BUNGKAM

BUNGKAM

Bungkam

Oleh : Zalfa Jaudah J.

 

Menjalani kehidupan pahit memang harus kuterima. Sejak kecil, aku tidak mengetahui malaikat mana yang telah melahirkanku ke dunia yang begitu kejam ini. Yang kutahu, masa kecilku penuh dengan duka. Aku Rima, seorang perempuan yang tidak pernah merasakan kasih sayang orangtua. Mungkin saja, orangtuaku tidak sudi merawatku hingga akhirnya aku tinggal bersama anak jalanan yang memiliki nasib sama sepertiku.

Aku ingat sewaktu kecil dulu, tanpa mengenakan alas kaki, aku berjalan menyusuri sudut kota di malam hari untuk mencari uang recehan. Terkadang ada orang baik yang memberiku uang miliknya tanpa membeli kain lap yang kujual. Memang, selama ini aku berjualan kain lap dapur. Dalam sehari, aku harus menjual habis kain itu. Namun malam ini, sepertinya keberuntungan sama sekali tidak berpihak kepadaku.

Aku hanya berhasil menjual satu kain lap dalam satu hari penuh berkeliling. Lalu bagaimana dengan isi perutku? Aku tidak mengemis, rasanya sudah biasa jika perut ini merasa perih. Aku tetap berjalan menjajakan barang daganganku. Berharap di antara puluhan orang yang kutemui mempunyai sedikit saja rasa iba sehingga mau menyeluarkan beberapa lembar uang miliknya untuk membeli barang daganganku.

“Kain lap, Bu. Barangkali ibu butuh kain ini, harganya murah.”

Seorang perempuan paruh baya menggeleng cepat sembari melontarkan senyum. Kubalas senyum itu sambil melangkah pergi. Aku mulai cemas, jika kuberanikan diri untuk pulang dengan barang dagangan yang hanya terjual satu, sudah pasti aku akan mendapatkan perlakuan buruk. Aku takut.

“Permisi, Pak. Maaf mengganggu Bapak, tolong beli dagangan saya, Pak. Sebenarnya saya malu mengatakan ini, tetapi saya benar-benar memerlukan uang untuk biaya rumah sakit adik saya.”

Oh, Tuhan! Aku berhohong kepada seorang pria dewasa yang mengenakan jas hitam. Entah mengapa aku berani mengatakan hal tersebut. Padahal, aku sama sekali tidak memiliki adik.

“Baik, saya beli semua kain lap itu, ini uangnya,” balas pria dewasa itu sembari mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah. Rupanya ia iba melihatku.

Aku menggeleng cepat seraya berkata, “Uang yang Bapak berikan terlalu banyak.”

“Sisanya untuk biaya lain yang mungkin akan kamu butuhkan di rumah sakit. Ambillah.”

“Terima kasih banyak, Pak.” Tanpa kusadari, air mata menetes begitu saja.

Aku berbohong padanya! Tetapi syukurlah, pria dewasa itu sangat baik padaku. Saat kuberikan kain lap milikku untuknya, ia menolak begitu saja.

“Saya beli semua kain lap ini, ya. Tapi, kain lap ini kamu simpan saja,” ujar pria dewasa itu sembari menyodorkan uang.

“Terima kasih banyak, Pak.”

Aku berlalu sambil tersenyum senang. Malam ini, aku merasa aman karena pulang membawa beberapa lembar uang. Sama sekali tidak kusentuh uang tersebut meski perut kecil ini kian terasa perih. Aku yakin, sepulang nanti, aku akan mendapatkan makanan di rumah. Namun siapa sangka jika senyuman yang sedari tadi kulontarkan berubah seketika, saat aku menyadari tidak ada keberuntungan yang berpihak kepadaku.

Tatapan penuh kebencian itu terus memperhatikan langkah kakiku ketika sampai di depan rumah. Ah, bahkan menyebut tempat ini sebagai rumah pun rasanya tidak pantas. Selama tinggal di sini, tak pernah kurasakan kasih sayang sedikit pun. Perempuan pemilik rumah ini hanya memanfaatkanku saja, tetapi yang aku sadari, selama ini aku berutang banyak padanya. Aku biasa memanggilnya Bu Rasya, ia yang merawatku dari kecil. Tanpanya, mungkin saja hidupku lebih buruk.

“Sudah jam segini baru pulang, dari mana saja kamu?!”

Aku tertunduk takut. “Maaf, Bu. Rima salah, dari pagi Rima baru menjual satu kain lap, tapi—”

“DIAM!”

Bentakan Bu Rasya benar-benar membuatku ketakutan. Luka yang ada di sekujur tubuhku akibat perlakuan perempuan itu masih sangat terasa. Sakit itu pun semakin menyiksa ketika ia memukuliku lagi menggunakan sapu lidi. Aku meringis kesakitan. Belum sempat kuberikan uang pemberian pria dewasa yang kutemui tadi, aku sudah mendapatkan perlakuan kasar lagi darinya.

Air mata yang menetes sebenarnya bukan hanya karena pukulan yang Bu Rasya berikan, tetapi juga hal yang selama ini selalu mengusik pikiranku. Bagaimana rasanya terbebas dari penjara yang tidak terlihat ini? Mengapa aku tak pernah beruntung meski hanya sekali? Masa kecil yang kualami sangatlah pedih. Masalah yang kuhadapi pun semakin banyak.

“Bu, tolong hentikan … Rima memiliki sesuatu untuk Ibu.”

“Diam kamu! Dari dulu hidup kamu selalu menyusahkan! Jualan kain lap saja nggak becus!”

“Bu … Rima minta maaf, Rima janji nggak akan ngulangin kesalahan ini lagi, Bu … Rima bawa uang untuk Ibu.”

“Uang?” Bu Rasya menghentikan pukulannya. “Berikan uang itu!”

Dengan cepat aku memberikan uang itu sembari berkata, “Ini, Bu. Sekali lagi Rima minta maaf sama Ibu.”

“Bagus. Lain kali, bawa balik duit yang banyak! Jangan hanya numpang hidup di sini!”

“Iya, Bu.” Aku kembali menunduk takut.

“Eum, tapi kamu tetep salah! Kain lap ini masih masih banyak! Lain kali kalau jualan itu yang bener!”

“Maaf, Bu ….” Hanya kata maaf yang bisa kulontarkan saat itu. Meski sesungguhnya aku tak tahu untuk apa. Mungkin saja, aku masih terlalu kecil untuk bisa memahami kejamnya dunia. Hidup bersama Bu Rasya selalu membuatku tersiksa. Namun entah mengapa, aku masih bertahan meski umpatan dan pukulan terus menghampiriku.

Setelah Bu Rasya puas memaki, akhirnya ia berlalu pergi. Aku berjalan menuju kamar. Tunggu, sebenarnya tempatku beristirahat hanyalah gudang rumah, bukan kamar indah yang begitu nyaman. Entah sudah berapa lama aku tidur di tempat yang tak layak ini, yang pasti, sedari dulu hanya gudang inilah yang bisa menghilangkan resahku. Hanya gudang ini yang menjadi saksi bisu atas tangis dan siksa yang Bu Rasya berikan padaku.

Masa kecil yang bahagia selalu menjadi mimpi bagiku. Hingga akhirnya aku mengerti, menerima dan berdamai dengan dunia harus kulakukan. Meski kedamaian itu tidak pernah mengubah hidupku. Aku tetaplah manusia yang harus menerima segala resah. Bahkan, malam hari selalu menjadi teman untukku. Aku menikmati setiap embus napas dan angin malam yang menerpa. Meski sering kali kaki kecilku merasa pegal dan terluka akibat kerasnya aspal, aku tidak peduli. Biarlah sakit yang ada pada tubuhku ini mereda dengan sendirinya.

Aku yakin, suatu saat dapat kutemukan sebuah kebahagiaan meski hanya satu detik saja. Penjara yang tak terlihat ini masihlah rumahku, meski tak kutemukan kasih sayang dan kebahagiaan di dalamnya. Tidak apa aku diam, semoga suatu saat Bu Rasya bisa menyadari bahwa aku akan tetap menyayanginya.(*)

Tentang Penulis:

Zalfa Jaudah Jahro, lahir di Karawang pada hari Jumat, 03 Oktober 2003. Zalfa sangat menyukai awan, mendung, dan ia. Jika ingin mengetahui tentangnya, bisa melalui email : zalfajaudah03@gmail.com atau Facebook : @Zalfa Jaudah J.

Editor : Tri Wahyu Utami

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Tag : cerpen, siksaan, eksploitasi anak, anak jalanan, diam

Leave a Reply