Bara

Bara

Bara
Oleh :
Nur Khotimah

Sepanjang perjalanan, lelaki di sampingku itu terus diam. Mungkin dalam hatinya sedang mencemaskan apa yang akan terjadi nanti, saat aku bertemu dengan wanita itu. Wajarlah … jangankan dia, aku pun tak tahu apa yang akan aku perbuat nanti saat melihat wajah sundal itu. Sering kali aku membayangkan bisa meludahi wajahnya yang munafik, atau minimal menjambak rambutnya, merontokkannya, kalau perlu hanya menyisakan batok kepalanya saja, yang penting aku dapat meluapkan rasa kesal, sakit hati, dan kecewaku.

Ya, aku kecewa. Sangat-sangat kecewa hingga memilih untuk tak mau melihat wajahnya lagi sejak hari itu.

Ya, hari itu, azan Magrib baru saja berkumandang saat mendung menggelayut di langit Jakarta. Aku tergesa-gesa turun dari ojek seraya menggendong Nadia, juga tangan kanan menenteng kardus, di depan sebuah rumah kontrakan mungil berderet empat pintu di pinggiran Kota Jakarta. Aku harus segera masuk, kalau tidak, aku bisa kehujanan, karena titik-titik air sudah mulai berjatuhan. Sebentar lagi pasti hujan lebat.

Semua tertutup, termasuk pintu kontrakan Mas Jono, suamiku. Lampu juga belum dinyalakan. Bagus dia belum pulang kerja, aku memang sengaja tak mengabarinya terlebih dahulu perihal kedatanganku. Niat hati ingin memberinya kejutan.

 “Duduk dulu sini, ya, Nak, Mama mau buka pintu,” ujarku, seraya menurunkan Nadia dari gendongan. Pundak rasanya sudah pegal setelah seharian menempuh perjalanan Cilacap-Jakarta. Nadia saja sudah berat, belum lagi harus menenteng kardus berisi oleh-oleh untuk Mas Jono. Bocah yang baru bisa duduk itu hanya pasrah tergeletak di ubin yang dingin dan berdebu.

Aku merogoh kantong celana untuk mengambil kunci cadangan. Dapat! Saat hendak memasukkan anak kunci, aku baru menyadari ternyata pintu terkunci dari dalam. Ada anak kunci tergantung di sana. Mungkinkah Mas Jono sudah di rumah?

Aku mengetuk tanpa bersuara, sengaja. Berharap Mas Jono akan keluar dan terkejut, dan menyambut bahagia kedatanganku. Namun hingga tiga kali ketukan, tetap tak ada jawaban dari dalam. Lama, tak jua ada jawaban, aku menyandarkan badan pada kusen jendela yang bersebelahan dengan pintu, daun jendela itu bergoyang, rupanya belum terkunci dengan benar. Aku mencoba membukanya, bisa. Kemudian kujulurkan tangan ke dalam dan membuka kunci pintu, terbuka.

Kontrakan itu terdiri dari tiga ruang, ruang paling depan kosong melompong, hanya berisi rak kayu kecil, di  atasnya bertengger TV tabung jadul berukuran 21 inci, juga sebuah dispenser air minum yang masih menyala, pertanda Mas Jono ada di rumah—dia selalu mematikannya jika hendak pergi. Ruang tengah ada lemari baju dan kasur lantai untuk tidur, dan paling belakang dapur sekaligus kamar mandi. Aku begitu paham posisi-posisi barang-barang di sini. Tiga tahun kami tinggal bersama, sebelum akhirnya aku memutuskan pulang kampung saat hendak melahirkan, tujuh bulan lalu.

Setelah pintu terbuka, aku segera masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar tengah, kemudian menekan sakelar yang berada di sisi kanan ruangan.

Suamiku terkejut dengan silau cahaya, dan juga mungkin karena ada aku di depannya. Namun aku lebih terkejut, pemandangan di depanku sungguh menjijikkan, karena di sana, di samping tubuh Mas Jono, di atas kasur lantai tipis berwarna biru kumal, yang dulu adalah peraduan terindah untukku dan Mas Jono, ada Dewi, sepupuku, dalam keadaan tanpa busana, seperti Mas Jono.

“Anjing, apa yang kalian lakukan?” tanyaku dengan suara bergetar. Kedua tanganku mengepal, badanku gemetar, bahkan aku bisa mendengar suara gemeretak gigi-gigiku.

“Yan ….“ Mas Jono duduk dan mencoba menjelaskan. Lelaki yang sudah mengawiniku itu telanjang bulat, burungnya menggantung lemas, membuatku semakin berpikiran buruk sehingga kepalaku terasa mendidih.

“Apa? Coba jelaskan, Mas.” Pandanganku sudah buram oleh genangan air mata yang sebentar lagi tertumpah.

“Kita nggak ngapa-ngapain, kok, Yan,” ujar Dewi seraya bangkit, lantas memunguti pakaiannya yang berceceran di lantai dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya berusaha menutupi dadanya. Dasar bodoh, percuma, karena bahkan aku sudah melihat selangkangannya yang hitam tadi. Rambut perempuan itu awut-awutan. Dia juga tampak gemetar dan ketakutan, sedangkan lelakiku, seperti kerbau dungu di tempatnya.

“Pergi kamu dari sini, Jalang!”

“Tapi, Yan—“

“Pergi!!” Aku menunjuk pintu keluar. Namun bukannya pergi, perempuan itu malah bersimpuh di kakiku, kemudian disusul oleh Mas Jono. Tubuh telanjang Dewi memeluk kakiku, aku bisa merasakan kenyal dadanya menempel pada betisku, membuatku semakin muak dan ingin rasanya menendangnya jauh-jauh, tapi tak kulakukan.

“Kemasi pakaianmu, terus pergi. Jangan sampai aku semakin marah, teriak-teriak, dan berita ini sampai ke orangtua kita,” ujarku geram.

“Jangan, Yan … jangan bilang-bilang ke Ibu, Ibu lagi sakit …,” rengeknya. Mengingatkanku pada Ibu Ani, perempuan yang sudah kuanggap sebagai ibu, yang kini memang tengah terbaring sakit karena stroke menyerang.

“Pergilah, jangan pernah datang di hidupku lagi, apalagi di rumah tanggaku.” Suaraku tercekat.

“Yan … kita masih saudara, maafin aku ….” Perempuan itu tertunduk seraya memeluk bajunya.

“Sudah bukan. Pergi!”

Dan kini, malah aku yang ke sana, meski bukan bertujuan untuk menemuinya, tetapi sudah pasti bertemu dengannya. Ibunya, Ibu Ani, yang sekaligus kakak dari ibuku, yang juga merawatku sejak bayi—aku piatu, ibu meninggal saat melahirkanku—berpulang setelah mencoba melawan penyakit yang menderanya.

Aku pulang, bukan keputusan yang gampang. Bolak-balik aku memikirkannya. Dua tahun sudah mencoba bertahan dengan luka menganga, dengan rasa benci setengah mati terhadap Mas Jono, namun bertahan karena ada Nadia. Aku tak mau bocah itu merasakan tak punya orangtua lengkap sepertiku. Dua tahun mencoba memaafkan kelakuan Mas Jono, yang katanya khilaf. Dua tahun hidup dibayang-bayangi wajah Dewi dengan selangkangan hitamnya. Memuakkan.

“Mama, rumah Nenek masih jauh?” tanya Nadia, membuyarkan bayang-bayang masa lalu.

“Masih, Sayang. Bobo lagi aja, ya,” ujarku seraya mendekapnya lagi. Namun ternyata anak itu lebih memilih berpindah ke pangkuan ayahnya, antusias melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalan tol melalui jendela kaca.

Setelah hampir dua belas jam menempuh perjalanan, kami sampai di rumah Ibu Ani. Rasanya aku enggan masuk ke rumah itu, karena pasti Dewi sudah ada di sana lebih dulu, tapi aku ingin melihat wajah Ibu Ani untuk terakhir kalinya.

Jenazah Ibu Ani diletakkan di ruang tengah, rencananya akan dikuburkan esok hari setelah semua anak-anaknya datang. Semua anggota keluarga mengerubungi. Aku sengaja tak menyalami mereka, daripada nanti aku menjadi bahan pertanyaan karena tak bersalaman dengan Dewi.

Aku menangis, terisak menangis memeluk tubuh kaku itu. Menangisi kepergiannya, menangisi kenangan manis yang pernah tercipta, juga menangisi luka hati karena anaknya.

“Maafkan Yanti, Bu,” lirihku.

Setelah membacakan beberapa doa pendek sebisanya, aku bangkit keluar. Menemui Mas Jono yang sedang mengasuh Nadia di halaman. Pria itu juga seperti salah tingkah, mungkin karena ada Dewi di dalam sana. Dan perempuan itu, beberapa kali tertangkap sedang memperhatikanku, kemudian melengos pura-pura tak melihat saat aku menatapnya.

“Sudah, Yan, sampai kapan kayak gini terus?” Tiba-tiba Mas Jono bersuara. “Dia kan juga udah minta maaf, kami udah akuin kami salah, kamu jangan se—“

“Diam kamu, Mas!”

Pria itu langsung diam, kemudian mengambil dua kursi, untukku dan Nadia, sedangkan dia tetap berdiri di sampingku. Aku tak banyak bicara, sibuk menata emosi. Jangankan melihat Dewi, melihat bayangannya saja sudah membuat darahku menggelegak.

Aku mengambil air mineral, menenggaknya hampir setengah botol, berharap dinginnya bisa menetralkan suasana hati yang sedari tadi menggelegak. Tiba-tiba, kurasakan seseorang memelukku dari belakang, sambil berbisik, “Yan, maafkan Dewi.”

Menyadari siapa pemilik suara, sontak aku menarik tangan yang melingkar di leher itu, mengibaskannya dengan kasar. Tubuhku bergidik. Rasanya begitu jijik saat menyadari kulit kami bersentuhan.

 

Cikarang, 31 Agustus 2020.

Nur Khotimah, ibu rumah tangga biasa yang ingin menjadi luar biasa.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply