Nyanyian di Ambang Kehidupan
Penulis: Dyah Diputri
Aku terpenjara di tempat yang gelap dan lembap oleh cairan. Tidak ada cahaya, kecuali saat Tuhan datang menyapaku. Namun, pada saat itu, bahkan mataku masih dalam keadaan tertutup.
Kata Tuhan, “Tidurlah untuk sementara waktu, tunggu sampai seorang wanita membawamu kepada dunia yang baru.”
Aku sempat bertanya di dalam hati, “Dunia seperti apakah itu?”
Tuhan seperti mendengar pertanyaanku. Kemudian Dia menjawab, “Dunia yang terang, tetapi banyak dipenuhi oleh manusia yang berwajah gelap.”
“Apa bedanya dengan di sini?” tanyaku lagi.
“Duniamu ini adalah batas. Dunia yang lain itu juga sebuah batas. Dan kelak, ada dunia lain yang juga disebut batas.”
“Batas yang tak berakhirkah?”
“Segala akhir adalah di bawah kuasa-Ku, dan segala batas terpenggal oleh-Ku.” Begitulah Tuhan menjelaskan, sebelum Dia berlalu.
Kemudian, aku terbawa mimpi. Masih dengan memejam, kudengar nyanyian merdu seseorang. Nyanyiannya bisa membuat tubuhku merasa hangat, lebih hangat, dan sangat hangat. Sesekali dia berhenti, kemudian bersenandung saja sampai beberapa saat, lalu bernyanyi lagi dan membuat tubuhku menghangat.
Aku tertidur sambil sesekali menggeliatkan badan, tetapi sama sekali tidak ada hal penting yang terjadi. Waktu—yang entah berapa lama—terlewati begitu saja. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada mendengar suara seseorang yang bernyanyi itu. Sayangnya, tidak setiap waktu aku bisa mendengarnya.
Terkadang aku merasa terguncang keras, lalu terdengar isak tangis seseorang yang biasa bernyanyi itu. Terkadang pula aku dengar suara itu berupa jeritan yang diiringi pekikan, tapi dia tidak terdengar meminta tolong.
Pada hari kesekian aku tertidur, Tuhan datang kembali. Katanya, “Telah tiba waktumu melewati batas pertama. Sebuah lorong gelap dan sempit yang mengimpit adalah jalannya. Pikirkan dahulu sebelum melewatinya: apakah tujuanmu ke sana? Jika kamu merasa tak punya tujuan, maka kembali saja kepada-Ku, tanpa harus bersusah payah pergi!”
Aku tidak mampu berpikir dengan jelas. Hanya saja, saat tubuhku terasa tersedot keluar dan air yang mengelilingi mulai surut, aku mendengar suara seseorang—yang biasanya bernyanyi dan merintih—itu memekik. Dia juga mendesah, melolong, mengaduh, bahkan mengucapkan kalimat putus asa.
Dalam sedotan terkencang yang kurasakan, aku mendengar suara seseorang itu meminta tolong kepada Tuhan. Barulah aku bisa memutuskan—apakah kembali kepada Tuhan atau memilih melewati batas pertamaku.
Aku memilih melewati batas itu! Tentu saja karena bantuan seseorang yang memekik itu. Seseorang yang cantik dan suka bernyanyi itu kupanggil … Ibu.
***
Ada orang lain yang kupikir tidak patut hidup maupun melewati batas-batas kehidupan—baik kehidupan fana, kehidupan kekal, dan kehidupan yang lainnya. Dialah orang yang kusebut Bapak.
Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya, ketika aku baru mengenakan sepatu butut dan akan pergi ke sekolah, Bapak pulang ke rumah dalam keadaan bau alkohol. Lalu seperti biasa pula, Ibu yang awalnya memicingkan mata dan menutup hidung, beralih bersembunyi di balik pintu kamar mandi, lalu menangis sejadinya, sepuasnya.
Hal itu terulang berkali-kali, hingga terkadang aku berpikir bahwa akan lebih menyenangkan jika tidak tinggal di rumah. Melihat Ibu menangis itu rasanya kepalaku seperti dikerubungi oleh barisan ulat bulu yang tak kasat mata.
Aku pun pergi dari rumah tepat ketika hari pertama ujian kelulusan sekolah dasar dilaksanakan. Melewati rel-rel kereta api, berjalan menyusuri kolong jalan tol, dan sampai di depan sekelompok anak seusiaku yang tertawa bebas.
“Kau tak perlu tinggal di rumah kalau tak bisa tersenyum. Sebab kata orang pintar, rumah itu serupa gudang tawa!” kata salah satu anak yang mengajakku bergabung dengan mereka.
Satu anak lainnya yang menyodorkan puntung rokok yang mulai menyala juga berkata dengan tenangnya, “Dunia ini tak mengenal batas untuk bahagia. Jika tidak kau temukan di satu tempat, cari saja di tempat lainnya! Keterbatasan hanyalah untuk orang-orang yang berpikir sempit!”
Aku tidak terlalu paham kata-katanya, tetapi anak yang bertubuh paling besar itu hampir setiap hari menunjukkan tingkah yang membuatku mengerti akan kalimatnya. Ketika aku dan tiga anak lainnya menepi di trotoar—saat matahari tak memberi kesempatan bayang-bayang untuk mencium jalanan—sambil menghitung receh-receh hasil mengamen di perempatan, maka anak lelaki yang bernama Dul itu pun baru turun dari bus yang membawanya dari satu tempat ke tempat lainnya.
Uangnya tentu lebih banyak ketimbang kami yang berdiri di satu perempatan saja! Bahkan, saking banyaknya, salah seorang teman sampai melongo.
Kami hidup di jalanan cukup lama. Ya, cukup lama hingga membuatku menjadi orang lain dalam sekejap mata. Dunia malam dan jalanan adalah satu kesatuan, dan aku adalah manusia yang berdiri di antara keduanya.
Dul mengenalkanku kepada Sena, wanita simpanan bapak-bapak tua yang mempunyai hari libur setiap Senin. Dari orang-orang kaya itu Sena mendapatkan uang, dan darikulah dia mendapat penuntasan kepuasan malam.
“Lanang, jika kelak aku berhenti dari duniaku, maukah kau membawaku ke dunia yang baru?” tanyanya.
Aku jadi teringat percakapan dengan Tuhan kala itu, bahwa setelah batas kehidupan ini, tidak ada dunia fana yang lainnya. Yang ada dan terakhir hanyalah batas menuju kegelapan—yang kedua, kematian. Seperti yang Dul pernah bilang juga, kematian hanya untuk orang-orang yang terkunci kebebasannya. Sementara aku belum ingin mati ataupun dikunci kebebasannya.
Aku masih mau hidup, bebas, dan bahagia—dengan caraku sendiri.
“Aku mau kau pulang, lalu mengenalkanku kepada ibumu sebagai wanita baik-baik,” ucap Sena lagi seraya menempelkan kepalanya di perutku. Kami terlentang di ranjang membentuk huruf T, karena dia bilang lengan dan dada pria lain biasa dijadikannya sandaran, sedangkan aku adalah yang istimewa.
Akan tetapi aku belum sampai mengiyakan permintaan Sena waktu itu. Seseorang mendobrak pintu kamar rumah sewa Sena, lantas membabi buta menghajarku. Tidak, tidak! Bukan seorang. Mereka ada beberapa. Salah satu dari mereka adalah seorang bapak yang memberi uang bulanan kepada Sena. Dia berteriak dan menggampar wajah Sena berkali-kali. Sementara itu, pria-pria lain berbadan kekar terus menendang hingga aku menggelepar.
Sena meraung-raung. Dapat terdengar suaranya melewati lorong-lorong di telingaku, sesaat sebelum aku tidak sadarkan diri.
***
Aku kembali bermimpi. Di sebuah ruangan gelap dan sunyi. Tuhan datang kepadaku, tetapi tidak berkata apa-apa. Aku yang menyapanya lebih dahulu.
“Apa aku sampai di pintu kematian?”
“Kau mau?” tawarnya.
“Entahlah, aku hampir tidak punya tujuan.”
“Menyerah?”
Aku mendesah. “Tidak juga.”
“Apa yang membuatmu berat?”
Apa? Kematian terdengar tidak terlalu menakutkan, setidaknya bagi manusia macam aku. Akan tetapi, ada rasa tidak puas jika kehidupan yang terlewati selama ini bukan yang terbaik. Entah untuk tujuan apa dan demi siapa, aku pun tak mengerti. Namun, ada satu hal yang membuatku tiba-tiba ingin tetap hidup.
Sayup-sayup aku mendengar suara. Suara seorang wanita yang mengalun merdu, yang membuatku ingin memasuki batas kehidupan untuk kedua kali.
“Dek jaman berjuang
Njuk kelingan anak lanang
Biyen tak openi
Ning saiki ana ngendi
Jarene wes menang
Keturutan sing digadang
Biyen ninggal janji
Ning saiki apa lali
Ning gunung
Tak jadongi sega jagung
Yen mendung
Tak silihi caping gunung
Sukur bisa nyawang
Gunung desa dadi reja
Dene ora ilang
Gone padha lara lapa ….” (*)
Malang, 20 Agustus 2020
Nb:
(*) Ketika masa perjuangan
Kuteringat putraku
Dulu aku rawat
Namun sekarang entah di mana
Katanya sudah merdeka
Terpenuhi apa yang diinginkan
Dulu dia berjanji
Namun sekarang apakah lupa
Di gunung
Kubekali nasi jagung
Kalau mendung
Kupinjami caping gunung
Syukurlah jika dia bisa melihat
Gunung desa semakin ramai
Tapi tetap tidak hilang
Keadaan susah payah