Di Balik Dada Meira
Oleh: Imas Hanifah N
Aku tidak tahu apa yang sebenar-benarnya tersembunyi di balik dada istriku, Meira. Ia selalu menangis tanpa sebab yang pasti. Tepatnya setiap akhir pekan. Ketika kami berjalan-jalan di taman, duduk berdua saja.
Meira akan menatapku lekat, kemudian butir-butir air yang jernih mulai jatuh satu demi satu dari mata cantiknya. Aku selalu bertanya, “Kenapa?”
“Tidak, aku hanya takut. Aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana jika seseorang sendirian sepanjang hidupnya.”
“Sendirian?”
Meira mengangguk. Aku merasa itu sedikit berlebihan, hingga di detik berikutnya, saat ia mulai menangis tersedu, aku nyaris tak bisa menahan tawa. Namun, sejurus kemudian, aku sakit hati melihatnya.
“Maaf, tapi kamu kenapa? Aku meraih tubuhnya, sambil melihat sekeliling. Bagaimanapun, memeluk pasangan sendiri di depan umum masihlah terasa tak nyaman.
Bagusnya, taman tampak sepi.
Di dalam pelukanku, Meira menangis semakin keras. Sungguh, aku penasaran apa yang ia pikirkan sebenarnya. Apa yang tersembunyi di dadanya, dan apakah itu sangat menyakitkan? Sehingga dengan keras, Meira bahkan memukul dadanya sendiri. Mungkin, untuk meredakan tangisnya.
Aku tidak bicara apa-apa. Hanya memeluknya. Aku tidak akan memaksa atau bertanya. Suatu hari, aku percaya kelak ia akan menceritakan kegelisahannya. Tanpa perlu aku bertanya.
***
Meira adalah perempuan yang ceria sebelumnya. Di awal-awal masa pernikahan kami, ia selalu memberiku banyak hal-hal terduga. Hampir di setiap ulang tahun pernikahan, tak pernah kami melewatkannya dengan biasa-biasa saja.
Pernah di ulang tahun pernikahan keempat, ia memberiku hadiah. Bukan satu atau dua, tapi empat. Banyak sekali.
“Harusnya, aku yang memberimu hadiah-hadiah. Bukan sebaliknya.”
Meira tersenyum. “Tidak, kali ini giliranku. Aku ingin memberimu banyak hadiah sebelum memberimu banyak anak.”
Aku tersenyum dan mencubit pipinya. Gemas sekali. Meira, istriku, pernah seceria itu.
Namun, seperti yang kukatakan, setahun berlalu, ia sudah berbeda. Sekarang Meira berubah. Perempuan itu sering melamun. Setiap aku dan ia berjalan-jalan di akhir pekan, setiap kami duduk sambil menatap pemandangan sore hari, ia akan menangis. Menangis sampai memukul-mukul dadanya sendiri.
Lalu, saat aku bertanya kenapa, maka jawabannya adalah kalimat yang sama seperti sebelumnya. “Tidak apa-apa. Aku hanya takut, aku tidak bisa memikirkan bagaimana jika seseorang sendirian sepanjang hidupnya.”
Kemudian, aku akan memeluk Meira yang tengah menangis itu. Berusaha menenangkannya, dengan mengatakan kalimat-kalimat yang baik.
“Tidak apa-apa, memangnya siapa yang kamu pikirkan?”
Meira menggeleng. “Bukan siapa-siapa.”
Setelah itu, hanya ada hening yang tersisa. Kami hanya akan tenggelam menikmati senja yang entah kenapa, selalu terasa begitu menyedihkan.
Meira, istriku, yang dulu selalu membuat rumah ini diisi dengan tawa dan kebahagiaan, perlahan menghilang. Ia menjadi pemurung dan sering menangis.
Sungguh, lama-lama, suatu ketika aku jadi kesal dan mencoba untuk marah. Akan tetapi, setelah melihat matanya, aku urung.
Aku merasa harus menunggu lagi. Entah sampai kapan. Aku bahkan pernah mengajaknya bertemu dokter, tapi ia tidak mau. Ia sangat tidak mau.
Setiap hari, aku berangkat ke kantor dengan perasaan cemas, takut Meira melakukan hal-hal yang tidak terduga. Aku pikir, kesehatan mentalnya mungkin sedikit terganggu.
Itu kesimpulanku.
Sebulan menjelang kematiannya, Meira semakin kurus. Ya, aku semakin sadar bahwa semakin hari, tubuh istriku itu semakin kecil saja.
“Tidak apa-apa, aku tidak apa-apa.”
Jawabannya membuatku marah sekali. Aku langsung membawanya ke rumah sakit dengan paksa.
Dan di situlah aku tahu. Apa yang selama ini tersembunyi di dadanya. Kesakitan macam apa yang ia rasakan. Ternyata Meira punya penyakit mematikan.
“Maaf, maaf karena nanti kamu akan sendirian. Aku bahkan tidak sempat memberimu seorang anak untuk menemanimu.”
Mendengar itu, aku tak mau bicara. Aku tidak mengerti, aku tidak mengerti kenapa Meira menyembunyikan semua itu dariku. Aku merasa tidak berguna.
Namun, tidak ada waktu bagiku untuk menyesali. Aku merawatnya, aku mencintainya, aku tidak bisa marah berkepanjangan.
Hingga di saat terakhir pun, aku masih sangat mencintainya.
***
Di taman, aku kembali berjalan-jalan setiap akhir pekan. Duduk berdua, bersama istri baruku.
Meira tak perlu cemas tentang seseorang yang akan sendirian sepanjang hidupnya. Karena bagiku, di dunia ini, tidak ada yang akan sanggup hidup demikian.
Tasik, 2020
Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
*gambar: pixabay