Bukan Tini tapi Tono

Bukan Tini tapi Tono

Bukan Tini tapi Tono

Writing block menyerang Tini akhir-akhir ini. Makanya  Tini ngomong ke tembok sejak ibunya pergi arisan beberapa waktu lalu. Hal ini memang gak lazim untuk ukuran  manusia waras. Tapi bakal lazim-lazim aja jika yang melakukannya adalah Tini. Kalau dialog sudah tercipta, jauh lebih gampang menuliskannya, itulah alasan Tini. Selain itu Tini juga merasakan kenyamanan ketika bicara ke tembok. Makanya Tini jadi begini.

Gak lama setelah mengalami masa ketidakwarasan itu, Tini jadi gelisah. Sesuatu yang ingin keluar, tapi gak segera dikeluarkan itu memang bikin gelisah. Sebentar-sebentar ke dapur, balik lagi ke kamarnya, lalu duduk di depan laptopnya yang sering mati sendiri kalau kelamaan menyala, terus balik lagi ke dapur yang mana sayuran mentah telah berjejeran di meja. Lama-lama aktivitas ini menyita perhatian dan pusat konsentrasinya juga.

Hukum sebab akibat itu berawal dari sini: Sebelum pergi ke tempat arisan, ibu berpesan padanya untuk memasak sayur asem. Tapi baru saja sayuran itu dipotong-potong, kepalanya dipenuhi oleh ide-ide cerita. Tini harus segera menuangkan ide itu sebelum lenyap. Tini harus segera menjamah laptopnya. Tapi….

Bip, bip….

SMS dari ibunya muncul lagi. “Tin, udah dimasak sayurnya? Sebentar lagi bapakmu pulang dan pasti mau makan.”

Tini langsung panik. Jadilah Tini bolak-balik ke dapur dan kamar. Tini udah kayak Bidan yang kepanikan karena pasiennya mau melahirkan. Tini mondar-mandir, yang ujung-ujungnya bikin Tini bingung mau mulai dari mana.

Tini jadi kalap setelah salah membawa charger laptop ke dapur, dan malah membawa telenan ke dalam kamar. Terus, Tini juga tiba-tiba menaruh melinjo di atas laptopnya. Tini menepok jidatnya berulang kali.

Terkadang sesuatu yang tak terduga itu sering kali terjadi. Jadi begini, saat Tini lagi sibuknya bolak-balik antara kompor dan laptop, Tono meneleponnya.

Darling, jalan-jalan, yuukkk?”

Tini meradang. “Apaaa? Kamu gak lihat aku masak sambil ngetik?”

Tono bingung mendapat dampratan tiba-tiba dari Tini. Ya jelas lah Tono gak lihat Tini lagi ngapain. Lawong Tono cuma bisa denger suaranya doang kok. Tapi setelah mendengar keluhan Tini, Tono pun merasa iba dan berusaha untuk menghibur.

“Wah, kamu hebat ya. Masak sambil ngetik. Gak sekalian sambil mandiin adikmu atau nyetrika sambil betulin genteng gitu? Hehe. Tenang, Darling. Aku akan ke sana bantuin kamu ya. Aku kan jago masak. Kamu terusin aja ngetiknya.”

Tini sedikit lega mendengar niat baik Tono. Tini semakin semangat membuang tetek-bengek yang mengumpul di otaknya menjadi sebuah tulisan indah. Jemarinya gantayangan di keyboard laptop. Namun, tunggu ditunggu, Tono gak muncul juga. Tini kesal luar bisaa. Tini kirim SMS ke nomor Tono bertubi-tubi.

“Kartonooo, kamu di mana”

“Kartonooo, katanya mau bantuiiiinn?”

“Pasti kamu lagi main karet gelang sama cewek-cewek tetanggamu itu kan? Kartonoooo….

Baru saja pesan itu terkirim, panggilan masuk dari nomor Tono pun nongol.

“Wew. Pedes banget tuh omongan. Udah kayak sambel terasi buatan tanteku  aja,”  kata Tono.

“Aku udah di depan pintu rumah kamu nih. Buruan bukain pintu gih!”

Tini jadi gak enak sudah menuduh Tono yang enggak-enggak.

***

Bakalan kelewatan banget kalau Tini membiarkan Tono masak sendirian di dapur. Makanya dengan pertimbangan yang cukup matang, Tini memutuskan untuk menemani Tono. Tini membawa laptop ke dapur. Lebih tepatnya Tini mengetik di dapur.

“Kita udah berasa suami isteri ya, Darling!” Tono malah mengkhayal.

Tini tersentak mendadak. “Waduh, palakmu bentol? Suami isteri …, kayak apa aja.”

“Laki-laki dan perempuanyang tinggal bersama apa dong namanya kalau bukan suami-isteri?” ujar Tono mengerjapkan matanya tanpa merasa bersalah.

“Seharusnya yang jadi pertanyaan itu kamu bisa masak apa enggak, gitu! Udah buruan deh masaknya. Keburu bapakku pulang juga!” Akhirnya Tini meluapkan kekesalan hatinya.

“Weits, nyantai dong sayaaang. Serahkan saja semua ini kepada Kartono. Aku mah udah lama terjun ke dunia masak-memasak begini. Apalagi memasak cintaku padamu, Darling!”

“Idih, ngegombal siang-siang bolong. Aku jadi yakin nih, pasti masakan kamu kali ini bakalan enak, deh. Orang ngeliatin muka kamu aja udah enak gitu kok. Apalagi nyicipin masakannya, kan?”

Tono langsung besar kepala. “Oh, ya iyalah. Kartono gitu loh! Eh yang barusan itu kamu ngegombalin aku ya?”

“Emang cuman kamu doang yang bisa ngegombal? Aku juga bisa kali, Coy. Ini kan jamannya emansipasi.

Dua sejoli yang namanya hanya dibedakan dengan huruf vokal  ini memang cukup lihai dalam hal saling menggombal.

Tiba saat ibu dan bapaknya Tini pulang, Tono sudah balik ke rumahnya. Tini masih berkutat dengan laptopnya sambil sesekali masih ngomong ke tembok.

Masakan udah mateng. Tini udah bisa anteng. Bapaknya sempat bilang. “Tumben masakan kamu enak, Tin!”

Tini hanya tersenyum simpul. Dalam hati Tini memekik.

Itu yang masak Tono, Pak, bukan Tini!(*)

Hadi Kurniawan, pengarang buku Long Distance Relationsick yang punya mimpi bisa menulis dongeng atau cerita anak. Paling suka kalo sudah nyium aroma kopi. Dan, bisa menghabiskan bergelas-gelas kopi hitam saat lagi edan-edannya.

Blog www.hadikurniawan.com, BBM : D37F371A.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply