Pak Bin dan Tiga Hatinya (Bagian 1)

Pak Bin dan Tiga Hatinya (Bagian 1)

Pak Bin dan Tiga Hatinya (Bagian 1)
Oleh : Dyah Diputri

Pak Bin tersadar berkat bisul di bokongnya—yang tiba-tiba tumbuh, meradang, dan berdenyut-denyut—bahwa selama ini dia terlalu sibuk duduk di depan komputer ruang kerjanya. Lima kali dalam seminggu tak pernah menjeda libur, ditambah dua hari akhir pekan yang dihabiskan ke luar kota demi mengecek perkembangan bisnisnya.

Mengambil posisi tidur miring, Pak Bin menahan rasa nyeri yang aduhai di area bisulnya. Benjolan sebesar pipil jagung yang semalam dia oles salep sendiri dengan bantuan cermin kaca lemari, pagi ini sudah jadi sebesar tomat ceri, mungkin. Hal itu membuat hidunganya kembang-kempis memerah setiap kali menahan nyeri.

Baru sampai menit ketujuh membuka mata pagi itu, Pak Bin disergap kebosanan. Dengan mulut membulat kecil dan sesekali memekik, dipaksakannya badan gembulnya bangun dari tidur. Aku tidak bisa berdiam di rumah. Harus ada yang kukerjakan, batinnya.

“Berhenti bergerak, Ayah! Dan jangan sampai aku berteriak membangunkan tikus di loteng hanya karena Ayah tidak mau istirahat!”

Suara Agnez, putri sulungnya, membuat Pak Bin kaget dan sontak jatuh terduduk di tepi ranjang. Sialnya, dipan jati tempat bokongnya mendarat menyambut hangat luka bisulnya. Ouh, kali ini bukan hanya hidung Pak Bin yang memerah, seluruh wajahnya seperti kulit jagung yang dicat merah. Kusut, kaku, dan tentu saja merah!

“Bisakah tidak mengagetkan ayahmu?” Pak Bin meringis lagi.

Agnez si cerewet itu membantu ayahnya tidur miring lagi setelah meletakkan sarapan di nakas. Bibirnya tidak manyun, wajahnya juga tidak kentara ditekuk-tekuk seperti kertas lipat yang gagal jadi origami kupu-kupu, hanya saja tautan alisnya mengesankan bahwa dia sedang sebal.

“Kamu tidak kerja hari ini?” Iseng, Pak Bin mengalihkan rasa bersalahnya.

“Ini hari Selasa, hari liburku. Ayah lupa, atau tak tahu?” jawab Agnez dengan tautan alis yang semakin tak berjarak.

Pak Bin tertawa kecil. “Ouh, iya … Ayah lupa. Ehm, tidak! Mungkin Ayah tidak ta–hu. Maaf,” sesalnya.

Agnez tidak menyahut. Dia fokus ke sarapan sang ayah dan mulai menyuapi dengan telaten, karena sendok kecil makanan itu harus masuk ke mulut Pak Bin dengan posisi serong—seperti posisinya Pak Bin. Memakan dobel waktu, tentu saja!

“Kamu tak keluar dan jalan-jalan di hari libur?”

“Memangnya Ayah butuh apa? Nanti bisa kupesankan Liona atau April untuk membelikannya.” Agnes terus menyuapi.

Pak Bin menggeleng. Sebenarnya dia hanya tidak pernah tahu apa kegiatan anak-anaknya. Terlalu giat bekerja demi pengalihan kesedihan hatinya sepeninggal istrinya, detik itu Pak Bin tersadar kalau selama ini ada jarak antara dia dan ketiga putrinya.

“Agnez, berapa usiamu sekarang?” Pak Bin menolak suapan kedelapan demi menanyakan hal itu.

“Ayah bahkan lupa kapan ulang tahunku?” Agnez berdecak. Dia betulkan letak kacamata yang melorot ke hidungnya.

Oh, Pak Bin terpukul telak! Baru satu pertanyaan tentang Agnez, dan dia sudah mendapati berapa jauh jaraknya dengan anaknya sendiri. Bagaimana dengan belasan pertanyaan tentang Liona dan April? Dia hanya paham jadwal membayar kuliah Liona setiap semester, juga kebutuhan-kebutuhan April yang melonjak ketika gadis itu naik ke kelas sebelas.

“Bulan depan usiaku dua puluh lima. Aku bekerja sebagai accounting di bank swasta, aku menjadi putrimu yang baik, dan aku membanggakan Ayah dan Ibu. Ada yang perlu Ayah ketahui lagi?” Agnes membuyarkan lamunan Pak Bin.

“Kamu punya kekasih?” tanya Pak Bin penasaran. Mendengar angka usia Agnez, seketika membuat pria lima puluh tiga tahun itu cemas.

Agnez hanya menghela napas pelan. Lagi, dibetulkannya posisi kaca mata. Tergesa-gesa dia membereskan piring makan Pak Bin.

“Aku ada perlu sebentar. Ayah tidurlah, dan tunggulah sesaat sampai April atau Liona pulang.” Agnez beranjak melangkah. Namun dia berhenti di ambang pintu kamar dan berbalik lagi. “Oh, tidak! Kurasa April masih akan lanjut ke studio musik dengan anggota band-nya. Mungkin sampai sore. Liona juga belum membalas pesanku. Ah, itu biasa. Pesanku selalu tertimbun oleh puluhan pesan teman lelakinya. Jadi, kurasa Ayah harus bersabar menunggu mereka.” Secepat ucapannya, gadis itu berlalu lagi.

Pak Bin memaksakan diri untuk bangun. Dahinya berkerut-kerut menahan kekuatan tubuh agar bisulnya tidak sampai terantuk apa pun. Dia berusaha menghalau kepergian Agnez, tetapi gadis itu terlanjur pergi dan menutup pintu.

Ada banyak pertanyaan yang seketika muncul di kepalanya. Ke mana Agnez akan pergi? Dengan siapa? Kenapa si sulung tak menjawab pertanyaannya? Apa dia menyembunyikan sesuatu tentang “laki-laki” di balik kecerewetannya? Siapa pria yang memenuhi ruang pesan ponsel Liona? Sebanyak apa hingga menenggelamkan pesan kakaknya? Kenapa pula si bungsu tercantik itu bisa sampai mampir ke studio musik? Apa yang dia lakukan? Band? Musik? Sejak kapan? Banyak sekali pertanyaan, sedangkan dia bertanya karena memang benar-benar tidak tahu apa-apa.

Pak Bin terseok-seok mengejar sambil sesekali mengaduh untuk sampai di halaman depan. Namun, Agnez sudah hampir berbelok di perempatan gang. Seolah-olah lupa akan rasa sakitnya, orang tua itu meraih kunci di dekat lemari, lalu bergegas menghidupkan mobilnya.

Awalnya dia menggeram karena bisulnya tergesek kasar di jok mobil. Akan tetapi, begitu pantatnya terempas sempurna dan suara mesin mobil mulai berderu, dienyahkannya jauh-jauh rasa nyeri itu. Pak Bin fokus mencari jejak Agnez.

***

Toko buku Long Life tampak ramai walau ini hari Selasa. Tumpukan buku-buku baru bercap “Best Seller” baru saja ditata di rak terdepan dekat kasir. Sementara di ujung barisan pengunjung yang mengular tampak satu meja dengan tumpukan buku serupa buku best seller tadi. Sebagian pengunjung yang ternyata sedang menanti kedatangan penulis buku favorit mereka itu adalah remaja laki-laki dan perempuan.

Apa Agnez ada di antara para penggemar itu, ataukah putrinya masuk ke toko buku itu sekadar mengalihkan perhatian? Bagaimana jika benar Agnez diam-diam sudah punya calon pendamping, sedangkan Pak Bin tidak pernah mengerti?

“Permisi, Anda mau minta tanda tangan juga, Pak? Kalau iya, mengantrelah yang rapi. Anda keluar jalur!” Seseorang menepuk pundak Pak Bin. Pria. Tampan.

“Atau jika Anda hanya ingin lewat, segeralah lewat! Sebentar lagi Nona Ag Robin akan datang. Jangan menghalangi sesi temu penulis dengan kegusaran Anda!” Seorang pria yang lebih muda menyahut.

Ag Robin, dia bilang? Ag ….

 

Bersambung ….

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply