Laki-laki yang Kematiannya Tidak Lagi Ditangisi
Oleh : Dhilaziya
Aku kira selepas kusaksikan berulang kali pingsan enam bulan lalu, saat upacara pemakaman suaminya yang meninggal karena TBC, dia akan berubah serupa bunga yang layu: kusam, keriput, lalu rontok ditelan nestapa. Nyatanya tidak. Dia tetap cantik, segar, malah terlihat bahagia dengan potongan tubuh semlohai dan riasan wajah minimalis yang menjadi ciri kesehariannya.
Setelah bertukar sapa dengan tak lupa saling menempelkan pipi, harum wewangian dari tubuhnya masih tersisa di hidungku ketika akhirnya kami memilih duduk bersisian. Itu adalah sore yang riuh saat kami sama-sama mendatangi syukuran khitanan anak temanku, yang ternyata adalah teman sekelas anaknya.
Tentu saja aku ingin tahu kabarnya, perempuan yang ditinggal mati suaminya saat usianya belum lagi mencapai angka tiga puluh, dengan dua anak kecil, jelas menggugah penasaran. Apakah dia baik-baik saja? Masihkah tinggal di rumah suaminya atau kembali ke rumah orangtuanya? Mengingat dia dan almarhum suaminya hanya berbeda beberapa desa saja.
Mbak Mus mengatakan dia tidak pergi ke mana-mana, semua sama seperti biasa, hanya tak lagi ada suaminya. Dia mengatakan itu sembari tersenyum, seolah membicarakan kematian suaminya bukanlah hal yang menyakitkan.
“Bukankah mertuamu kejam sekali?”
Dulu, kami biasa menggosipkan mertuanya, menceritakan betapa menyebalkan perempuan tua yang kami beri stempel “Nenek Lampir”. Hampir semua orang yang mengenal mertua Mbak Mus mengatakan kalau wanita tua itu raja tega. Atau mungkin harus kusebut ratu karena dia perempuan.
Bayangkan saja, dia pernah memaki anak lelakinya yang sekarang sudah almarhum, dengan sebutan tolol, digabungkan dengan nama aneka binatang yang jamak digunakan untuk mengumpat, di depan semua orang yang sedang berbelanja di tokonya. Hanya karena lelaki yang dari wajahnya memang terlihat tidak pintar itu kehilangan dompet beserta seluruh isinya. Terjadi saat Saipul Rahman kelupaan meninggalkan hartanya itu di area wudu masjid. Waktu itu dia sedang berbelanja alat tulis di Yogyakarta, dan bergabung dengan jama’ah salat Jumat di masjid dekat kios langganannya.
Aku harus cepat-cepat membuang muka saat itu, tepat saat Ipul, panggilan akrabnya, tiba-tiba menatapku. Sungguh aku tak tega. Dipermalukan sedahsyat itu oleh ibu kandung di depan teman istrinya, entah seperti apa rasanya. Tapi, kata orang itu belum seberapa. Pria yang jalannya selalu membungkuk, seolah ada saja barang yang harus dia temukan itu, pernah diguyur setengah karung terigu yang sedang ditimbang, hanya karena dia lupa di mana menaruh nota dari supplier rokok. Membuat sales yang rokoknya tengah dibicarakan memilih kabur dari arena. Alasannya juga sama, tak tega.
Entah bagaimana perempuan sekurus mertua Mbak Mus, bisa memiliki level kebengisan setinggi itu. Dia memang selalu judes, kepada setiap pelanggannya juga. Kata-katanya ketus dan tak pernah berbasa-basi. Orang yang pernah melihat senyumnya akan berpikir rembulan lupa waktu, kapan seharusnya muncul, saking ajaibnya. Hanya saja, orang tak berdaya berpindah belanja dari tokonya, sebab harga di mertua Mbak Mus adalah yang termurah dibanding toko di mana pun di dua kecamatan yang bersebelahan. Maka jadilah tokonya rujukan pertama para pengecer, betapa pun makan hati bagi siapa pun setiap kali berbelanja di sana. Kabarnya mertua perempuan Mbak Mus jadi ajaib begitu sejak mendiang suaminya kedapatan berselingkuh ketika Ipul berusia tiga bulan dalam kandungan.
“Sekarang Mak udah beda.”
Ia menaikkan kerudung lantas membuka dua kancing teratas blus yang dikenakannya. Mbak Mus mencoba membuat anaknya berhenti dari menggelatak barang apa saja yang bisa diraihnya. Sepiring lemper sudah hancur terburai dari bungkusnya ketika bocah itu khusyuk menekurinya. Pemilik rumah berulangkali berucap tak apa, namanya juga anak kecil, kepada Mbak Mus yang aku rasa juga sama-sama berbasa-basi. Apa bisa dibilang jika menyangkut anak-anak.
Sambil sesekali menepuk bokong, atau mengelus pipi anaknya yang giras menetek, Mbak Mus bercerita. Mertuanya tak ingin dia pergi dari rumah suaminya. Nenek Sihir itu berubah menjadi peri. Bahkan sekarang dia ikut tinggal menemani menantu dan kedua cucunya. Dari pada tinggal sendiri, biar bisa bantu jaga si Adis jika Mbak Mus harus mandi, misalnya. “Kamu tetap anakku, Mus, dan anak Ipul selamanya cucuku. Jangan pergi, kalian aku yang tanggung.” Begitu kata mertuanya.
Aku merasa heran, kehilangan anak, yang selalu dibilang tak bisa apa-apa dan membuat urusan jadi lebih sulit, bisakah mengubah seseorang begitu drastis?
“Mak dari dulu nggak pernah bermasalah sama aku sebenarnya. Aku selalu diam dan mengiyakan semua kata-katanya. Mak memang selalu marah sama Mas Ipul dan Mas Yusi, kakaknya. Mak takut toko bangkrut kalo ditinggal mati sama Mak. Mak lebih percaya sama aku. Lagi pula Mas Yusi sudah nyaman sebagai PNS ketimbang ngurus toko.”
Mbak Mus tamat SMU dua tahun lebih dulu dariku. Langsung menikah waktu itu. Berita pernikahannya sempat menjadi gunjingan. Mbak Mus muda dan cantik, kulitnya bening, senyum yang yang terlukis dari bibir merona kemerahan miliknya amatlah menarik. Bagaimana bisa dia mau menikah dengan Saipul Rahman, bujang tak lagi muda dengan wajah yang selalu tampak bingung, dan tak berani memandang wajah dengan siapa dia berbincang? Semua orang sampai pada kesimpulan yang seragam: orangtua Ipul kaya, dan keluarga Mus amatlah kekurangan.
Setelah mengatakan bahwa aku turut merasa lega atas perubahan perilaku mertuanya, aku kembali bertanya, apakah Mbak Mus baik-baik saja. Maksudku, apakah masih amat menyakitkan rasanya kehilangan suami, juga bagaimana anak-anak setelah kehilangan bapak.
Sekali lagi, Mbak Mus berkata bahwa semuanya baik. Anak-anak, yang setahuku memang tidak dekat dengan bapaknya, tak pernah menanyakan bapaknya. Sementara Mbak Mus, justru merasa bebannya jauh berkurang.
Bagi yang mengenal Mbak Mus pasti tahu, betapa berat menghadapi suami yang melampiaskan sakit hati atas perilaku ibunya, kepada anaknya. Tampil bagai macan ompong di muka ibunya, Ipul menunjukkan taji di hadapan keluarga kecilnya, semakin parah setelah TBC menggerogoti tubuhnya.
Sulungnya, Aul, telah lama memerlukan sesi terapi dengan psikolog agar tak hanya diam. Gadis sepuluh tahun itu, hanya mau berbicara dengan ibu dan adiknya. Tak ada yang dia percaya selain mereka. Bocah itu telah lama menjadi saksi sekaligus korban kekerasan cakap dari bapaknya, sebagai warisan perilaku dari sang nenek.
Seolah belum cukup, bersama dengan selesainya ujian kenaikan kelas empat, Aul terkena infeksi usus. Harus menjalani pengobatan rutin selama setahun belakangan, sebab ada indikasi sel kanker mencoba tumbuh di dalam ususnya.
Sebelum sama-sama beranjak untuk berpamitan, Mbak Mus berucap, bahwa sungguh, sekarang dia baik-baik saja. Adis semakin gemuk, Aul mulai lebih mudah tersenyum.
“Aku sekarang fokus mengurus toko, dan anak. Ini yang terbaik.”(*)
DZ. 08092020
Dhilaziya, perempuan penyuka sunyi, buku, dan lagu
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata