Moi Bukan Cinderella (Bagian 2)

Moi Bukan Cinderella (Bagian 2)

Moi Bukan Cinderella (Bagian 2)
Oleh : Nuke Soeprijono

Setelah minum ramuan awet muda buatan Moi semalam, pagi ini seharusnya jadi hari yang indah bagi Romlah dan Jamilah. 

Romlah segera membuka mata dan penuh semangat dia melompat menuju meja rias yang ada di pojok kamar untuk berkaca. 

“Kaaak, lihat! Kulitku jadi licin! Halus dan bercahaya,” teriak Romlah kegirangan mendapati kulitnya yang baru. Raut wajahnya terlihat puas sesaat sebelum dia melihat lubang hidungnya. 

“Eh, tapi ada yang aneh. Astagaaa! Apa-apaan ini?! Pantas saja bangun tidur tadi berasa sesak napasku. Rupanya lubang hidungku mengecil. Seharusnya kan pori-pori wajah yang mengecil. Ini kok? Kak Jamilah, bangun! Coba lihat apa yang Moi perbuat pada wajahku. Dasar adik gak tau diuntung!” Romlah menceracau, histeris melihat bentuk wajahnya sekarang. Memang glowing tetapi terlihat aneh dengan bentuk lubang hidung yang tidak simetris seperti itu. 

“Ada apa sih, Rom? Berisik banget, deh, ah! Kenapa hidungmu? Ah, iya, bagaimana wajahku sekarang, ya?!” Jamilah meraba-raba wajahnya sebentar lalu gegas menyusul Romlah menuju meja rias.

“Waaah, aku jadi cantik bangeet!” seru Jamilah bahagia. Romlah cemberut. Tidak seperti dirinya, dia melihat wajah sang kakak berubah sempurna. Bersih bersinar, bak piring beling transparan yang baru saja dicuci. Kening dan pipinya yang chubby berkilat-kilat kena cahaya matahari pagi yang lembut menyusup lewat jendela kamar. 

“Ah, ini gak adil! Moi mana Moi? Moooiii!!!” Romlah berteriak sekuat tenaga dari kamar yang terletak di lantai dua itu. Dia ingin protes pada Moi kenapa bentuk hidungnya malah berubah menjadi aneh.  

“Buset! Napas kamu bau banget, Rom! Baru juga bangun udah main teriak aja. Lagian si Moi mana denger!” seru Jamilah sambil menoyor kepala Romlah dari samping.

“Ma-maaf, Kak, kelepasan … iya, sebelum tidur, semalam aku ngemil keripik tokek dulu. Ketambahan ramuan dari Moi, makin jadi, deh, napasku bau. Ha ha ha!” Romlah malah terbahak menghadap ke wajah Jamilah. 

“Iish … bau banget, sumpah! Bangkai tokek kali, yang kamu makan!” seru Jamilah sembari menghalau wajah Romlah yang mendekat. Kemudian dia berjalan menuju pintu kamar. Teringat dia yang menyuruh Moi tidur di gudang tadi malam. 

“Moiii … Moi!” teriak Jamilah dengan suara yang cempreng mirip kaleng rombeng.

Jamilah turun lalu mencoba membuka pintu depan yang terkunci. Setelah memutar anak kunci, dengan gusar dia naik-turunkan gagang pintu itu cepat-cepat.

“Romlaaah … sini turun! Sejak kapan pintu depan ini pake kunci dobel?”

“Aduh, kenapa lagi, sih, Kak?” Romlah menuruni anak tangga dengan setengah berlari. “Kenapa pintunya? Dikunci? Ya udah tinggal dibuka,” sahut Romlah enteng memutar anak kunci itu ke kiri. 

Ceklek! Ceklek!

“Kak, ini harusnya sudah bisa kebuka.”

“Makanya! Kalo udah bisa kebuka, ngapain kakak teriak nyuruh kamu turun, Romlaaah ….” Wajah Jamilah makin ditekuk, kesal mendapati adik nomor duanya ini agak lemot.

Tiba-tiba air muka Romlah berubah pucat. Gelagat cemas terlihat jelas dari lubang hidungnya yang kembang kempis dengan susah payah. Bisa dipastikan dia yang paling panik nantinya jika sampai harus terkurung di dalam rumah. Di antara tiga bersaudara, dia memang paling penakut. 

“Kak Jam, gimana ini? Kenapa pintunya tetap gak bisa dibuka, sih?” Romlah sedikit merunduk mencoba mengintip pada lubang kunci. “Nggak kenapa-kenapa, kok, kuncinya juga baik-baik aja,” gumam Romlah. 

