Drama di Bawah Hujan

Drama di Bawah Hujan

Drama di Bawah Hujan

Oleh : R Herlina Sari

 

 

Suasana lorong kampus pagi itu terlihat sepi. Hanya ketukan langkah dari sepasang kaki jenjang memenuhi ruang pendengaran. Langkah sepatu kakiku sendiri.

“Ah … sial! Telat lagi gue! Hukuman apa lagi yang bakal gue terima kali ini.”

“Masuk enggak, ya. Masuk enggak, ya.” Aku mondar-mandir di depan pintu ruang kelas sastra itu. Masih sambil berpikir, aku tak mengetahui jika pintu di belakang sudah terbuka lebar.

“Gadis! Ngapain kamu mondar-mandir gak jelas, buat kepala saya pusing, tahu!” seru suara bariton di belakang.

Suara khas asdos mata kuliah Sastra Inggris. Seorang lelaki yang dikenal dingin, killer, cool, jomlo, hidup lagi. Ah, pas sudah kriteria sebagai calon pendamping hidup. Ganteng dan pelukable.

“Ini mau masuk, Bapak. Tapi takut dihukum.” Aku berkata sambil malu-malu.

“Kamu bakal dihukum, kalo gak masuk!”

Asdos satu itu emang terkenal judes bin jutek. Nyebelin, sombong,  galak. Dasar nasib, udah kesiangan ketemu dia pula. Hufft. Mimpi apa aku semalam, Ya Tuhan, hingga Engkau datangkan kesialan bertubi-tubi. Mana perut lagi dangdutan akibat lupa sarapan. Dengan langkah gontai aku masuk kelas. Baru sedetik duduk, teman satu bangku menyambut dengan deheman keras.

“Ciee … yang abis ngobrol sama asdos ganteeng,” goda Ney dengan mimik menyebalkan.

“Apaan, sih. Gue abis dimarahin tau,” jawabku kesal.

“Marah apa marah … itu, kok, matanya liatin elo terus.” Ney masih saja terus menggoda.

Aku mengernyit tak mengerti.

“Apaan, sih? Gak ngerti!”

“Yaaa, itu. Mas Dewa dari tadi liatin elo terus. Masa gak nyadar diperhatiin ama cowok ganteng,” sindir Ney lagi.

Kalimat Ney selanjutnya tak aku dengar. Mataku beralih ke depan, tak sengaja bersirobok pandang dengan Mas Dewa. Tak lama hingga kami berdua tertunduk malu. Degup jantung seolah memberi pertanda, tatapan pertama itu, akan terkenang seumur hidup. Pasti saat ini mukaku sudah semerah tomat.

Hari ini jadwal kampus begitu padat. Aku bersiap-siap pulang saat sore menjelang. Matahari mulai meredup, berganti awan yang menghitam, pertanda hujan akan datang. Kupercepat langkah kaki. Hari ini aku pulang sendiri, setelah Ney dijemput kekasihnya. Nasibku begini amat, ya. Harus siap sendiri saat sahabat bersama yang terkasih.

Hujan berangsur turun, sebelum sempat kutemukan tempat berteduh. Aku berlari, sambil merintih perih. Tetesan air hujan begitu menusuk ke kulit. Membuat baju basah dan tubuhku menggigil kedinginan.

Nasib jomlo, saat hujan aku terkenang drama India. Berlarian bersama kekasih saat hujan turun sambil menari dan bernyanyi. Itu pasti romantis. Huaaaa.

Seseorang mengikuti langkah kakiku yang memburu. Hingga kami sejajar. Sosok itu kini berada tepat di sampingku. Mau tak mau aku menoleh, tertegun tak percaya dengan apa yang aku lihat. Asdos sombong bin nyebelin yang aku umpat setiap hari kini berusaha menyamai lariku.

“Boleh, aku ikut hujan-hujanan?” tanyanya.

“E-eh, apa?” Saking terpesonanya, aku tak mendengar jelas pertanyaannya.

Pria itu hanya tertawa, lalu tangannya mengamit tanganku. Ia menggandengku agar kami berlari bersama dalam derasnya hujan. Ternyata drama India itu kini sedang kualami. Tempat parkir yang jaraknya hanya 200 meter terasa sangat dekat.

“Aku ingin menyamai langkahmu dalam segala hal. Apa kamu mengizinkan itu?” bisik Mas Dewa saat kami berada di tempat parkir di sebelah mobil Honda Jazz putih yang acapkali Mas Dewa kendarai. Drama apa lagi ini, Tuhan? Asdos itu tidak salah makan obat, ‘kan?

“Maksudnya?” tanyaku keheranan. Cowok itu tak sedang menembakku, ‘kan? Atau pendengaranku yang salah?

“Iya, aku mau kamu menjadi kekasihku, Dis. Jika mau kamu masuk ke mobil sekarang. Aku antar pulang!” katanya lantang.

Eh, beneran dia sedang nembak aku. Aku harus bagaimana Tuhan? Ah, bodo amat, dapet tumpangan gratis ini, biarpun menjadi pacarnya juga tak rugi. Sudah ganteng, Asdos, kaya, dan sempurna, walau emang ada tampang jutek serta nyebelin, sih. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke mobilnya tanpa menjawab sepatah kata pun.

“Yes!” Hanya satu kata untuk menggambarkan segalanya. Mas Dewa terlihat bahagia dengan mata yang berbinar-binar.

 

Surabaya, 040820

Biodata narasi:

R Herlina Sari, lebih dikenal dengan nama pena RHS. Seorang melankolis yang mempunyai hobi membaca juga menulis.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply