Sewaktu Kecil Aku Buta
Oleh: Dyah Diputri
Sewaktu kecil aku buta. Anggap saja seperti itu. Aku tidak bisa melihat warna sinar matahari yang—katanya—beralih dari oranye, kuning, merah, lalu ditelan batas pandangan. Juga tidak bisa melihat air yang semula berwarna bening menjadi biru kehijauan, sehingga dinamakan laut. Di tepinya pun adalah pantai dengan butir-butir pasir beraneka warna, berbeda-beda di setiap bibirnya. Katanya.
Anggap saja aku buta, tidak pasti kapan awalnya, juga tidak pasti kapan berakhirnya. Setiap kali Mbah Uti mengatakan bahwa aku sakit mata, maka detik itu mataku tertutup dan tidak bisa melihat apa-apa. Mbah Uti biasanya mengatakan itu saat aku jatuh ketika berlari kencang, gagal mengantar pesanan kue buatannya ke alamat yang tepat, atau saat peringkat di raporku adalah terbaik ketiga dari bawah, tepatnya dari dua puluh lima siswa.
“Memangnya tidak lihat di jalan ada apa saja? Lubang, kerikil, tanjakan. Itu bisa dilihat dengan mata, kecuali kalau kamu buta.”
Itu salah satu perkataan Mbah Uti yang ia katakan dengan nada lembut. Namun, tatapan matanya fokus mengarah ke gambar motif bunga yang terarsir di tepian kain taplak meja. Lekat ia mengamati, lalu mulai menusukkan jarum dengan pola keluar masuk hingga muncul sulaman satu kelopak bunga.
Aku masih mendengarkan kalimatnya, sampai tiba-tiba aku menjadi buta. Pandanganku memburam lalu berangsur gelap. Gambaran ubin dingin kotak-kotak abu-abu yang tadi masih tertangkap mata, mendadak hilang dari pandangan. Jika sudah begitu, seperti sebelum-sebelumnya, aku akan masuk ke kamar dan menangis sendirian.
“Mbah tulis di catatan tadi, alamat pemesan kuenya nomer tiga belas. Kamu antar ke nomer berapa?”
“Delapan belas, Mbah.”
“Apa kamu sakit mata? Kalau iya, Mbah Uti bawa ke puskesmas besok. Ada banyak obat mata gratis di sana. Mau?”
Lagi. Pada lain kesempatan, beliau mengatakan hal itu saat aku keliru mengantarkan pesanan kue orang. Aku juga tidak paham, kenapa susah sekali membedakan antara angka delapan dan tiga. Mungkin benar kata Mbah Uti, mataku sakit.
Aku mendengkus, bersamaan dengan menggelapnya pandangan, seperti biasanya lepas Mbah Uti bicara. Padahal Mbah Uti tidak memarahiku, malahan perhatiannya berlebih-lebih.
Dasarnya sewaktu kecil aku buta, tidak bisa melihat dunia seperti manusia normal—yang melihat langit gelap bertabur bintang adalah permadani memikat, yang menafsirkan warna-warna bunga sebagai terapi ketenangan hati, yang merefleksikan gambar merah hati sebagai tanda cinta. Aku buta, entah sejak kapan dan kapan akan berakhir.
“Aku sudah berusaha, Mbah. Sehabis membantu Mbah bikin adonan setiap malam, aku masih belajar, kok. Aku menghitung, aku menghafal, aku juga mengulangi bacaan.”
“Terus, kenapa kamu bisa tidak naik kelas? Jangan bilang obat tetes mata dari puskesmas tidak manjur. Apa Mbah Uti perlu membawamu ke rumah sakit, Nduk?”
“Kenapa harus ke sana?”
“Biar mata kamu sembuh.”
Aku bergeming, menyadari semakin Mbah Uti berbicara, maka semakin gelap penglihatanku. Suara Mbah Uti yang terus bergema di kepala semakin keras. Akan tetapi, aku mulai tidak tahu apa yang ia lakukan sekarang. Apa sulamannya sudah selesai satu motif bunga? Apa ia sudah mulai menyulam kelopak bunga yang baru? Atau beliau lebih dulu menyulam ranting dengan metode sulam semut mundur?
Ah, kenapa aku tidak bisa melihat?
Aku terjatuh, merangkak-rangkak sambil meraba-raba jalan hingga sampai di kamar. Jika sebelumnya aku bisa berlari karena masih ada setitik cahaya di antara pekat, kali ini tidak! Gelap sekali.
Sewaktu kecil aku buta. Anggap saja begitu. Aku tidak tahu sejak kapan, dan kapan pula akan berakhir. Namun satu hal yang pasti, aku tidak suka lagi kepada Mbah Uti, kepada ucapan lembutnya, juga caranya yang anggun saat menyulam. Aku tidak suka kue buatan Mbah Uti, aku tidak mau melihat atau mendengar suara perhatian yang ia buat-buat. Aku benci Mbah Uti, semenjak ia mengatakan bahwa anak perempuannya mati bunuh diri karena tidak mendapat restu untuk menikahi ayahku.
Malang, 5 September 2020
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.