Alika (Bagian 1)

Alika (Bagian 1)

Alika (Bagian 1)
Oleh : Honey

Semuanya berawal ketika Bu Ismi, pemilik kantin sekolah, berteriak di depan murid-murid yang tengah makan siang. Suaranya begitu lantang, meskipun tanpa toa. Sudah dapat dipastikan kalau semua murid di kantin bisa mendengar suara Bu Ismi. 

“Siapa pun yang suka maling makanan di kantin, awas aja! Kualat kamu!”

Sesaat setelah mengatakan kalimat itu, Bu Ismi mengarahkan tatapan yang cukup tajam kepada setiap murid yang tengah makan. Reino, salah satu murid di sekolah itu bahkan sudah hilang selera dan memutuskan untuk pergi dari kantin. Rasa laparnya musnah di saat Bu Ismi berteriak dengan memamerkan giginya yang tak lagi terawat tadi.

Namun, saat hendak kembali ke kelas, Reino melihat seseorang. Seorang perempuan yang di tangannya terdapat sebungkus risol yang … ah, sudahlah. Ia membenci pikirannya sendiri. Terlalu dini baginya jika berprasangka yang bukan-bukan. Reino berusaha menampilkan wajah tak peduli dan terus berjalan, hingga gadis itu akhirnya mengeluarkan suara.

“Kenapa lihatnya kayak gitu? Ada masalah?” tanya perempuan tersebut.

Reino berbalik. “Masalah? Enggak, kok. Kamu yang geer.”

“Oh, biasa aja dong lihatnya. Mau risolnya apa gimana?”

“Heh, apaan, sih?”

Perempuan itu terdiam sesaat. Sebenarnya ia mulai waspada. Tatapan Reino saat melihatnya menggenggam risol sangat aneh.

“Kenapa?” tanya Reino lagi.

“Enggak, kok. Gak kenapa-kenapa.”

“Ya, udah.”

Saat Reino hendak pergi, seseorang memanggilnya. Lagi, langkah laki-laki tampan itu tertahan.

“Alika! Reino!” Sekali lagi, teriakan itu terdengar.

“Apa?” tanya Reino ketus.

“Duh, senengnya. Dua murid pinter saling ngobrol begini. Coba kalian satu kelas. Bakalan perfect kayaknya. Udah, lah. Sama-sama pinter, kenapa gak jadian aja, sih?”

Reino dan Alika langsung berjalan menjauh. Tak peduli dengan kalimat shipper yang dilayangkan oleh temannya yang bernama Citra itu.

“Heh, heh! Pada ke mana, sih. Kok pergi?”

Citra segera mengejar Alika dan menggaet tangannya.

“Al, kenapa, sih? Emang kamu gak tertarik ya sama si Reino? Tahu gak? Dia tuh cakep, pinter, emang agak jual mahal sih kelihatannya. Gak beda jauh lah, ya sama dirimu.”

“Hah? Gak beda jauh?”

“Iya, gak beda jauh. Bedanya cuma dia kayaknya bukan anak konglomerat dan kamu anak orang kaya.”

“Udahlah, Cit. Gak usah banyak ngobrol. Aku pusing dengernya.”

“Iya iya, maaf.”

Mereka berdua segera menuju ke ruang kelas. Beberapa murid sepertinya sudah menunggu kedatangan Alika sejak tadi.

“Al, boleh nanya, gak?” tanya Tiara.

“Boleh.”

“Kamu lihat penghapusku, gak? Kemaren kamu pinjem, kan, Al?”

Alika mengembuskan napas berat sebelum menjawab. “Aku memang pinjam, tapi aku simpen lagi ke mejamu.”

“Iya gitu?” tanya Tiara tidak yakin. Gadis itu lalu mencari kembali di kolong meja dan tetap tidak menemukan apa-apa.

“Udahlah, beli aja lagi. Cuma berapa rebu doang, kan?” Citra ikut bersuara.

“Iya, Cit. Tapi, kan. Aku butuhnya sekarang.”

“Iya, tapi kamu gak perlu dong nuduh Alika sembarangan kayak gitu. Aneh, deh. Bisa juga kan pinjem ke yang lain. Hidup kok ribet amat.”

“Nuduh? Enggak, Cit. Siapa juga yang nuduh? Aku kan cuma nanya tadi.”

“Tetep aja, itu kesannya kayak kamu tuh nuduh Alika ngambil penghapus kamu. Lagian, cuma penghapus doang mah, Alika bisa beli sama pabriknya sekalian.”

“Udah, Cit,” ucap Alika, mencoba meredakan perdebatan di antara Citra dan Tiara.

“Iya, udah lah. Cuma penghapus doang, kan? Sini, Al. Kamu bantuin aku kerjain soal ini dong, jelasin rumusnya. Aku kurang ngerti.”

Salah satu teman lain yang berada di pojok, ikut menghentikan keributan dan meminta Alika menjelaskan beberapa soal. Alika tidak menolak. Ia merasa tidak nyaman jika harus terus berada di tengah Citra dan Tiara yang sedang beradu mulut.

***

Alika dan Tiara sedang memperhatikan pengumuman yang tertera di mading sekolah. Di pengumuman tersebut, ada deretan nama yang merupakan nama-nama murid yang akan diikutkan ke olimpiade fisika. Tentu saja, nama Alika masuk dalam deretan tersebut.

“Wah, keren, Al. Eh lihat, deh. Ada dia juga!” Citra berteriak girang.

“Dia? Dia siapa?”

“Itu, loh. Yang kemaren papasan sama kamu. Reino!”

“Ah, apa istimewanya, sih.”

“Ah, kamu tuh, ya. Gak bisa lihat situasi kayak gini. Masa sih kamu gak mau perhatiin baik-baik. Reino itu tampan, baik hati, meskipun, ya. Seperti yang aku bilang, agak sok jual mahal gitu.”

Entah sudah kali keberapa Citra menjelaskan sosok Reino. Jujur saja, itu membuat Alika semakin hari, mau tak mau, jadi tahu juga. Semakin hari, Alika seolah-olah mengenal Reino, tanpa ia sadari.

Reino yang tampan. Reino yang pintar. Reino yang berasal dari keluarga biasa saja. Reino yang sok jual mahal.

Semua kalimat yang selalu diucapkan oleh Citra seolah sudah tertanam di kepala Alika.

“Kita gak bakalan pulang bareng, dong. Kamu bakalan ada kumpulan, kan? Sama anak-anak yang mau ikut lomba? Yah, aku gak bisa nebeng mobil kamu, dong.”

Citra menampilkan wajah kusut. Alika tersenyum datar.

“Maaf, ya. Kamu kan bisa naik taksi atau ojek online.”

“Iya iya. Tapi nanti nitip salam, dong.”

“Nitip salam?”

“Iya. Titip salam ke Reino.”

“Apaan, sih.”

“Pokoknya nitip, ya.”

“Iyaa.”

Sementara Citra pulang, Alika berjalan menuju ruang kumpulan persiapan olimpiade. Untuk kesekian kali, ia selalu masuk deretan perwakilan lomba antar sekolah.

Saat memasuki ruangan, semua bangku sudah penuh diisi oleh murid-murid dan pembimbing. Alika melihat bangku kosong di sebelah Reino. Sedikit canggung, tapi Alika memilih untuk duduk di sana.

“Halo.” Alika melayangkan sapaan. Ia hanya basa-basi sebenarnya.

“Iya, halo.”

Beberapa saat kemudian, acara belum juga dimulai. Alika berusaha mencari topik pembicaraan.

“Ada yang nitip salam.”

“Hah? Siapa?”

“Citra.”

“Oh, oke. Eh kamu juga dapat salam.”

“Dari?”

“Dari Bu Ismi, pemilik kantin.”

Alika terkesiap. Ia yakin hari itu tak ada yang melihatnya mengambil risol. Jadi, benar ternyata dugaannya kemarin. Tatapan aneh dari Reino bukanlah hal yang biasa.

“Maksud kamu?” Alika berusaha tetap tenang.

“Iya. Sayangnya, aku lihatnya gak cuma sekali. Aku bilang gini, aku cuma gak mau, di olimpiade nanti, nama sekolah kita hancur gara-gara salah satu murid pintarnya mengambil barang peserta lain.”

Alika tak bisa berkata-kata. (*)

Bersambung ….

 

Bagian 2 (Selanjutnya)

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply