Ternyata Senja itu Abu, yang Jingga

Ternyata Senja itu Abu, yang Jingga

Ternyata Senja itu Abu, yang Jingga

Nyatanya setiap kita adalah insan yang paling membutuhkan catatan sejarah. Entah karena dahulu yang penuh haru atau sendu biru. Seperti katamu, hari ini adalah tentang kemarin yang telah kita lalui, kusam, peluh, juga letihnya bisa jadi asupan gizi terbaik untuk kita menjalani kehidupan.

Kau dan mata bulatmu itu serupa lilin temaram yang mudah tersapu angin, kau dan nyanyian di peraduan malam itu serupa sajak yang mengajakku padamu atau jangan-jangan kau nestapa itu yang datang dengan bisik-bisik rindu namun menusukkan pilu.

“Jadi kau mau menerima tantanganku?” ucapku

“Bukankah mau atau tidak mau harus kujalani? Seperti kebiasaanmu,” balasnya

“Iya,” jawabku singkat.

Kuberikan bolpoin pada lelaki itu, dia dan aku seperti kunang-kunang dan malam.

Atau camar senja yang beranjak pulang. Aku memberinya tantangan 7 hari mencatat apa saja yang ada di pikirannya ketika senja tiba, dan aku pula. Akan kami lukiskan senja melalui aksara. Dia pandai bersenandung, petikan gitarnya adalah jembatan bagi curahan hati yang kerap tak tersampaikan.

Tak akan ada aku dan dia selama 14 hari ke depan, hanya ada dia pada kidung senja, hanya ada aku pada rona jingga mentari.

Kami.

Memulai.

.

.

Hari pertama.

Aku menyaksikan senja begitu sesak, riuh, dan penat. Tak ada jeda bagi insan yang terjebak kemacetan. Dan yang saat itu terlintas padaku…

Kau akan tiba dengan wajah kusut sembari bergumam, kau benci sesak, kau benci polusi, kau benci tanpa jeda. Namun langit temaram itu akan selalu membawamu tenang untuk sekadar berbisik tentang senandung yang agung.

Hari kedua.

Dan perjalananku adalah sesuatu yang lebih panjang dari sekadar ketibaanmu, entah kapan atau bagaimana telah kuwarnai tiap sekat yang kau sebut beda. Atau jangan-jangan senja adalah rona merah jambu? Setelah kau ada.

Aku suka, kau juga pasti suka. Ada semburat jingga yang merah muda.

Hanya itu yang kutulis, entah kenapa senja saat itu begitu manis, tiap butir warnanya seolah lolipop. Atau mungkin karena aku yang mengingat dia, pada kemarin, pada dahulu yang lalu. Aku mengingatnya. Senja seperti sedang tersenyum.

Hari ketiga.

Aku mencoba menulis, menulis cerita singkat tentang … ah. Bahkan dalam tulisan aku masih sukar menyatakannya. Cerita pendek, singkat. Selalu langsung tiba pada inti lalu berakhir. Kau harus memilih akan berlari pada jalan bahagia atau hanya diam dalam kesedihan. Bisa jadi kita tidak bisa memilih bagaimana akhir. Seperti penulis yang pasrah pada jalan aksaranya, seperti waktu yang selalu berserah pada tiap detaknya, seperti separuh yang selalu menerima setiap kehilangannya.

Ada burung yang kepaknya telah dipenuhi letih. Dia butuh pulang untuk merebahkan diri, mengusap sayapnya yang hampir patah. Dan senja selalu jadi pengingat baginya untuk tiba pada rumah tanpa hunus yang darah.

Aku menulis di buku kecil itu, lidah yang kelu juga letih yang memeluk selalu tak mampu mengalahkan jemari yang hendak berseru, sekadar berkata-kata bahwa kita tidak butuh menutup diri bagi setiap nyawa yang dengan sedianya bersama.

Hari keempat.

Aku memikirkan sebuah rumah di tepian telaga, telaga hening namun damai, telaga ramai namun sunyi, karena kau pasti tahu aku begitu benci riuh. Padahal gaduh, bising, dan riuh seringkali ada pada diriku sendiri, berkecamuk dalam degupan semilir. Dan kurasa setiap hal selalu bersebab.

Senja ini begitu rindu. Entah bagaimana aromanya mengundang pilu yang sesak. Semburat jingganya malu-malu hingga mati ditelan kelam. Dan kali ini aku menyaksikannya, ribuan warna berkecamuk antara lazuardi dan senja. Kita hanya butuh kepastian.

Aku menengadahkan daguku, menengok sisa serpihan senja yang begitu pekat. Rindu itu begitu sesak, meski aku tak pernah tahu dia tercipta dari senyawa apa.

Hari kelima.

Hari hati-hati, hati atau mati, atau bisa jadi jatuh hati.

Aku tak berharap ada yang berubah selepas tujuh hari ini berakhir, cerita senja yang sudah pasti tak akan pernah berulang. Aku bersulang bersama bisu, karena bergeming kadang lebih mengundang tanya dibandingkan menatap iming-iming belaka.

Tak enak, ada yang kurang. Seperti bagian puzzle yang hilang satu bagian. Oh, atau jangan-jangan senja memang tentang seseorang yang duduk di sebelahku dahulu, yang kuharap datang tak hanya pada masa lalu. Selamat senja, Senja. Mari lengkapi aku.

Kuharap yang kulihat bukan dirimu, kuharap mataku sendiri membohongiku dengan melihat kau tidak pada senja yang satu. Kuharap itu bukan kau.

Hari keenam.

Omong kosong itu serupa angin dan datang dari jenis yang melambungkan, meninggikan dan menjatuhkan dalam bungkam.

Kau, janji senja, jingga temaram, dan kelam yang beranjak pulang. Jingga? Berangsur tergusur.

Lagi,  kuharap bukan kau yang kutatap dibalik sibak rambut setengah gondrong itu. Yang bersebelahan tepat dengan perempuan yang kau sebut masa lalu. Ya, seperti katamu, kita hidup dari dulu yang menampik sembilu.

Hari ketujuh.

Tujuh. Dan kau berhasil. Atau aku yang berhasil. Kau gagal. Atau kita memang tak pernah memulai.

Dan akan kutulis bahwa aku adalah jingga yang senja, dan kau adalah senja yang jingga.

Ternyata senja itu abu. Katamu senja itu jingga, atau bisa juga rona emas. Sebutmu senja itu merona, tempatmu pulang tanpa hampa. Kau. Ucap-ucap haru itu. Telaga singkat dahulu. Riuh luka membiru. Kau tertawa, tempatmu pulang selalu siaga. Kau tenang, ucapmu senja selalu menerima apa adanya.

Ternyata bukan siaga namun tak tega, kau dan lukamu selalu diterima. Namun kali ini, ternyata senja adalah abu, butirnya tak lagi jingga sebab kulukiskan sesal pada kepak burung yang pulang.

Abu. Seperti rasa takutmu. Abu. Seperti biru sendumu.

Selamat! Kau tahu satu rahasia lagi, langit-langit temaram itu ternyata menyimpan beribu rahasia. Dan soal senja, jangan banyak bertanya, bukankah kau pembakar senja itu?

Atau memang kita tak pernah menjadi jingga yang senja? Atau senjamu bukan aku.

***

“Akhirnya, tujuh hari sudah,” ucapnya gembira tepat di depanku, masih dengan mata itu, juga senyum manis itu.

“Ini buku yang kau titipkan, sudah kutuliskan semua. Tanpa jeda.” Disuguhinya aku sebuah buku kecil yang tujuh hari lalu kuberikan.

Aku tersenyum

“Ternyata tujuh hari bisa mengubah apa pun, seperti kepulangan,” ucapku nanar menatap satu arah.

“Seperti cerpen kan? Atau kali ini seperti senja?” balasnya meresponku.

Aku menoleh. Tersenyum lagi padanya. Kusebut senyuman ini sebagai pengakuan yang bisu, dari hati yang begitu beku dalam alunan yang disebut malu.

Aku, malu, untuk sekadar menyatakan bahwa, selama ini ada aku yang sangat ingin jadi sebab senja indahnya. Bukan seseorang dari masa lalunya. Aku tahu, sejarah merupakan satu hal yang berharga, meski ada yang tak mau diulang namun ia selalu didekap mesra.

“Sudah ya, aku harus ke kelas. Jangan lupa kau baca,” ucapnya.

“Baca juga punyaku.” Aku menaruh buku kecilku di ranselnya.

Dia tersenyum. Senyum dambaan untuk segala doa di dermaga.

Dia berlalu, aku menyambut buku itu. Catatannya tentang senja.

Membacanya.

Hari pertama.

Akan kutulis senja sebagai awal perjalananku, karena pada senja aku mampu kembali membuka diri, pada tunduk singkat yang akan datang dari yang patuh. Aku dan Tuhanku.

Hari kedua.

Takdir ternyata berliku, rasanya juga beragam, namun kali ini apa pun rasanya kuharap takdirku adalah satu yang membawaku pada jeda begitu syahdu, senja.

Hari ketiga.

Ada nyanyian di balik semburat jingga itu, aku ingin segera menyanyikannya untukmu. Riuh itu akan menjadi kesukaanmu. Kupastikan.

Hari keempat.

Aku masih terharu pada spasi di antara rona jingga juga biru yang mengelam, ternyata masih ada merah muda yang temaram, persis warna pipimu ketika kusebut rindu yang berlagu. Senja yang rindu.

Hari kelima.

Sudah kusebut bahwa lalu adalah dahulu yang tak akan terulang, meski semanis kembang gula sekalipun, akan ada hal yang lebih manis yang datang pada saat ini. Senjaku tetap tentang hari ini. Tentang helaian sayap burung berbekal kerinduan, rindu rumah, rindu kehangatan, di depan.

Hari keenam.

Aku tak menyangka bahwa jeda begitu banyak mengandung spasi, meski tak ada titik kuharap kali ini kita akan bertemu di satu waktu di mana senja tak lagi bungkam dan ronanya melukis cahaya matamu. Kenapa kau? Terima kasih karena kau.

Hari ketujuh,

Untuk hari terakhir, seseorang datang menemuiku, dari lalu namun hendak menjadi esok. Aku sudi menjadi esok. Dia terharu, aku tahu dia mencintaiku, sama seperti aku, dulu. Dan sekarang, pada kau yang membaca tiap tulisan tentang senjaku. Kau tahu aku hanya mampu memetik gitar dan menjadikanmu senandung merah jambu, dan kini semoga tiap kata yang aku serahkan bisa membuatmu sadar bahwa aku benar-benar sudi menjadi esok, benar-benar sudi menjadi semburat jingga, benar-benar sudi menjadi kepakan sayap burung yang pulang. Asalkan, itu padamu.

.

.

Ada yang menari di pipiku, beranjak turun untuk segera memberikan kabar bahwa jingga tetap setia bersama senja meski jadi abu sekalipun.

“Bahkan, setiap cemburumu telah kucurigai. Setiap nanar tatap lembut itu telah kurindui. Dan, kau. Sudikah menjadi hari esok yang selalu kuidamkan bersama dengan jingga dan senja yang menyambutku pulang?” ucapnya.

Suaranya samar-samar namun kupastikan aku mengenalnya.

Dan benarlah, persahabatan bagaikan belanga yang paling tahu, bahwa di antara dua insan saling siap untuk jatuh pada cinta yang begitu utuh.

Aku tersenyum.

Dia memberikan buku yang kuberikan tadi.

“Terima kasih, telah sudi berbagi senja padaku. Aku butuh dahulu namun tak pernah sebutuh hari esok,” ucapnya mengakhiri.

“Ya.”

Dalam hati aku berucap berulang kali.

Aku tersenyum lagi.

Lagi.

Dan lagi.

Dia membalas.

Untuk kisah yang tak pernah tahu akan berakhir seperti apa, bersabarlah, dan sudilah menjadi bagian dari akhir yang tak pernah kita duga kisahnya.(*)

Sunita Kasih, tinggal di kota Lubuklinggau, penyuka bulan April dengan secangkir teh melati juga seporsi pengalaman renyah yang dituliskan dengan hangat. Fb : sunita kasih ig: sunitakasih

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply