Pak Bin dan Tiga Hatinya (Bagian 2)
Oleh : Siti Nuraliah
Pak Bin berjingkat-jingkat sambil meringis, lantaran bokongnya tersenggol rombongan anak muda berkalung tanda pengenal “panitia” yang sedang melindungi seorang penulis dari fans beratnya. Pak Bin hampir tersungkur, kalau saja di depannya tidak ada anak lelaki berjaket cokelat yang keteknya beraroma itu menahan tubuh gembilnya. Pak Bin menyingkir, sebab bisul di pantatnya takut pecah bila ia terus memaksa berdesak-desakkan.
Para pengunjung bersorak-sorai, ada yang bertepuk tangan, ada yang berteriak-teriak memanggil nama idolanya, sampai ada yang menjerit-jerit histeris. Pak Bin menajamkan penglihatannya, dia memastikan matanya tidak salah lihat. Benar, penulis muda itu putrinya. Ag Robin itu mungkin nama pena, pikirnya. Pak Bin terkagum-kagum, menyaksikan putrinya begitu supel, ramah, dan energik di depan sana. Ada dua laki-laki muda yang duduk di sebalah kiri dan kanan Agnez. Pak Bin langsung menyimpulkan saja kalau salah satu dari ke duanya pasti ada yang dekat putrinya. Sebab sedari tadi, yang brewokan itu berkali-kali melihat ke arah Agnez yang sedang berbincang-bincang dengan pemandu acara.
Lama Pak Bin di tempat itu, ternyata acara itu bukan saja acara temu penulis dengan pembaca setianya, melainkan acara bedah buku. Pak Bin ikut duduk di barisan paling belakang, memperhatikan tiap kalimat yang disampaikan putrinya. Pak Bin semakin bangga, mempunyai putri yang ternyata dikenal banyak orang. Namun, ruang hati Pak Bin masih ada yang kosong. Dia masih mempunyai pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Agnez, perempuan yang cantik dan terkenal, mana mungkin di usianya yang sudah memasuki angka dua lima belum mempunyai kekasih. Pikiran Pak Bin berkelana, Pak Bin merutuki dirinya sendiri, apa memang sejauh ini, jarak antara dia dengan putri-putrinya. Apa mungkin Agnez takut untuk bercerita atau sekadar curhat kepadanya? Atau Agnez takut untuk bilang kalau kekasihnya yang duduk di sebelah kanan tadi berwajah kurang tampan—yang selalu memperhatikan cara Agnez berbicara.
Cukup lama Pak Bin duduk di pojokkan, dia terperanjat, ketika suara tepuk tangan menggema memenuhi seisi ruangan, membuyarkan pikirannya.
“Astaga! Sudah siang!” pekiknya, sambil melirik arloji antik di pergelangan tangannya.
Pak Bin kebingungan, bagaimana caranya berdiri di antara semua peserta yang sedang duduk rapi agar tidak mengundang perhatian panitia? Akhirnya dia pelan-pelan mengedap-endap berjalan sambil mepet-mepet di dinding, persis orang yang sedang maling, topinya dia tarik ke depan menutupi separuh wajahnya. Beruntung, karena Pak Bin sengaja mengambil bangku paling ujung di belakang, sehingga memudahkan Pak Bin berhasil keluar dari toko buku itu dengan mudah.
Kini Pak Bin sudah berada di dalam mobil, dia masih meringis-ringis menahan pantatnya agar tidak terlalu menekan ke jok. Sekali-kali bokongnya diangkat. Pak Bin merasa perutnya mulai keroncongan, dia baru ingat kalau tadi pagi dia sarapan hanya masuk beberapa suap saja. Pak Bin memelankan laju mobilnya dan berhenti di depan sebuah kafe. Satu bungkus French fries cukup untuk mengganjal perutku sampai rumah, gumamnya.
Namun, baru saja dia hendak keluar dari mobil, di pintu kafe itu Pak Bin melihat Liona, anak perempuannya yang paling stylish keluar bersama rombongan teman-teman lelakinya. Pak Bin mengurungkan diri, ditahannya perutnya yang semakin lapar. Dia masih memperhatikan anaknya dari dalam mobil. Pak Bin geregetan, akhirnya dia keluar meneriaki nama anaknya.
“Lionaaa!” Pak Bin berteriak sambil berkacak pinggang.
Yang diteriaki namanya membalikkan badan, “Ayah?” Wajah Lioni keheranan, dia tidak menyangka ayahnya ada di depan mata. Kedua tangan Pak Bin masih bertengger di pinggangnya. Sedetik kemudian tangan sebelah kanannya diangkat lurus ke depan sambil kelima jarinya digerak-gerakkan sebagai isyarat agar Liona mendekat. Liona malah cengengesan, melihat ekspresi ayahnya yang diseram-seramkan. Sungguh tidak seram sama sekali, yang ada, Pak Bin terlihat sangat lucu dengan gaya pakaiannya yang necis.
Liona mendekati ayahnya, sambil tidak kuat menahan tawan.
“Ayah sedang apa di sini? Bukannya ayah sedang tidak enak badan dan seharusnya istirahat di rumah?”
Pak Bin tidak menjawab pertanyaan Liona, dia mengibas-ngibaskan jari ke arah teman lelaki Liona untuk menyuruhnya pergi.
“Sejak kapan, kampus kamu pindah ke kafe ini, Liona? Ayo masuk mobil!” perintah Pak Bin. Liona menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aduh! Batinnya.
Liona menurut. Pak Bin menghempaskan pantatnya di jok sambil menutup pintu, dia lupa kalau bisulnya sudah sedikit lagi mau pecah. Dia mengaduh-aduh kesakitan.
“Ayah ada perlu apa keluar membawa mobil? Jika hanya untuk membeli kentang goreng, bisa meminta tolong petugas jasa pengantar makanan saja.” ucap Liona.
Pak Bin tidak menjawab, dia pura-pura cemberut saja, tiba-tiba Liona menepuk jidatnya, “Ya Ampuuun … aku lupa membalas pesan dari Kak Agnez.”
Lantas Liona asyik dengan gadgetnya, dia melihat pemberitahuan pesan masuk sebanyak lima puluh dari kontak yang berbeda. Belum lagi pesan dari grup-grup yang menumpuk. Liona si stylish ini seorang model di majalah terkenal sekaligus ketua organisasi kesenian di kampusnya. Lagi-lagi Pak Bin, ayahnya, tidak tahu apa-apa.
Sepanjang perjalanan, Pak Bin tetap diam. Liona terus sibuk membalas satu per satu pesan yang masuk ke whatsapp-nya. Hingga sampailah di gerbang rumahnya, Pak Bin keluar lebih dulu, membukakan pintu tempat di mana Liona duduk di sebelah Pak Bin. Liona keluar dan mengekor di belakang ayahnya. Saat Liona menyadari sesuatu yang merembes dari pantat Pak Bin dan celana ayahnya basah, Liona menjerit menutup mulutnya yang menganga.
“Aduuh, Ayaaah …!” Liona menarik lengan Pak Bin dengan tergesa-gesa. Pak Bin baru merasakan kembali pantatnya mulai perih dan ngilu, namun tidak lebih nyut-nyutan dari tadi pagi.
“Setop, Ayah, jangan dulu duduk!” perintah Liona. Pak Bin menurut, ia berhenti dan berdiri mematung di depan kursi sofa. Liona lari ke dapur, mengambil air hangat di mangkuk yang besar dan satu sapu tangan, meletakkannya di meja. Liona berlari lagi untuk mengambil sarung, sementara Pak Bin masih mematung seperti orang yang hendak ditangkap polisi yang disuruh angkat tangan.
“Ayo pakai ini, buka celana ayah lalu kembali lagi ke sini!” perintah Liona tidak ditolak Pak Bin. Secepat hitungan detik Pak Bin sudah kembali lagi dengan memakai sarung, namun topi necisnya tetap menutupi kepalanya yang sebagian botak.
Liona kembali cengengesan melihat penampilan ayahnya. Dia menggelengkan kepala, “Oke, oke, tidak apa-apa.”
Liona menyuruh ayahnya tengkurap di atas sofa, Pak Bin meringis-ringis, bisulnya dipencet, dikeluarkan nanahnya oleh Liona.
Setelah dirasa cukup, Liona mengompres bekas lukanya dan ditutup dengan mengoleskan salep.
Jarum jam sudah menuju angka tiga, Pak Bin masih tidak bergerak, mengikuti instruksi putrinya. Liona beranjak hendak ke dapur memasak sup jamur kesukaan ayahnya. Di antara ketiga putri Pak Bin, Liona memang yang paling terampil dalam urusan dapur, sepertinya keahlian istri Pak Bin menurun kepada Liona.
Sementara itu, si bungsu April belum juga ada tanda-tanda pulang. Seperti yang dikatakan Agnez, April pasti mampir ke studio musik. Pak Bin berjanji kepada dirinya sendiri, setelah semua putrinya kumpul, dia ingin menyatukan jarak di antara mereka.
“Liona, berapa jumlah semua kekasihmu?” pertanyaan Pak Bin, menahan langkah kaki Liona. Dahi Liona berkerut.
“Apa Ayah tidak salah bertanya, barusan?” Liona membalikkan badan.
“Iya, kekasihmu, p-a-c-a-r …,” ucap Pak Bin sambil mendongakkan kepala, dia sudah merasa engap dengan posisi tengkurap dan berusaha untuk duduk, namun salep di pantatnya belum kering.
“Ayah mulai aneh, ada-ada saja!” bantah Liona sambil berlalu.
Bersambung ….
Bagian Sebelumnya: Pak Bin dan Tiga Hatinya (Bagian 1)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata