Semesta Lily (Bagian 1)

Semesta Lily (Bagian 1)

Semesta Lily (Bagian 1)
Oleh :
Rinanda Tesniana

Lily berlari kencang menaiki tangga menuju lantai tiga Fakultas Ekonomi. Sudah pukul delapan pagi, dan ujian pasti telah dimulai setengah jam yang lalu.

Tepat dugaan Lily. Teman-temannya sedang mengerjakan ujian. Wajah mereka menunduk dalam, beberapa tampak mengerutkan kening, sebagian lain menggaruk-garuk kepala yang Lily pastikan tidak gatal.

Pak Silalahi berdiri dengan wajah sangar di depan kelas. Lily menelan ludah. Jantungnya mendadak berdetak lebih cepat. Keringat dingin mengalir di punggungnya.

Berurusan dengan Pak Silalahi tak mudah. Dosen tersebut termasuk salah satu dosen killer. Lily menimbang-nimbang, jika dia tetap masuk, bisa jadi Pak Silalahi akan meraung bagai singa lapar. Beliau sangat tidak suka dengan mahasiswa yang datang terlambat. Namun, terkadang lelaki itu bisa bersikap sangat baik, longgar, dan memberi banyak kemudahan pada mahasiswa.

Kini, Lily seperti berjudi dengan nasib. Untung-untungan saja. Dia nekat masuk, apa pun reaksi Pak Silalahi, dia siap menerimanya.

“Permisi, Pak,” ucap Lily di depan pintu. Senyum manis tak lupa dia sunggingkan di bibir merahnya. Mata Lily mengerjap-ngerjap, berharap wajah polos palsu yang dia tampilkan, dapat ditangkap oleh Pak Silalahi.

“Masuk!”

Lily bersorak dalam hati. Meskipun diucapkan dengan wajah garang, perkataan itu lebih menyenangkan daripada harus diusir dengan makian panjang.

“Besok aku tak mau tengok muka kau terlambat lagi, Ly. Sibuk muka kau aja yang bolak-balik nongol pas orang ujian.”

Lily mengangguk takzim. Tak ada gunanya membantah Pak Silalahi. Diizinkan masuk saja, dia sudah cukup beruntung.

Lily mengambil kertas ujian yang masih tersisa di atas meja dosen. Matanya berkeliling, mencari tempat yang nyaman untuk mengerjakan soal.

Dia menangkap bangku kosong di sebelah Yasmin. Pasti gadis itu sengaja meletakkan tas di sana. Lily melangkah pasti menuju ke arah sahabatnya. Yasmin segera meraih tas ransel berwarna abu-abu tersebut agar Lily bisa duduk.

Setengah jam konsentrasi dengan soal, Lily sudah selesai mengerjakan semuanya dengan mulus. Tak sia-sia begadang semalam.

Sebenarnya, Lily sedikit heran, tak biasanya Pak Silalahi membuat soal semudah ini.

“Ly, nomor sepuluh,” bisik Yasmin.

Lily menunjukkan kertas ujiannya, agar Yasmin bisa menyalin langsung. Kening Yasmin berkerut melihat kertas ujian Lily.

“Ly, soal lo beda!”

“Masa?”

Lily mengamati kertas ujiannya. Dan rasanya, Lily ingin mengucapkan sumpah serapah sebanyak-banyaknya. Kertas ujian yang dikerjakannya, adalah kertas ujian mahasiswa S-1 semester 1.

“Pak.” Lily langsung berdiri. “Maaf, saya salah ambil kertas ujian. Ini buat anak S-1.”

“Kau pun bodoh kali! Tak kau tengok, kertas yang sikit ini punya kalian!”

Lily menunduk, menyadari kecerobohannya. Harusnya, sejak awal dia sadar. Soal yang sangat mudah ini, tidak mungkin ditulis untuk anak pasca. Selain itu, teman-teman tampak kesulitan mengerjakannya, dan dia malah sebaliknya, semua soal dikerjakan dengan cepat.

“Cepat kau ambil kertas ujian kau! Setengah jam lagi harus selesai!”

Lily berlari ke bangkunya, dia segera membaca soal dan langsung berasa mual melihat sulitnya soal yang harus dia kerjakan.

Sisa lima menit lagi, dan Lily belum mengerjakan satu pun. Satu per satu, teman-teman mengumpulkan tugasnya. Lily mulai gelisah. Dia melirik kertas ujian Yasmin yang nyaris penuh.

Di saat dia akan memberi kode pada Yasmin, suara Judika berbunyi nyaring dari handphone-nya. Lagu Cinta karena Cinta yang menjadi lagu favorit Lily, memenuhi ruangan berukuran delapan kali delapan tersebut.

Pak Silalahi tampak sangat murka.

“Siapa orang bodoh yang tak mematikan handphone dalam kelas ini?” tanyanya dengan suara keras.

Lily menggigil, wajah putihnya pucat. Ya, itu memang handphone-nya. Bukannya diam, suara Judika mengalun untuk yang ketiga kali.

“Lily! Keluar kau!” Pak Silalahi menunjuk pintu keluar.

Terbirit-birit Lily meninggalkan kelas. Untunglah otaknya sempat berpikir cepat, dan meletakkan kertas ujiannya di meja Yasmin. Lily yakin, sahabatnya itu tak akan tega membiarkan kertas ujian Lily kosong melompong.

Lily mengambil handphone di dalam tasnya. Dia membaca sekilas layar yang berkedip, Rose.

“Berengsek lo! Gue diusir dari kelas gegara elo!”

Suara gelak tawa terdengar dari seberang.

“Lo udah di mana? Gue mau on the way, nih.” Suara Rose yang sengaja dibuat mendesah, menyentuh gendang telinga Lily. Lily benci suara itu, tapi bagaimana menolaknya? Sementara Rose adalah sahabat baiknya di kantor.

Lily memang beruntung, setelah menyelesaikan S-1, dia langsung diterima kerja di sebuah instansi pemerintah. Profesi yang didambakan oleh banyak orang, ASN. Kata orang, menjadi ASN membuat hidup tenang, dan masa tua terjamin.

Namun, Lily tidak merasakan semua itu. Dia mendapat SK penempatan di sebuah rumah sakit pemerintah, bagian keuangan. Pekerjaan di sana sangat banyak, terkadang Lily sampai kehilangan waktu untuk dirinya sendiri. Satu-satunya hiburan adalah ketika dokter yang baru saja mendapat uang jasa, memberi Lily atau Rose uang jajan untuk makan siang.

“Emang lo mau ke mana?” tanya Lily, bingung.

“Anjay! Lo lupa, Ly? Lupa?” Pekikan Rose membuat Lily menjauhkan handphone tersebut dari telinganya. Suara Rose tidak mendesah lagi. Sepertinya, gadis itu lupa berpura-pura seksi. Suara aslinya yang cempreng membuat Lily geli.

“Lupa apaan, sih?”

“Kita mau ke Padang, Ly! Pelatihan.”

Astaghfirullah!” Lily berselonjor di lantai. Dia benar-benar lupa, padahal SPT sudah keluar dari minggu lalu. “Gue besok ujian, Ros!”

“Ras Ros Ras Ros! Rose! Nama gue ujungnya ‘e’, Ly.”

“Gue lupa. Pesawat sore, ya?” Lily mengabaikan gerutuan Rose.

“Iya, jam empat, ini masih jam satu.”

“Masih jam satu? Gue belum nyiapin apa-apa!”

Lily ingin menangis rasanya.

“Buruan pulang. Gue jemput lo sejam lagi.”

Lily mengangguk. Dia lupa, Rose tak akan bisa melihat anggukannya.

Lily menghidupkan motor matik kesayangannya, dan meluncur tanpa melihat kanan-kiri lagi.

“Lily!” Yasmin yang baru tiba di parkiran motor, berteriak memanggil Lily.

Lagi dan lagi, Lily salah membawa motor. Sering kali seperti ini. Motor Lily dan Yasmin memang serupa. Bedanya, kunci kontak motor Yasmin sudah rusak, jadi jika menggunakan kunci motor sejenis, motor itu bisa hidup. Sementara, motor Lily tidak akan bisa menyala menggunakan kunci motor Yasmin.

Bisa dibayangkan, Lily yang teledor itu sering salah bawa motor.

Yasmin menunggu di bawah pohon. Biasanya, sejam kemudian Lily akan kembali dan mesem-mesem minta maaf karena lagi-lagi salah. Namun, hingga pukul tiga tidak ada tanda-tanda Lily kembali.

Berkali-kali Yasmin menelepon, tapi tidak dijawab. Akhirnya, Lily menelepon Yasmin.

“Kenapa, Sayang?” Suara Lily terengah-engah menjawab telepon Yasmin.

“Lo di mana?”

“Di bandara, Yas. Gue mau ke Padang. Ada kerjaan.”

“Ya, Allah, Ly. Motor gue lo bawa!”

“Masa, sih?” Lily yang sedang checkin tak konsentrasi. Ditambah sinyal yang tampaknya tidak terlalu baik, membuat suara Yasmin yang dia tangkap tidak terlalu jelas.

“Iya. Jadi gue gimana?” Yasmin ingin menangis rasanya.

“Ntar, deh. Pulang dari Padang gue selesein,” ucap Lily. Setelah itu sambungan terputus.

Yasmin memaki dalam hati. Terpaksa dia menyewa ojek daring untuk tiba di rumah Lily. Dia sengaja membiarkan motor Lily di parkiran kampus. Itu sebagai bentuk balas dendam, karena Lily, nasibnya terlunta-lunta.

***

Lily mengembuskan napas lega. Akhirnya, dia dan Rose bisa duduk tenang di ruang tunggu penerbangan dalam negeri.

“Gile bener gue hari ni, Ros!” Lily menyedot teh kemasan dingin untuk menyegarkan tenggorokan.

“Ros melulu ah, bosen gue,” dumal Rose kesal.

Suara Judika terdengar samar dari dalam tas Lily.

“Duh, apaan, sih. Pake video call segala,” umpat Lily melihat nama Leony, kakaknya, tertulis di layar. “Kenapa?” tanya Lily dengan ketus.

“Lo di mana? Lea kangen.” Wajah cantik Leony terpampang, di belakangnya, Lea-sang keponakan merengek ingin berjumpa Lily.

“Gue di bandara, Le. Mau ke Padang.” Lily memegang handphone-nya sembarangan, sehingga Leony di seberang sana, merasa dia seperti ada di bandara.

“Fokus, dong!” bentar Leony kesal.

“Eh, gue udah mau berangkat, Ny. Lea, sayangnya Tante, besok ketemu ya, Nak, kalau Tante udah pulang.” Lily memberi kecupan jauh untuk Lea yang memasang wajah cemberut.

“Buruan!” teriakan Rose membuat Lily panik. Dengan sembarangan dia melempar handphone-nya ke dalam tas. Mengabaikan jeritan Lea yang memanggil namanya. (*)

Bersambung ….

 

Bagian 2 (Selanjutnya)

 

Ranah Minang, 23092020

Rinanda Tesniana. Perempuan biasa yang tidak bisa memasak.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply