Mayat dalam Sumur (Episode 5)
Oleh : Zalfa Jaudah Jahro
“Sekarang, Nida akan tinggal di sini, Sayang,” ujar Mas Arthur seraya memegang jemari Yilya.
Kedatangan Nida—adik Mas Arthur—tentu saja membuat Yilya merasa heran dan tidak nyaman. Ditambah, perkataan Mas Arthur sama sekali tidak memberikan tanda mengenai berapa lama adiknya akan tinggal bersamanya. Bukan tidak menyukai, hanya saja, Yilya merasa tidak nyaman jika ada orang lain yang tinggal di rumahnya meski orang itu ialah adik dari Mas Arthur.
“Tapi, Mas ….”
“Kenapa, Sayang? Harusnya kamu seneng, dong. Dapat teman ngobrol di rumah.”
Perkataan Mas Arthur membuat batin Yilya merasa ada yang aneh. Mengapa semuanya tiba-tiba terjadi? Selama pernikahan, aku tidak pernah mendengar Mas Arthur berkata demikian. Yilya dan Nida sangat jarang bertemu, tetapi, mengapa hari ini Mas Arthur membawanya ke rumah begitu saja?
“Apa alasannya, Mas?”
“Nida mau cari kerja di sini, Sayang. Kamu tahu, kan, kalau hubungan Nida dengan suaminya itu sudah bercerai? Nida enggak punya siapa-siapa selain Mas.”
“Kita bisa bayar kontrakan lain untuk Nida tinggal,” tukas Yilya mulai merasa tak nyaman.
“Sayang … Nida—”
“Udahlah. Aku enggak mau berdebat.” Yilya berkata sebal seraya melangkahkan kaki menuju dapur.
Entah apa yang ada di dalam pikiran Mas Arthur, lelaki itu tiba-tiba membawa adiknya untuk tinggal bersama. Sebenarnya, bukan tanpa alasan Yilya tidak suka dengan kedatangan Nida. Namun, bagaimana Yilya akan melangsungkan penyelidikannya mengenai sumur tersebut? Yilya sangat merasa tidak tega melihat puluhan mayat itu terkapar tak berdaya.
Bayangan mengenai mayat-mayat itu tidak pernah bisa Yilya lupakan. Mereka seperti memanggil namanya di setiap menit dan detik. Hanya Yilya satu-satunya orang yang dapat menolong puluhan mayat tersebut untuk bisa terlepas dari segalanya. Mayat-mayat itu tampak sangat sedih dan terluka meski suara yang keluar dari bibirnya selalu terdengar menakutkan.
“Mbak, Nida tempatin kamar Kyna, ya. Barang-barang Nida di depan banyak banget, nih. Mbak bisa bantuin Nida juga enggak?”
Yilya menghela napas berat. “Mbak lagi masak. Suruh aja Mas Arthur bantuin kamu.”
“Mas Arthur lagi ke depan, Mbak. Tolong, ya … kompornya dimatiin dulu aja.”
Yilya tidak menanggapi ucapan adik iparnya lagi. Namun, ia bergegas mematikan kompor dan memasukkan koper-koper milik Nida ke dalam kamar meski rasa kesal itu tidak pernah lenyap dari pikirannya. Sementara itu, Nida justru berbaring dan menonton televisi bersama Kyna.
“Menyebalkan!!” seru Yilya seraya mengentakkan kaki menuju dapur.
Yilya kembali menyalakan kompor untuk menyelesaikan masakannya. Namun, belum sempat masakan yang ia buat tersaji, dirinya terkejut bukan main ketika mendapati Nyai Lie berada tepat di sampingnya.
“Matikan kompor itu, ada sesuatu yang ingin kusampaikan.”
Yilya mengangguk cepat. Setelah kompor tersebut kembali mati, pergelangan tangan Yilya ditarik paksa oleh Nyai Lie. Yilya merasa tidak nyaman dan sedikit kesakitan karena cengkeraman yang dilakukan oleh Nyai Lie sangatlah kuat. Ia membawa Yilya menuju tepi sumur.
“Tidak sekarang, Nyai. Di luar ada suami dan adik iparku. Tolong bersabar, akan segera kuselesaikan semua dalam waktu cepat. Kumohon ….”
“AKU AKAN MEMBAWAMU PERGI KE MASA LALU!” teriak Nyai Lie seraya mendorong tubuh Yilya ke dalam sumur.
“Tolong! Tolong!” Yilya berteriak sangat kencang ketika tubuhnya mulai tenggelam.
Teriakan Yilya sama sekali tidak berarti, tidak ada orang yang mendengar perkataannya. Sampai akhirnya, tubuh Yilya terasa sangat lemas. Usaha yang dilakukannya untuk keluar dari sumur tersebut sia-sia. Yilya mulai tenggelam dan menutup mata.
***
Seumur hidupnya, Yilya sama sekali tidak pernah melihat ruangan gelap yang dipenuhi dengan ratusan bagian tubuh manusia yang sudah terpotong-potong. Sebenarnya ruangan apa ini? Di mana ia berada?
Yilya terus melangkahkan kaki ke depan. Ruangan ini sangat menjijikkan dan berbau busuk. Bagaimana mungkin dirinya dapat berada di tempat yang mengerikan ini? Usus-usus menggantung di atas dinding, bersebelahan dengan potongan jari manusia yang tampak mulai membusuk. Namun, pandangan Yilya seketika terkunci pada sosok lelaki yang sedang memotong dengan buas mayat-mayat perempuan.
Apa itu … Mas Arthur?
Tidak mungkin! Mas Arthur itu orang baik. Yilya sudah mengenalnya selama lebih dari sepuluh tahun. Ia sama sekali tidak pernah menaruh rasa curiga kepada suaminya. Selama menjalani rumah tangga, Mas Arthur tidak pernah membuatnya merasa aneh karena hal apa pun. Itu sebabnya Yilya tidak pernah menanyakan hal apa pun pada Mas Arthur. Baginya, kejadian dalam sumur itu tidak ada kaitannya dengan Mas Arthur.
“Kamu pasti tahu siapa laki-laki itu,” ujar Nyai Lie yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Padahal, dari tadi Yilya sangat yakin bahwa ia hanya berjalan sendiri.
“Aku tidak bisa melihat wajahnya,” balas Yilya penuh dengan keheranan.
“Dia ada di sekitarmu. Namun, kau belum pernah bertemu dengannya. Kau harus menemui lelaki itu selama satu minggu. Jika tidak berhasil, mayat-mayat yang berada dalam sumur itu akan membuat nyawamu melayang.”
Yilya mengangguk cepat. Dugaannya benar! Lelaki itu sudah pasti bukanlah Mas Arthur. Yilya sama sekali tidak pernah menaruh curiga pada suaminya kecuali ketika ia merasakan kerutan pada punggung tangan Mas Arthur. Namun kembali lagi, Yilya berpikiran positif jika mungkin itu hanya perasaannya saja.
“Sebenarnya, kita sedang berada di mana?”
“Kita berada di tempat manusia tidak berakal itu menghilangkan manusia lain yang sama sekali tidak bersalah.”
“Tolong, Nyai. Ini terlalu rumit, berikan aku sedikit penjelasan lain. Apakah … mayat itu ada hubungannya dengan suamiku?”
Nyai Lie terseyum seraya menggoyangkan tubuhnya. “Kau akan tahu nanti, Yilya. Untuk sementara, tugasmu hanya mencari lelaki itu.”
“Bagaimana mungkin aku bisa menemukannya? Di dunia ini, ada ratusan juta lelaki. Lantas?”
“Lelaki itu memiliki sebelas jari tangan. Di bagian ibu jari sebelah kanan, lelaki itu memiliki jari yang bercabang.”
“Aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya untuk dapat—”
“Kau pasti tahu, Yilya. Lihatlah mayat-mayat itu! Mereka dipotong, digantung, dan dikuliti dengan buas! Mereka merasakan kesakitan. Ada puluhan nyawa manusia yang tidak bersalah melayang. Jika bukan kau yang menghentikannya, maka selamanya akan terus seperti ini.”
“Aku pasti bisa menemukan lelaki itu!” seru Yilya sembari memejamkan mata.
Yilya berusaha meyakinkan dirinya, meski lelaki itu belum tentu dapat ia temukan. Ditambah, nyawanya yang akan menjadi taruhan!
Nyai Lie kembali menghilang. Yilya merasa bingung dengan apa yang akan ia lakukan dalam ruangan ini. Namun, seketika dirinya merasa terdorong untuk tetap melangkahkan kaki meski tidak tahu arah dan tujuannya. Tempat ini begitu asing. Kumuh dan penuh dengan darah. Dengan tubuh yang gemetar, Yilya menghentikan langkah ketika melihat potongan tubuh manusia yang berada di atas meja tua.
Hela napas Yilya berubah menjadi tidak beraturan. Dengan gerakan yang sangat lambat, Yilya memberanikan diri untuk menyentuh salah satu potongan tubuh manusia tersebut. Meski rasa takut mulai menghampiri, tetapi Yilya tetap menyentuhnya. Terasa lengket dan langsung mengeluarkan bau busuk. Darah menempel pada jemari Yilya, ada beberapa di antaranya yang sudah beku pada meja. Yilya kembali memundurkan langkah kakinya, menjauh dari meja kecil tersebut. Ia melangkah pada lorong gelap yang kemudian ….
***
“Mbak Yilya! Sadar, Mbak!” seru Nida tampak panik ketika melihat api dari kompor mulai membesar.
“Mbak, kebakaran! Mbak jangan diem aja!”
“Astagfirullah al-azim ….” Yilya tersadar dari lamunannya.
Rasa bingung kembali menghampiri. Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Mengapa semua terjadi dengan sangat tiba-tiba? Dengan cepat, Yilya segera menimba air dalam sumur, ia berharap jika air tersebut dapat dengan cepat bisa memadamkan api agar tidak merambat pada benda lainnya. Beruntung, usaha yang Yilya lakukan tidak sia-sia. Api tersebut padam tepat pada waktunya.
Yilya berjalan menuju kamar untuk menenangkan diri. Ia duduk di atas ranjang sembari mengusap wajah dengan cemas. Yilya mengingat kembali kejadian yang baru saja terjadi dalam hidupnya. Kejadian tersebut terasa seperti mimpi dan angin lalu. Namun, bekas kebakaran itu membuatnya sadar bahwa ia benar-benar telah dibawa pergi ke masa lalu, sesuai dengan perkataan yang Nyai Lie lontarkan.
Yilya meneteskan air mata kesedihan, ia merasa bingung dengan setiap hal aneh yang menghampiri hidupnya. Yilya merasa kesal, mengapa dirinya harus menerima ajakan Mas Arthur untuk tinggal di rumah yang penuh misteri ini, hingga akhirnya ia sendiri yang harus menghadapi semuanya. Kehidupan yang biasanya menenangkan, tiba-tiba berubah seperti mimpi buruk.
“Yilya! Kamu enggak papa, kan, Sayang?” tanya Mas Arthur dengan cepat ketika baru saja memasuki kamar.
“Enggak, Mas,” balas Yilya dengan pelan.
“Bisa jelaskan sesuatu?” tanya Mas Arthur seraya menggenggam erat jemari istrinya.
“Aku enggak tahu apa yang terjadi, Mas. Yang pasti, aku bener-bener takut sekarang.”
Mas Arthur memeluk erat istrinya untuk menenangkan. Namun, meski begitu, Yilya tidak cukup merasa tenang. Ditambah ketika ia mengingat kejadian di dalam ruang gelap itu batinnya menjerit. Bagaimana jika Yilya tidak berhasil menemukan lelaki yang sama sekali tidak diketahuinya?
Nyawa Yilya yang akan menjadi taruhan!
Zalfa Jaudah Jahro, lahir di Karawang.
Editor : Fitri Fatimah