Alika (Bagian 4)
Oleh : Diah
Alika melirik bolpoin karakter di meja sebelahnya selama beberapa detik, kemudian matanya menatap ke arah lain. Menatap teman sekelasnya yang sedang sibuk mengerjakan tugas Kimia. Lalu, kembali lagi pada bolpoin warna pink yang masih belum berpindah posisi. Detak jantungnya meningkat saat tubuhnya perlahan berdiri, mendekat ke meja tersebut.
“Sal, nomor terakhir sudah?” tanyanya berusaha menormalkan suara.
Salma yang merasa terpanggil, menatap Alika dengan wajah terperangah.
“Lha kamu nanya aku? Nggak salah? Sampe jam pelajaran berakhir aja entah selesai entah enggak ini,” jawab Salma diiringi tawa kecil. “Kamu mau kasih contekan?”
Sontak Alika menggeleng, wajahnya masam saat berkata, “Aku lagi males ngerjain, baru dapat tiga soal.”
“Ya, Alika mah, sekarang dapat tiga soal setengah jam lagi udah selesai semua.”
“Ya, ya udah deh,” balas Alika dan kembali ke kursinya. Di tangannya sudah ada bolpoin karakter milik Salma. Cepat-cepat Alika masukkan ke dalam tas, lalu duduk dengan tenang lagi.
Perasaan puas langsung menyergap dadanya, membuat Alika mengembuskan napas lega diikuti senyum lebar. Namun perasaan itu tak bertahan lebih dari satu menit, berganti dengan rasa cemas, takut, dan malu.
Sesungguhnya Alika sadar sedang melakukan tindak pencurian. Dia tidak berniat melakukan itu, tetapi dorongan dalam dirinya tak bisa ia lawan. Alika selalu ingin berhenti dari kelainannya tersebut, tetapi sampai sekarang belum berhasil. Padahal benda-benda yang Alika ambil juga tidak berguna untuk dirinya sendiri.
Seperti bolpoin karakter ini contohnya, Alika tidak tahu akan melakukan apa pada benda ini nanti. Toh, bolpin sejenis ini sangat cepat habis, dan Alika lebih suka menggunakan bolpoin standar.
Merasakan ketenangannya terusik semakin jauh, Alika memilih beranjak dari kursi, keluar kelas. Dia menyusuri koridor dengan tangan yang sedikit basah karena keringat.
“Al!”
Merasa terpangil, Alika memutar tubuh dan menemukan cowok berperawakan tinggi sedang berjalan ke arahnya. Reino.
“Eh, hai,” sapa Alika pada Reino. Rasa gugup dan wajah memanas sering kali Alika rasakan akhir-akhir ini kala mengingat Reino pernah menggendongnya. Astaga, kenapa harus Alika ingat terus?!
“Kamu … habis lakukan lagi?”
“Lakukan apa?” tanya Alika dengan tawa yang dipaksakan.
“Setiap habis melakukannya, kamu selalu gugup.”
Reino menyadarinya, dan hal itu membuat Alika semakin malu. Dia memundurkan langkah, menggeleng pelan.
“Aku nggak berniat—“
“Oke, iya. Aku tau itu gangguan, jangan takut banget gitu.”
Kalimat Reino membuat Alika lega begitu saja, tetapi tak lama sebab Reino menambahkan dengan kalimat yang membuat Alika semakin malu.
“Emang kamu nggak punya niatan berhenti dari kelainan itu? Maksudku, memang kleptomania nggak bisa disembuhkan, tetapi masih bisa ditangani. Aku baca dari beberapa ulasan dokter yang bahas kelainan kamu itu.”
Alika menarik napas terlebih dahulu sebelum bertanya, “Apa urusan kamu?” dengan suara ketus.
Sementara Reino yang mendapati perubahan sikap Alika, mengelus dadanya. Ada juga manusia semacam Alika, diingatkan yang baik malah membalas ketus. Padahal beberapa detik lalu dia gugup seperti maling ketangkap.
Eum … memang iya, begitu, batin Reino.
“Bimbingan nanti dimulai jam satu, sudah ada surat izinnya, barusan bapaknya titip pesen biar disampaikan ke anak lain,” kata Reino memilih megalihkan pembicaraan. “Lagian ngapain malah keluar kelas? Nggak mencerminkan siswa teladan sekali, Al.”
Alika hanya mendengus keras, lalu mengembalikan langkahnya ke kelas. Reino yang melihat kaki Alika mengentak hanya menggeleng tak habis pikir, meski begitu senyum tetap tak terelakan di bibirnya. Alika, Alika .…
***
Alika membenarkan letak tasnya di pundak, lalu melarikan pandangan ke seluruh penjuru ruangan sekali lagi. Benar, tak ada orang. Kemudian Alika melirik jam di atas papan tulis, dia juga tak salah bahwa waktu sudah hampir menunjuk angka satu dua menit lagi. Akan tetapi di mana Reino dan—.
“Bengong. Bukannya duduk.”
Nah, ini dia orangnya.
Alika tak membantah saat Reino menarik tangannya, lalu mendorong tubuh Alika agar duduk di kursi dekat tembok.
“Duduk pinggir.”
“Aku nggak suka di pinggir gini.”
“Biar nggak bisa ke mana-mana, aku juga yang awasin.”
“Kamu satpam?”
“Iya, khusus jadi satpamnya Alika.”
Reino mengucapkan dengan wajah tenang seolah kalimat itu bukan apa-apa, tetapi Alika menanggapinya berlebihan. Mendadak, dia kehilangan cara membalas omongan Reino. Alika menangkap makna lain dari kalimat itu, semacam … kepedulian? Ah, ya, sepertinya benar kepedulian.
Tapi, kenapa Reino harus peduli padanya. Toh, jika Reino cuma takut Alika akan mencuri barang orang lain saat di ajang olimpiade nanti, cowok itu bisa mengawasinya seperti biasa. Tidak perlu mengatakan terang-terangan begini. Lagi pula di sana Alika akan sibuk dengan soal, bukan dengan barang orang lain.
Dengan wajah yang dibuat-buat sebal, Alika menghempaskan diri ke kursi, mengeluarkan buku dari tas lalu meletakkan tas itu di samping kursinya. Di sebelahnya, Reino juga melakukan hal yang sama.
“Al.”
“Hem.”
“Nih.” Alika menaikkan alisnya penuh tanya saat melihat kertas yang disodorkan Reino.
“Bisa gambar grafiknya?” tanya Reino.
Mengerjap, Alika belum pernah mencoba persamaan parametrik seperti ini.
“Ini soal yang mana?”
“Coba aja dulu.”
Meski keheranan, Alika tetap menarik kertas itu dan mengambil bolpoinnya. Namun, baru saja dia menuliskan huruf X kertasnya sudah ditarik lagi oleh Reino.
“Nggak. Nggak usah. Iseng aja kok. Sana belajar lagi!”
Reino meremas kertas itu hingga membentuk bulatan, lalu memasukkan ke laci meja. Batinnya memaki diri sendiri, kalau sampai Alika berhasil menemukan bentuk grafiknya, dia mau bagaimana?
Sementara Alika diam-diam mencuri kesempatan mengambil kertas itu dari laci Reino, lalu memasukkan ke tasnya. Dia terlanjur penasaran dengan hal yang membuat Reino sampai blingsatan tadi.
Begitu pulang, Alika membuka kembali kertas Reino, membaca dua baris tulisan tangan cowok itu.
x= 16 sin3 t
y=13 cos t – 5 cos (2t) – 2 cos (3t) – cos (4t)
Alika langsung berdecak menyadari ini bukan soal yang mudah. Dia sama sekali tidak ingin membuang waktu dengan mengerjakan persamaan semacam ini. Maka yang Alika lakukan selanjutnya adalah melempar kertas itu ke tempat sampah dan tubuhnya langsung dibaringkan ke kasur.
Bersambung …
Bagian sebelumnya: Alika (Bagian 3)
Bagian selanjutnya: Alika (Bagian 5)
Tempat Ternyaman, 01 Oktober 2020
Diah, gadis biasa aja, nggak suka masak tapi makan selalu suka.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata