Ibu yang Berbeda

Ibu yang Berbeda

Ibu yang Berbeda
Oleh: Musyrifatun

Sudah lewat tengah malam, tapi tubuhku belum juga mendapatkan haknya untuk beristirahat. Bagaimana aku hendak terlelap? jika sebentar-sebentar saja Rania memanggilku. Anak itu sepertinya takut aku tertidur dan membiarkan dia terjaga seorang diri, atau sekedar ingin aku mengusap keningnya yang panas.

Saat-saat seperti ini, ingin sekali rasanya aku mengabari Ibu yang berada di seberang pulau, untuk membantuku menjaga Rania, tapi tak sampai hati. Aku tak tega jika Ibu sampai kepikiran dengan keadaanku saat ini. Ibu hanya boleh tahu bahwa aku bahagia dan baik-baik saja di sini.

Ingatanku kembali pada puluhan tahun silam, ketika aku masih menjadi gadis kecil seusia Rania. Saat demam, aku tak pernah khawatir akan ditinggal sendirian di dalam kamar, karena ada Ayah, Ibu, Kakek dan Nenek yang bergantian menemaniku. Bahkan, saat malam hari, mereka akan membawaku keluar kamar menuju ruang keluarga yang lebih luas, di sana kami akan tidur bersama-bersama.

Nenek akan membuatkan bubur ayam yang sangat lezat. Juga Ibu, ia akan memanjakanku dengan beraneka buah dan makanan ringan. Sedangkan Kakek dan Ayah, akan bergantian memijit kaki, tangan dan kepalaku.

Sayang, Rania tak mendapat perhatian berlimpah seperti masa kecilku dulu. Bukan, bukan karena dia sudah tidak punya Ayah, Kakek dan Nenek, tapi ….

“Bu, pipis ….” Rania mengguncang bahuku yang baru saja memejamkan mata. Kugendong tubuh kecil Rania di belakang punggung, saat keluar kamar ia melihat ayahnya tertidur pulas di sofa depan televisi.

“Kenapa Ayah tidak tidur di kamar?” tanyanya.

“Karena Ayah besok harus bangun pagi-pagi untuk pergi bekerja.”

Ada kesedihan yang mengusik hatiku saat mengucapkan kalimat itu. Lelaki yang tertidur pulas di sofa itu, tidak pernah tahu bagaimana rasanya tidak tidur semalam suntuk demi menjaga buah hati kami yang sedang sakit atau rewel.

Ketika bayi Rania menangis di malam hari, tak sedikitpun hatinya tergerak untuk menggantikan pundakku yang telah kebas karena terlalu lama menggendong bayi.

Mas Arman bukan sosok yang jahat, bermulut kasar atau suka main tangan. Hanya saja, ia tidak perhatian terhadap hal-hal kecil pada keluarga kami. Ia giat bekerja mengumpulkan pundi-pundi uang untuk kelangsungan hidup kami. Baginya, kebahagiaanku dan Rania cukup hanya dengan uang yang banyak.

Aku pernah mengeluh, tapi keluhanku kalah, terbantahkan oleh ucapan Ibu mertua, bahwa mengurus anak dan segala tetek bengeknya adalah tugas istri, suami sudah capek cari nafkah seharian, jangan ditambah lagi bebannya dengan harus mengurus anak.

Oh, dari sana aku bisa menyimpulkan, bahwa sikap Mas Arman adalah hasil didikan Ibunya yang menganut budaya patriarki.

Saat berkunjung ke rumah mertua, sudah menjadi pemandangan yang biasa, Ayah mertua duduk manis di sofa depan televisi, di hadapannya tersedia secangkir kopi dan aneka macam makanan ringan. Sementara Ibu mertua kerepotan di rumah mengurus segala sesuatunya sendiri.

Aku hanya bisa mengelus dada, pemandangan yang sangat bertolak belakang dengan kebiasaan keluargaku. Kami semua terbiasa melakukan semua pekerjaan rumah bersama-sama. Ibu memasak, Ayah menyapu dan mengepel lantai, sementara aku bertugas mencuci piring dan baju kotor.

“Halo, Mar, Rania belum sehat? Maaf Ibu belum bisa jenguk, toko sedang ramai, sayang kalau ditinggal,” ucap Ibu Mas Arman di seberang telepon.

Meskipun bukan pertama kali, bahkan aku sudah hafal tabiat mereka yang lebih mementingkan tokonya yang sedang ramai dibanding meluangkan waktu sebentar saja untuk menjenguk cucu semata wayangnya. Namun, hatiku tetap jengkel, kemudian membandingkan masa kecilku yang bahagia dengan Rania yang kurang perhatian–selain perhatian dariku.

Sering aku menyumpah dalam hati, suatu saat kelak, jika di antara mereka ada yang jatuh sakit, aku tak mau mengurusnya. Biar saja mereka menggunakan uangnya yang banyak itu untuk mempekerjakan perawat rumah sakit.

Namun, saat pikiran jahat itu berkelebat, di saat yang sama pula bayangan wajah Bapak, Ibu, Kakek dan Nenek yang baik hati menggelayuti benak. Mereka semua tak pernah mengajarkan hal buruk seperti itu. Lalu, saat aku berpikir untuk berlaku jahat kepada orang lain, ada sesuatu dalam diriku yang menolaknya.

Bagaimana mungkin, aku yang dibesarkan penuh perhatian dan kasih sayang, tumbuh menjadi seorang dewasa yang jahat.

Tidak. Aku tidak boleh jahat. Demi Rania, anak itu tak boleh mewarisi tabiat buruk siapapun. (*)

Musyrifatun, seorang perempuan penyuka hujan, bunga, benang, dan pena.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply