Sahabat Maemunah
Oleh : Freky Mudjiono
Di depan salah satu kios penjual burung yang terlihat lebih ramai daripada kios lainnya, Maemunah tegak diam bersama sahabatnya. Ia seolah tidak terusik oleh suara bising dari aneka burung, ayam, dan anak itik yang dijual di sana. Demikian juga dengan sang sahabat yang sepertinya siap sedia menemani, apa pun yang ingin Maemunah lakukan.
Aroma kotoran unggas menguap dari saluran got yang sepertinya tidak mengalir, juga terasa menyengat hidung orang yang lalu-lalang. Namun, Maemunah, wanita muda yang berpenampilan sembarang itu, sama sekali tidak terganggu. Ia asyik memperhatikan tingkah tiga pria yang tengah berbincang di depan sebuah kandang besi berisi seekor burung kecil berwarna kuning.
Burung itu tidak seperti Maemunah yang bersikap tenang, ia bergerak lincah di dalam kandang seolah tengah mencari celah untuk keluar. Namun, saat ini, Maemunah tidak tertarik pada tingkah burung itu. Ia mencurahkan perhatiannya pada para pria yang sesekali menaikkan intonasi suara mereka tatkala berbincang.
Apakah mereka akan bertengkar, atau tidak? Maemunah bertanya-tanya dalam hati sambil memperhatikan mimik muka para pria itu dengan saksama. Ia sedikit bingung dengan ekspresi mereka yang sama sekali tidak terlihat sedang marah. Senyum lebar menghiasi wajah mereka. Padahal mereka terlihat sahut-menyahut, tidak mau kalah saat berbicara. Maemunah sungguh menantikan urat-urat menonjol di wajah salah satu dari mereka, disertai dengan kulit wajah yang memerah dan kedua mata yang melotot seakan bola mata mereka akan keluar sepenuhnya, sebagaimana yang dulu sering dilihat Maemunah di wajah Bapak saat beberapa anak mengejeknya.
Namun, yang dinanti Maemunah tidak juga terwujud.
Pria yang paling gendut di antara ketiga pria itu tiba-tiba mengalihkan pandangannya kepada Maemunah. Keningnya berkerut, dan kedua matanya menyipit. Sadar tengah diperhatikan, Maemunah memberikan seringai terbaik yang ia miliki pada pria tersebut.
“Ayolah, kita pergi saja.” Sahabat Maemunah tiba-tiba bersuara setelah sedari tadi hanya diam.
Maemunah melihat sang sahabat, lalu menggeleng cepat. Ia juga meletakkan telunjuknya dengan ujung kuku yang menghitam di bibir. “Sssttt … jangan berisik,” ucap Maemunah dengan wajah gusar.
Dari ekor matanya, Maemunah bisa melihat pria bertubuh gendut yang tadi melihatnya telah kembali memalingkan wajah. Tidak lagi memberikan perhatian.
Maemunah menunduk. Tanpa sadar, jemarinya bergerak memilin-milin ujung kaus usang yang telah ia kenakan selama beberapa hari ini. Gelisah. Rasa yang tidak ia sukai, tiba-tiba hadir memenuhi rongga dadanya. Maemunah tidak tahu, bagaimana cara mengenyahkan perasaan tidak menyenangkan itu. Ia lalu mengentak-entakkan kakinya, kesal.
“Maafkan aku ….” Sang sahabat terlihat khawatir dengan tingkah Maemunah.
Maemunah semakin kuat mengentakkan kakinya. Kedua buah dadanya sampai terlihat ikut bergoyang di balik kausnya.
Sahabat Maemunah jelas semakin khawatir. Meskipun penampilan Maemunah kotor dan serampangan, tubuh wanita berusia sekitar dua puluh limaan itu tetaplah menyimpan keindahan tersendiri bagi otak-otak lelaki liar.
“Tenanglah Mae, tenang,” ujar sang sahabat berkali-kali.
“Bapak! Aku mau Bapak!” Maemunah membalas dengan teriakan. Suara Maemunah melengking, sehingga si pria bertubuh gendut kembali menatapnya heran.
“Ada apa dengan gadis itu?” tanya pria bertubuh gendut itu pada lawan bicaranya.
Mata Maemunah mengerjap. Di sela-sela pikirannya ada sebuah kesadaran, bahwa pria gendut tadi kembali memperhatikannya. Seketika ia merasa senang. Rasa tidak enak di hatinya sirna begitu saja.
“Ayolah kita pulang, Mae,” ajak sahabatnya. Meski Maemunah telah bersikap tenang, ia masih merasa khawatir.
“Tidak mau.” Maemunah menjawab sambil mengulas senyum manis kepada pria bertubuh gendut.
“Hey! Sana … pergi sana!” Tiba-tiba seorang pria muncul dari dalam kios sambil mengibas-ngibaskan tangannya di hadapan Maemunah.
Maemunah hanya tegak memandang sang pria yang urat-urat di wajahnya menonjol, dengan mata melotot seolah bola matanya hendak keluar. Serupa Bapak. Maemunah merasa gembira. Senyumnya melebar. Rindu di hatinya seakan telah terobati.
“Dasar gemblung!” maki sang pria sambil berkacak pinggang.
“Cewek stres itu, ya, Bang?” Tiba-tiba terdengar celetukan pria bertubuh gendut.
“Iya. Dulu bapaknya sering ke sini,” sahut seorang wanita paruh baya dengan rambut yang dikuncir sembarangan. Ia lalu menghampiri Maemunah dan mengangsurkan sebungkus jajanan anak-anak ke hadapan gadis itu.
Maemunah mengambil jajanan itu dengan segera, lalu membuka isinya.
“Jangan main ke sini sendirian. Pulang, ya?” bujuk wanita paruh baya pada Maemunah.
Maemunah menggeleng. Ia menunjuk kepada sahabat yang berdiri di sampingnya. Sang sahabat hanya bisa tersenyum getir. Wanita paruh baya memberikan ekspresi bingung. Tidak mengerti apa yang dimaksud Maemunah.
“Ke mana keluarganya, kok orang stres dibiarkan jalan-jalan sendirian?” Si pria bertubuh gendut melemparkan pertanyaan dengan pandangan menyusuri tubuh Maemunah dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Tidak tahu juga. Dengar kabar, bapaknya sudah meninggal. Sejak itu, gadis ini bisa dibilang tidak terurus. Makin lama stresnya makin parah.” Wanita paruh baya menghela napas, lalu berbalik masuk ke dalam kios.
“Ayo, kita pulang.” Sahabat Maemunah kembali berusaha membujuk gadis itu.
Syukurlah, Maemunah mengangguk, dengan gembira mengikuti langkah kaki sang sahabat. Sepanjang jalan, Maemunah berceloteh riang pada sahabatnya. Ia terlihat tidak peduli pada pandangan aneh orang-orang.
“Hei, kamu suka ini?” Di sebuah lorong yang sepi, pria bertubuh gendut yang tadi sempat memperhatikannya tiba-tiba telah muncul di sisi Maemunah.
Maemunah sedikit terperanjat, tapi kemudian matanya berbinar melihat bungkus jajanan yang disodorkan pria itu.
Pria bertubuh gendut itu meraih telapak tangan Maemunah dan meletakkan makanan yang ia bawa. Maemunah tidak menolak. Ia malah tersenyum senang.
“Kenapa jalan sendirian?” Pria bertubuh gendut bertanya lembut.
Maemunah menggeleng, ia menunjuk ke arah sahabatnya. Lagi-lagi sang sahabat hanya bisa tersenyum getir.
Sebagaimana wanita paruh baya di depan kios tadi, pria bertubuh gendut juga terlihat tidak mengerti mengapa Maemunah menunjuk ruang kosong di sisinya. Mungkin begitu pula halnya dengan orang-orang yang melihat Maemunah mengoceh sendirian di sepanjang jalan.
“Kamu mau ketemu Bapak?” Setelah terdiam beberapa lama, pria bertubuh gendut kembali berbicara.
Maemunah berhenti mengunyah jajanan. “Mau!” Ia menjawab cepat disebabkan kerinduannya.
“Tapi … bajumu kotor. Kita ganti dulu, ya? Nanti Bapak marah,” ucap sang pria lagi.
“Bapak tidak marah. Anak-anak itu yang nakal. Bapak hanya mau mereka tidak mengganggu Mae.” Bibir Mae menggumamkan beberapa kalimat, seolah telah hapal di luar kepala. “Bapak sayang Mae,” lanjutnya lagi sembari menyunggingkan senyum.
“Iya, tapi bajumu kotor. Kita ganti dengan yang bagus. Yang lebih cantik,” bujuk sang pria gendut.
Maemunah melihat ke arah pakaiannya. Menarik-narik kaus usangnya di hadapan sahabatnya yang hanya diam sedari tadi. “Ini kotor?” tanyanya kepada sang sahabat dengan ekspresi lugu.
“Tidak, itu tidak kotor!” sergah sahabat Maemunah. Ia memandang raut wajah polos Maemunah dengan khawatir. Di hadapannya jelas terlihat, pria gendut itu kini menyeringai seolah akan segera mendapatkan mangsa.
“Tentu saja, itu kotor.” Pria gendut berusaha meyakinkan.
“Ini tidak kotor ….” Maemunah berucap ragu.
“Ini kotor. Lihat ini … ini ….” Pria bertubuh gendut menunjuk noda-noda di pakaian Maemunah.
Maemunah membentuk huruf O dengan bibirnya.
“Ayo kita ganti di sana. Setelah itu kita bertemu dengan Bapak.” Pria bertubuh gendut menunjuk ke arah sebuah rumah kosong yang hampir tertutupi semak belukar. Dari tempat mereka berdri, hanya pagar yang sedikit terbuka dan bagian pintunya yang terlihat.
Maemunah mengangguk. Dengan berlari kecil, ia mengikuti langkah pria gendut.
Sesekali dengan mata berbinar ia menoleh ke belakang di mana sahabatnya hanya diam membisu dengan tatapan getir.
“Ayo, ikut!” Akhirnya Maemunah berkali-kali memanggil sang sahabat dengan riang. Namun, setiap kali itu pula pria gendut menarik lengan Maemunah agar berjalan lebih cepat mengikuti langkahnya.
Sang sahabat masih berdiri diam di tempatnya. Bergeming. Dan tetap bergeming ketika di jalanan sepi itu, dari salah satu rumah kosong yang ada di sana, Maemunah berteriak memanggil bapaknya, dengan seorang pria gendut yang mulai melucuti pakaiannya. (*)
Medan, 11 September 2020
Freky Mudjiono, seorang wanita yang menyukai dunia literasi—dunia yang penuh misteri.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata