Musim Layangan dan Kebodohan Saya

Musim Layangan dan Kebodohan Saya

Musim Layangan dan Kebodohan Saya

Reza Agustin

Memasuki bulan kering, terutama banyak gempuran angin, layang-layang kembali merajai langit sore dan malam di kota kesayangan saya. Terlebih lagi semenjak Covid-19 datang menyerang Indonesia. Anak-anak dan remaja yang jenuh dengan sistem pembelajaran daring pada akhirnya menjadikan kegiatan luar ruangan sebagai obat.

Dengan kegiatan luar ruangan ini, anak-anak sejenak teralih dari gawai mereka. Bermain layang-layang menumbuhkan sisi kreatif yang terkadang di luar batas. Entah tanggung jawab siapa, anak-anak yang bermain layang-layang atau orang dewasa yang mendampingi mereka. Bentuk-bentuk layangan yang seronok bagi sebagian orang terbang dengan gagah membelah angin. Saya sendiri tidak heran ketika mendapati layangan berbentuk celana dalam mengambang di udara.

Tidak puas dengan bentuk layangan yang itu-itu saja, banyak bentuk menarik saya lihat di langit. Burung elang, karakter animasi, logo pahawan super, dan lain sebagainya. Ada pula layang-layang berwujud kuntilanak. Saudara saya pernah menceritakan layangan berbentuk keranda yang dijual-belikan secara daring. Akan sangat menyenangkan jika melihat dua layangan berwujud seram itu saling berkejaran di langit.

Tidak jarang ketika layangan-layangan itu saling beradu, akan ada teriakan-teriakan heboh yang memekakkan telinga.

Kancute tibo!!!
(Celana dalamnya jatuh)

Manuke tibo!!!
(Burungnya jatuh)

Untuk sebagian orang terdengar saru, sekaligus lucu. Namun, saya yakin jika kebodohan saya yang satu ini lebih memalukan daripada teriakan-teriakan nakal tersebut. Kira-kira begini ceritanya:

Saya adalah gadis rumahan yang introvert. Jarang keluar rumah, lebih nyaman bergelung dengan selimut lalu berselancar di dunia maya. Suatu sore, saya disuruh membeli obat nyamuk. Memang baru saja azan Magrib, padahal sudah diwanti-wanti agar tidak keluar rumah kala azan. Terutama waktu magrib, karena itulah masanya para setan berkeliaran.

Saya dengan percaya diri pergi saja. Singkat kata, setelah mendapat barang yang dicari, saya pun pulang. Sembari mengemut cokelat pasta jajanan anak-anak, saya berjalan pulang dengan santai. Di tengah perjalanan, saya mendongak ke langit. Saat itulah saya benar-benar ketakutan.

Di langit yang sudah berubah gelap itu, saya melihat beberapa benda bercahaya di langit. Ada warna biru, hijau, dan merah. Bergerak-gerak membentuk pola yang abstrak, terlebih lagi dengan suara mesin yang menderu-deru. Detik itulah saya meyakini bahwa bumi mendapat serangan alien.

Berlarilah saya menuju rumah, pertama-tama saya melempar plastik berisi belanjaan, lalu buru-buru mengambil ponsel untuk mengabadikan cahaya-cahaya tersebut. Bapak yang tengah bersantai di kursi main ponsel segera saya peringati, “Pak, ayo metu! Aku weruh lampu-lampu ning nduwur. Ono alien!
(Pak, ayo keluar. Saya lihat cahaya-cahaya aneh di langit. Ada alien!)

Saya tidak hanya mengejutkan Bapak, tetapi juga Nenek yang memiliki riwayat sakit jantung. Namun, alih-alih mendapat respons baik dari keduanya, saya justru mendapatkan tawa mengejek.

O … dasar cah kudet! Layangan kok diarani alien!” ujar Bapak sembari geleng-geleng.
(O … dasar anak kudet! Layang-layang, kok disebut alien!)

Barulah Bapak menjelaskan sembari agak meledek, bahwa para pemuda dan bapak-bapak membuat kreasi layangan yang lebih kreatif dari yang saya bayangkan. Sebut saja layangan yang dilengkapi dengan lampu warna-warni. Lampu tersebut menggunakan sensor yang bereaksi terhadap angin sehingga ketika diterbangkan di udara, maka lampunya menyala. Satu hal lagi, tentang suara bising yang menyerupai mesin tersebut berasal dari benang layangannya.

Saudara saya juga menyebut bahwa beberapa pemuda dari desa lain juga membuat drone low budget menggunakan sebuah ponsel seri lama yang diikat pada layangan. Tentu saja kualitas gambarnya juga seadanya. Banyak pula yang membuat layangan raksasa dan 3D yang ditarik menggunakan tambang.

Lalu penjelasan itu diakhiri dengan sebuah kata mutiara dari Bapak, “Makane, dadi uwong ojo kuper. Ben weruh kahanan!
(Makanya, jadi orang jangan kuper. Biar bisa tahu keadaan sekitar!)

Kebodohan saya hari itu membuat saya malu. Apakah ada di antara kalian yang pernah mengalami kebodohan serupa?

Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Pecinta kucing dan tukang halu.

Leave a Reply