berdampak buruk pada kesehatan.
Pada akhirnya, penyesalan selalu datang terlambat. Kini, cermin hanya mampu menampilkan sepenggal bayangan. Bukan hanya karena malu melihat wajahnya, tetapi Tania sudah tak mampu lagi menegakkan tubuh untuk bercermin. Rimpuh layaknya orang uzur, meski usia masih di pertengahan 30 tahun.
Surabaya, 27-09-2020
Bionarasi :
Ardhya Rahma, nama yang ingin ditorehkan dalam setiap buku yang ditulis. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan travelling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Tulisan yang lain bisa dijumpai di akun FB @Ardhya Rahma
Editor: Erlyna
Sumber gambar: Pinterest.com