Menyerupai Mereka

Menyerupai Mereka

Menyerupai Mereka

Oleh : Rinanda Tesniana

Riana menatapku dan Lindung dengan dingin. Aku yang masih mengenakan seragam, membuang pandangan, kemudian berpura-pura sibuk memeriksa isi kulkas. Riana mengentakkan kaki dan meninggalkanku sendiri.

Mataku beralih pada Lindung, suamiku. Lelaki itu tak peduli. Dia masuk ke kamar, tanpa melihat sedikit pun ke arahku.

Rumah kami memang sepi. Jarang ada percakapan antara aku, Lindung, dan Riana. Kami sibuk dengan urusan masing-masing. Membenarkan alasan lelah dan ingin istirahat untuk menjauh satu sama lain.

Aku jadi ingat, rumahku menyerupai rumah orangtuaku.

***

Dua puluh tahun yang lalu, aku masih ingat semuanya. Ketika Ayah mengantarku ke sekolah, pagi-pagi. Menggunakan Lancer hitam kesayangannya, aku harus bersiap pukul setengah enam pagi. Tiga puluh menit dalam perjalanan, dan kami membisu sepanjang jalan.

Ya, selalu begitu. Aku, Ayah, dan Ibu.

Pagi adalah keramaian satu-satunya yang terjadi di rumah besar milik Ayah. Sejak pukul setengah lima subuh, Ibu telah bersiap. Memasak sarapan dan memasukkan bekal-bekal ke dalam tempatnya.

Ayah dan Ibu sama-sama bekerja hingga sore, dan aku pun terjebak dalam situasi yang sama. Sekolah hingga pukul satu, dan lanjut les hingga hari hampir usai.

Aku tidak tahu apakah Ibu dan Ayah bahagia dengan pernikahannya, yang jelas selain pagi, tak akan ada perbincangan lagi di antara kami. Ibu dan Ayah sibuk dengan dirinya masing-masing.

Aku membenci orangtuaku. Tepatnya, aku membenci pernikahan mereka yang tanpa kata. Namun, aku paling membenci pagi. Saat bertiga di dalam Lancer hitam itu, kami menghabiskan tiga puluh menit dalam diam. Benar-benar diam.

Ibu yang turun pertama, tidak mengucapkan apa pun pada Ayah. Kemudian, aku yang diturunkan di sekolah. Meniru Ibu, aku juga turun begitu saja, meninggalkan Ayah bergeming di balik setir mobil, tanpa memandang sedikit pun ke arahku.

Dalam hati, aku selalu mengutuk kedua orangtuaku. Mengapa mereka tak seperti orangtua Nona, yang terlihat saling mencintai. Atau seperti mama dan papa Hani, yang bekerja sama membesarkan usaha milik keluarga. Aku sering melihat mereka berdiskusi mengenai usaha mereka. Seru dan hangat.

Harusnya, Ayah dan Ibu berpisah saja, agar tak memberi rasa trauma ke dalam batinku. Ya, melihat kehidupan Ayah dan Ibu, rasanya aku tak ingin menikah. Untuk apa menikah jika akhirnya menghabiskan hidup dalam kesunyian. Lelaki yang awalnya begitu menyenangkan, setelah menikah hanya sibuk dengan dirinya sendiri.

Aku menyimpulkan semua itu dari pernikahan Ayah dan Ibu. Ibu memang tak banyak bicara, tapi dia menyelesaikan semua pekerjaan seorang diri. Rumah kami rapi, makanan enak selalu tersedia di atas meja makan, berikut camilan. Ibu melakukan semua itu dengan tangannya sendiri, padahal dia juga bekerja. Ibu seolah terobsesi dengan semua kesempurnaan itu untuk menutup rasa sepi yang lahir karena sikap Ayah.

Ketika sepuluh tahun lalu aku memutuskan menerima Lindung sebagai suami, aku memiliki alasan yang kuat. Sebab, selama tiga tahun berhubungan, Lindung tidak menunjukkan bahwa ia serupa Ayah. Dia senang mengajakku berbicara, dia suka mengajakku jalan-jalan, dan dia selalu melakukan banyak hal untuk menyenangkanku, berbeda dengan Ayah.

Sekarang, setelah ratusan malam yang aku habiskan bersama Lindung, aku seperti mengalami déjà vu. Ya, aku seolah mengulangi pernikahan Ayah dan Ibu.

***

Hari baru saja dimulai saat aku dan keluargaku sudah berada di jalan raya. Aku duduk di sebelah lelaki yang sedang fokus menyetir dengan wajah datar. Hidup dengan Lindung, seperti mengulangi hidup Ayah dan Ibu dulu.

Pukul setengah lima pagi, aku bangun. Memasak untuk sarapan dan menyiapkan bekal untuk kami. Kemudian kami berangkat. Selalu begitu.

Aku, Lindung, dan Riana. Perjalanan enam puluh menit itu, berlangsung sama setiap hari. Kami diam, tak saling berbicara. Sesekali Riana menceritakan tentang sekolahnya. Aku respons gadisku sebaik-baiknya, sementara Lindung, menyetir dalam bisu.

Sering kali, aku lihat wajah Riana mengeras. Persis aku dulu. Saat melihat Ayah dan Ibu tidak saling sapa. Aku akan menjadikan anakku seperti aku. Penuh amarah dan rasa tidak puas terhadap orangtuanya.

Bukankah, semua anak ingin melihat kedua orangtua mereka saling mencintai?

Aku tidak membenci Lindung, dia pun sama. Kami hanya terlalu lelah dengan rutinitas. Iya, mungkin beginilah yang Ayah dan Ibu rasakan dulu. Rutinitas. Dan itu membosankan.

Pulang kerja membawa tubuh yang sangat lelah, sehingga aku dan Lindung memutuskan untuk beristirahat saja, daripada mengobrol entah tentang apa. Tak ada lagi jalan-jalan, tak ada lagi obrolan hangat, tak ada lagi Lindung yang berbeda dengan Ayah. Mereka telah sama.

Pagi ini, aku melirik Riana yang duduk di kursi bagian belakang. Wajah gadisku itu, berpaling ke arah jendela. Entah menatap apa.

Aku tidak ingin dia menjadi aku. Aku yang harus memulainya. Ya, aku.

“Nanti malam dinner, yuk, Pa,” ajakku pada Lindung.

Aku melihat ke arah belakang. Mata Riana membesar. Senyum semringah terukir di bibir tipisnya.

Dinner di mana?” tanya Lindung. Suaranya tidak kaku. Apa dia memang telah lama menunggu momen ini?

Aku ingat, tak hanya sekali-dua kali Lindung mengajakku piknik, ke luar kota, atau makan malam di warung tenda pinggir jalan. Selalu aku mengelak, dengan alasan lelah.

Entah sejak kapan, lelaki itu tak pernah mengajakku lagi, tak pernah meminta apa pun lagi dan tak banyak berbicara lagi.

“Di warung Sunda aja,” celetuk Riana.

Aku tersenyum sembari mengangguk. Mataku beralih ke arah Lindung. Lelaki itu tersenyum tipis, walaupun matanya tak menatapku.

Semudah ini ternyata. Andai Ibu dulu berlaku sama. Mungkin, hidup Ibu tidak akan sepi hingga akhir. (*)

Kota Istana, awal September 2020

Rinanda Tesniana, manusia biasa.

Leave a Reply