Jalan Keluar
Oleh : Medina Alexandria
Saat memutuskan melangkah ke toko Bu Haji, Uyun tahu, sekali lagi ia akan menelan rasa malu sebab utang yang semakin menumpuk, sementara gajinya sebagai buruh borongan di kebun tebu terlalu kecil, bahkan untuk mencicil utangnya.
Menjadi buruh di ladang tebu, tentu bukanlah pekerjaan yang ringan bagi perempuan. Mereka terlalu lemah untuk aktivitas berat seperti mencangkul saat musim tanam atau memanggul batang-batang tebu saat musim panen. Karenanya, Uyun kerap absen karena terlalu lelah. Buntutnya, upah yang ia terima tentu tak mencukupi untuk sekadar biaya kebutuhan pokok sehari-hari.
“Kamu mau ngutang lagi, Yun? Yang kemarin-kemarin saja belum lunas, sudah mau ditambah!” Pemilik toko sembako satu-satunya di kampung itu mencebik. Ia lantas mengeluarkan sebuah buku tebal kusam—yang keempat sudutnya tak lagi siku karena terkikis usia—dari laci meja, lalu membalik-balik isinya. “Lihat ini, sudah kayak ular saja catatan utangmu, lama-lama aku bisa gulung tikar kalau begini terus!”
Ia menggebrak meja, gelang-gelang emasnya yang nyaris mencapai siku saling beradu. Logam-logam mulia itu mengeluarkan suara gemerincing dan semakin menciutkan hati perempuan yang beberapa bulan lalu menyandang predikat janda itu.
“Maaf, Bu Haji, nanti kalau bantuan pemerintah sudah cair, utang-utang saya pasti saya lunasi,” sahut Uyun. Ia masih terus menunduk, dagunya menempel di dada, jemarinya yang kurus saling meremas di depan paha. Mata perempuan beranak satu itu mulai memanas, ia mengerjap, berharap air yang menggenangi pelupuk matanya tak akan membuat pipinya basah.
“Bantuan uang ternak itu? Jangan terlalu berharap, kamu! Memangnya kamu saudaranya Pak Lurah?! Orang enggak punya siapa-siapa kayak kamu itu, Yun, enggak bakal masuk hitungan!”
Meski terus menggerutu, kedua tangan perempuan tambun itu gesit menimbang lima kilo gram beras, memasukkan ke dalam kantong keresek, meletakkan enam butir telur di atasnya, lalu mengangsurkan pada Uyun dengan kasar.
“Terima kasih. Terima kasih banyak, Bu Haji.”
“Iyooo!” Bu Haji menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari buku catatan utang, menulis apa-apa yang dibawa pulang pelanggan tetapnya barusan.
Uyun mengesampingkan kesedihan, yang paling penting untuknya saat ini adalah segera sampai ke rumah lalu menanak nasi, rengek lapar Lila terus terngiang di telinganya. Istri mendiang Mus itu terus menunduk dan berjalan cepat-cepat, kantong plastik berisi beras dan telur ia dekap di depan dada.
“Bu Haji pasti ngomel lagi, ya, Yun?”
Uyun menghentikan langkah, memejamkan mata dan menarik napas dalam. Tanpa melihat, ia tahu Mandor Harso—pemilik suara itu—pasti sedang menatapnya laksana serigala lapar melihat mangsa.
Utangnya memang bukan lagi rahasia. Mulut Bu Haji tak pernah bisa berhenti. Ia menceritakan apa saja pada siapa saja yang mau mendengar. Terutama tentang orang-orang yang punya tanggungan. Dan tentu saja Mandor Harso adalah tikus yang selalu mengendus-endus, mencari keuntungan dari orang yang kesusahan.
Lintah darat itu akan merayu calon mangsanya kemudian mengisap darah mereka hingga tak bersisa. Perutnya yang besar menggantung itu pasti penuh terisi uang-uang haram yang ia dapat dari perasan keringat orang-orang miskin. Tak segan-segan ia merampas harta peminjam yang tersisa bila mereka tak sanggup membayar utang beserta bunganya.
“Coba kamu turuti saran dariku, pasti utang-utangmu itu akan lunas!”
Uyun mencengkeram kantong plastiknya lebih erat, darahnya mendidih dan dadanya bergejolak. Kesedihan Uyun pun menjelma amarah. Namun, janda muda itu memilih diam, ia beberapa kali menarik napas panjang, kemudian berlalu tanpa sedikit pun menoleh pada Mandor Harso.
Dalam hati, ingin sekali Uyun mencakar wajah lelaki itu. Namun, keadaan memaksanya untuk tidak melawan. Harso adalah mandornya di kebun tebu. Mencari masalah dengannya mungkin akan mendatangkan masalah di kemudian hari. Uyun sungguh tak berdaya.
“Kak Mus, seandainya Kakak tidak keburu pergi, istrimu ini tak akan pernah direndahkan seperti ini,” ratapnya dalam hati.
Suaminya mati muda. Meninggal karena penyakit tuberkulosis. Tak pernah menghiraukan sakitnya, lelaki itu tetap bekerja keras sepanjang hari. Uyun telah lelah memintanya berobat, ia tak kuasa melawan kekerasan hati Mus. Hingga pada ambang batas ketahanannya, kuman-kuman TBC mencabik-cabik paru-paru Mus dengan ganas.
“Kesombongan hanya akan membuat kau juga anakmu lapar, Yun! Kita lihat saja, nanti kau pasti mengemis padaku!” pungkas Harso sengit.
Dengan punggung tangan, Uyun mengusap kedua matanya yang mulai berkaca. Ia kembali melangkah dan terus melangkah tanpa menghiraukan Mandor Harso yang setengah berteriak di belakangnya.
Di depan pintu, ibunya tengah menunggu. Dalam gendongannya, Lila, anak semata wayangnya terlelap.
“Dapat berasnya, Yun?”
Uyun memaksakan senyum, lalu mengangguk.
“Mungkin Lila capek merengek, atau dia terlalu lapar hingga tertidur,” lirih ibunya.
Dengan lembut dibelainya rambut sang putri lalu bergegas menuju dapur sebelum air matanya menetes lagi.
***
Sepertinya sang surya turut merasakan suka cita masyarakat kampung. Siang itu, ia bersinar sangat cerah. Cerah, seperti senyum orang-orang miskin yang pulang membawa uang bantuan pemerintah dari balai desa. Beberapa di antaranya berhenti di pos ronda, mengerumuni Mandor Harso yang duduk menunggu di sana.
Sementara itu, di dalam kamar, Uyun tersedu. Ia bergelung membelakangi Lila yang terlelap. Ibunya duduk bergeming di pinggir dipan. Jari-jari mereka saling bertaut.
Kabar pencairan bantuan tunai dari pemerintah memang santer terdengar beberapa hari belakangan. Pak RT pun meminta warga yang terdaftar untuk bersiap bila sewaktu-waktu diminta hadir di balai desa. Namun, sungguh sial nasib Uyun. Sementara banyak orang telah menerima surat undangan, Pak RT datang membawa kabar duka untuknya.
“Maaf, Yun. Saya hanya bertugas mendaftar. Nama kamu sudah saya masukkan, tapi enggak tahu kenapa enggak ada undangan buat kamu. Bukan cuma kamu, kok, yang enggak dapat, Yun,” jelasnya panjang lebar.
Bayangan sang suami menari-nari di pelupuk mata. Uyun tak henti-henti merapal namanya di sela isak tangis. Bahkan sampai ia tertidur karena terlalu lama meratap ia masih mengigaukannya.
“Kak Mus, Kak Mus ….”
***
Ia merunduk menyusuri larik-larik pohon tebu. Kedua tangannya menyibak daun-daun panjang yang entah mengapa kali ini terasa lebih tajam menggores-gores kulit. Uyun terus berjalan menuju tempat di mana mereka telah sepakat. Hingga tampak di hadapannya, seekor serigala lapar menyeringai. Air liur menetes-netes dari sela-sela taringnya.
Perempuan itu menghentikan langkah. Keraguan kembali merayapi hatinya.
“Kemarilah, Yun!” perintahnya.
Uyun menyeret langkah. Semakin pendek jarak antara ia dan binatang itu, kaki-kakinya terasa semakin berat.
Jauh di atas sana, langit bermuram durja. Awan-awan kelabu berarak ke arah barat, seolah sang suryalah yang memanggil mereka. Ia mungkin tak tega melihat kemalangan demi kemalangan menimpa seorang anak manusia, lalu memilih menyembunyikan cahayanya di balik mega-mega.
Senja datang sedikit lebih cepat.
Pun angin menyapa pohon-pohon tebu dan daun-daunnya. Mereka lalu berisik berbisik-bisik. Entah mengutuki kebejatan Mandor Harso yang sedang berkuasa atas tubuh pasrah Uyun atau mungkin meratapi kemalangan si perempuan. Mungkin juga, alam sedang berdoa pada penciptanya.
Mandor Harso melenguh lalu merubuh, Uyun bergeming seolah mati, sedangkan di atas mereka langit merintih kemudian mulai menangis. Air matanya menimpa kedua anak manusia yang larut dalam rasa yang berbeda. Tetes hujan itu lalu menyatu dengan air mata si perempuan yang tak berdaya, juga membasuh jejak-jejak Mandor Harso di setiap jengkal tubuh malangnya. Namun, Uyun tetap akan merasa kotor untuk selamanya.
Secepat kilat Mandor Harso berdiri, memunguti pakaian, lalu mengenakannya serampangan. Ia menarik dompet dari saku celana, dan seperti janji yang selalu ia tawarkan, lelaki itu mengeluarkan berlembar-lembar uang kertas berwarna merah, lalu melemparkannya ke dada Uyun yang terbuka. Kemudian ia melesat pergi tanpa sudi menoleh lagi.
Medina Alexandria. Bidan yang suka menulis.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata