Menstruasi, Kemiskinan, dan Perundungan

Menstruasi, Kemiskinan, dan Perundungan

Menstruasi, Kemiskinan, dan Perundungan

Oleh: Reza Agustin

The Day I Hate to Go to School (2016), film pendek ini saya temukan ketika menjelajah explore di Instagram. Hal pertama yang membuat saya segera mencari film pendek ini di Youtube adalah wajah yang tidak asing, aktris dari film pendek ini adalah Kim Hyeyoon. Bagi teman-teman yang pernah menonton Sky Castle dan Extraordinary You pasti tak akan asing lagi dengan aktris cantik ini. Sedikit lucu melihatnya memainkan karakter gadis miskin, padahal di dua drama di atas sangat berkebalikan dengan perannya di film pendek ini. Ada pula saudara perempuan Kim Yoonjung yang juga mengambil sedikit peran di sini.

Secara garis besar, film berdurasi lima belas menit ini menceritakan tentang Lim Eunjung yang hidup dalam keluarga miskin. Ayahnya mengalami kekurangan di bagian kaki sehingga membuat pria tersebut pincang. Pada suatu hari Lim Eunjung menolak bersekolah karena mengaku sakit. Ayahnya yang marah memaksa agar Eunjung berhenti sekolah saja daripada membolos, namun Eunjung melarikan diri dan bersembunyi dari ayahnya.

Setelah ayahnya tidak lagi terlihat, barulah Eunjung kembali ke rumah sewaan mereka dan melakukan aktivitas selayaknya anak yang bolos pada umumnya. Terkecuali di bagian ia belajar. Umumnya orang membolos karena enggan belajar bukan? Film ini mengambil latar Korea Selatan di mana murid-muridnya dalam kondisi “senang” belajar untuk memenuhi tuntutan kurikulum pendidikan yang berat, jadi jangan heran dengan kegiatan bolos yang satu ini.

Jika ia memang “sesenang” itu belajar, mengapa harus bolos?
Saya akan langsung memberikan spoiler, karena apa yang bisa disembunyikan dari film sepanjang lima belas menit? Bukan rahasia lagi jika Korea Selatan merupakan negara dengan tingkat perundungan sekolah yang tinggi. Inilah salah satu poin yang membuat Enjung enggan bersekolah biarpun ingin sekali berangkat. Ia mengalami perundungan oleh siswi-siswi sekolahnya karena terlalu miskin sehingga tidak mampu membeli pembalut.

Satu peristiwa yang membekas di ingatannya adalah ketika salah satu siswi mencegatnya dan mengejek bahwa Enjung terlalu miskin sehingga tidak mampu membeli pembalut. Bahkan ketika siswi tersebut mengejek Eunjung, saat itulah Eunjung sedang datang bulan. Karena tak mengenakan pembalut, darah haidnya mengotori rok dan bahkan terlihat bercucuran di paha. Sangat disayangkan karena siswi-siswi lain yang melihat bukannya membantu justru menatap Eunjung dengan jijik. Seakan tidak memiliki simpati dan toleransi, mereka memandang Eunjung seperti seorang kriminal. Adegan seperti ini kerap saya temui di drama-drama berlatar sekolah, merundung siswa lain karena alasan tertentu. Tak ada yang membantu, jika membantu atau sedikit saja menunjukkan perhatian ada kemungkinan juga orang yang membantu ini juga akan balik dirundung.

Itulah yang membuat Eunjung enggan bersekolah. Perisakan dari kawan-kawannya sendiri dan ketakutan akan diejek lagi. Ketika periode datang bulannya datang, ia membolos. Karena tak mampu membeli pembalut, ia menggunakan koran bekas sebagai alas tidur agar tidak mengotori alas tidurnya.

Kemiskinan yang dialaminya tentu menjadikan hidupnya tidak begitu menyenangkan. Tidak mampu membeli pembalut, selalu bersembunyi dari pemilik rumah sewa ketika waktu ditagih datang, dan perundungan di sekolah tentunya. Ia menjadi siswi pendiam di sekolah tetapi di rumah menjadi gadis galak yang sering bertengkar dengan ayahnya.

Selama bertahun-tahun menggemari budaya Negeri Ginseng tersebut, saya sering kali berpikir bahwa kehidupan rakyatnya pun bahagia. Namun kembali lagi pada kenyataan, kehidupan tidak seindah dramanya. Tentu hal-hal seperti kemiskinan selalu bisa ditemukan di belahan dunia mana pun. Tidak ada pengecualian.
Karena Lim Eunjung, saya sedikit mensyukuri nikmat mampu membeli sebungkus atau dua bungkus pembalut di kala periode saya tiba. Karena Lim Eunjung pula saya bertanya-tanya, mungkinkah ada satu atau dua perempuan di sekitar rumah saya yang tidak mampu membeli pembalut juga?
Pada akhirnya kemiskinanlah yang menghalangi perempuan semakin berjalan ke depan. Semoga tidak saya jumpai Lim Eunjung di dunia nyata.

* Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997.

Leave a Reply