“Dek, lihat nih!” Jamilah mengambil secarik kertas yang tergeletak di meja tak jauh dari mereka berdiri. 

Maafkan Moi, ya, Kak Jambrong, eh, Kak Jam dan Kak Rom. Berhubung kalian sekarang sudah cantik jelita bak kuntum mawar merah yang harum mewangi dan merekah sepanjang hari, Moi harus pergi. Moi gak tahan jika setiap hari harus kalian siksa dengan perintah-perintah yang sering tidak masuk akal itu. Moi pergi mau nyusul Mami dan Papi. Baik-baik ya, kalian di rumah. Tenang aja, pintu udah Moi gembok tujuh lapis biar kalian tetap aman. Dan tongkat ajaib andalan kalian Moi bawa biar kalian merasakan apa yang Moi rasa setahun belakangan ini. Tertanda, adik kalian yang paling imut: Moi

“Tidaaak! Adek sialan! Kurang ajar banget si Moi!” Kertas seukuran map yang biasa dibawa oleh petugas kelurahan itu disobek-sobek secara membabi buta oleh Jamilah. Hatinya gusar. Sedangkan Romlah hanya bisa menangis bersandar di balik pintu sambil membayangkan wajah tengil Moi ketika pergi meninggalkan rumah. 

“Terus gimana sekarang?” tanya Jamilah melihat ke arah Romlah yang masih menangis sesenggukan. “Ah, payah kamu, Rom, nangis aja bisanya! Bikin sarapan aja sana!”

“K-kakak mau sarapan apa? Romlah, ‘kan, nggak bisa masak,” ujarnya sambil melap ingus dengan ujung piyamanya. Matanya mengerjap-ngerjap seperti memohon belas kasihan.

“Ya bikin apa, kek, nasi goreng, kek, mie instan, kek,” jawab Jamilah ketus. 

“Tokek goreng, ya? Kakak mau? Aku masih punya sisa semalam di dapur,” kata Romlah semringah bersiap melangkah menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.

“Hoek! No! No! Kamu aja sana yang sarapan kalo itu menunya.” Jamilah memperlihatkan ekspresi wajah jijik mengingat bentuk hewan kegemaran adiknya itu. 

Jamilah melenggang tanpa dosa menuju dapur. Perutnya juga sudah lapar minta segera diisi. Menyadari dirinya tidak bisa memasak, Romlah tak acuh pada permintaan sang kakak yang ingin dibuatkan sarapan.

“Orang aneh-aneh aja, sih. Makan tuh, ya, seadanya. Adanya tokek, ya udah, makan! Pake segala minta nasi goreng, lah, mie instan, lah. Udah tau biasanya yang nyiapin itu semua si Moi. Ah, adek sialan itu pake minggat lagi!” Romlah terus menggerutu sambil menyiapkan makanan kesukaannya itu. Diambilnya dari piring, sisa ekor dan kaki belakang hewan berkulit kasar totol-totol hijau kemerahan itu. Baru saja hendak melahap, terdengar suara kaleng rombeng si Jamilah di sebelahnya. 

“Romlaaah … kamu bener-bener, ya! Menjijikkan! Keluar sana, kalo mau makan gituan. Bikin mual aja!” Jamilah histeris melihat Romlah hendak menyuapkan ekor tokek ke dalam mulutnya. 

“Kak, kita sekarang sedang dalam keadaan terpaksa. Kita sedang terkunci di dalam rumah. Nggak bisa keluar, perut lapar, marah-marah juga percuma. Yang ada perut kakak nanti makin terbakar karena lapar,” ujar Romlah mencoba memberi pengertian pada sang kakak. 

“Trus, maksud kamu, aku disuruh makan tokek juga, gitu? Iyuuh … mending aku kelaparan daripada harus menelan kakek itu. Hoek!” Lagi-lagi Jamilah merasa mual, dia nyaris menumpahkan isi lambungnya. 

“Tokek, Kak … bukan kakek-kakek. Sembarangan kamu,” sahut Romlah enteng sambil meneruskan suapannya. Dia seolah tidak mempedulikan Jamilah yang berdiri di dekatnya. 

“Terserah kamulah, Rom! Dasar punya adik aneh semua! Tongkat ajaib pake dibawa lagi sama Moi. Aaargh!” Jamilah terus merutuk sambil memegang kepalanya yang terasa mau pecah. Dia merasa tak berdaya tanpa tongkat ajaibnya dan … Moi. Tidak bisa disangkal, selama ini memang Moi yang mengurus semua keperluan mereka. (*)

Bersambung …. 

Part sebelumnnya : Moi Bukan Cinderella (Bagian 1)

 

Nuke Soeprijono, si alter ego yang “sedih” saat turun hujan.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply