Indahnya Ta’aruf (Part 1)
Oleh : Ina Agustin
Kapan nikah? Adik kelasmu sudah punya anak lho! Kok kamu enggak pernah diapelin cowok, sih? Umur kamu berapa? Kok enggak laku-laku sih? Awas, nanti jadi perawan tua lho! Sederet pertanyaan dan pernyataan lainnya bermunculan, mengiris hati, perih sekali. Memangnya aku Tuhan yang bisa menentukan nasib? Kalau saja tidak melihat mereka sebagai tetangga dan saudara seiman, mungkin akan kutanyakan pertanyaan senada, “Kapan Anda meninggal?” Ah, kutahan saja. Kalau kulakukan, apa bedanya aku dengan mereka? Sabar, sabar! Ini ujian.
Mayoritas perempuan di kampungku memang menikah setelah lulus SMP atau SMA. Jumlah mereka yang melanjutkan ke perguruan tinggi bisa dihitung jari. Ayah-Ibu mendukung cita-citaku menjadi seorang guru. Karena itulah, aku bersemangat kuliah meraih gelar sarjana pendidikan di sebuah universitas negeri di Kota Serang, Banten.
Waktu bergulir cepat. Menjelang semester akhir, aku merantau ke Tangerang dan mengajar di sekolah swasta di sana. Hanya sesekali saja ke kampus untuk perbaikan skripsi, sidang komprehensif, dan sidang munaqosyah. Teman-teman pun banyak yang menikah. Mereka menikah melalui proses yang dinamakan ta’aruf, yaitu sebuah proses perkenalan menuju pernikahan. Durasi waktu ta’aruf tidaklah lama, biasanya sekitar 2-3 bulan, bahkan ada yang lebih cepat dari itu. Selama proses ta’aruf, sama sekali tidak diperbolehkan aktivitas berduaan. Harus selalu ada pihak ketiga atau keempat sebagai perantara.
Kini aku berada di acara pernikahan teman—di Serang—membantu acara resepsi. Aku dan teman-teman menginap sejak semalam. Kami bertugas di beberapa bagian. Ada yang di bagian penerima tamu, penjaga hidangan, dan dapur.
Prosesi akad nikah berlangsung sakral. Dekorasi taman dihiasi bunga berwarna-warni, kursi pelaminan ditata sedemikian cantik dengan hiasan bunga-bunga hidup, semakin indah dan sedap dipandang mata. Lampu-lampu kecil berkelap-kelip, serta kursi-kursi tersusun rapi menghiasi jalannya pesta pernikahan. Sanak saudara dan kawan hadir memberikan doa restu. Kulihat, pengantin wanita sangat cantik walaupun dengan riasan sederhana. Wajahnya bersinar, auranya terpancar. Jilbab lebar menutupi sebagian tubuhnya, gamis putih disertai manik-manik berkilauan, serta roncean bunga melati yang menghiasi kepala membuatnya tampak lebih anggun. Sesekali pasangan pengantin itu saling mencuri pandang dan tersenyum bahagia. Ah indahnya. Kapan aku berada di posisi itu? batinku bersenandika.
Di tengah keramaian pesta, tiba-tiba ponsel di sakuku berbunyi. Sebuah pesan masuk.
[Assalamualaikum. Mbak Rani, besok sore bisa ke rumah? Ada yang ingin Umi bicarakan.]
Beliau adalah murobbi1–ku. Aku dan teman-teman biasa memanggilnya “Umi”. Kami mengikuti pengajian rutin seminggu sekali. Selain belajar Al-Qur’an, kami juga menimba ilmu lainnya. Kami menyimak setiap materi yang Umi sampaikan. Dalam urusan jodoh, biasanya Umi menjadi perantara untuk binaannya. Sore harinya aku langsung berangkat ke Tangerang.
Aku duduk di atas sofa empuk berwarna merah, kontras dengan dinding rumah yang berwarna putih bersih. Kulihat bunga mawar dalam vas terletak di atas sebuah papan yang dilapisi kaca berbentuk persegi panjang. Tak lama kemudian, wanita berdarah Jawa itu keluar dengan membawa dua gelas air mineral dan satu amplop cokelat berukuran besar.
“Bismillah, ini ada biodata ikhwan yang siap nikah. Silakan dibaca di rumah, ya! Tolong kabari Umi seminggu kemudian!” seru wanita berpostur langsing itu sambil menyerahkan amplop padaku.
Deg!
Jantungku berdegup kencang. Ada rasa yang tak dapat kugambarkan dengan kata-kata.
“Oia, untuk biodata Mbak Rani, sudah saya kasihkan pada ikhwan itu. Dulu kan semua binaan Umi sudah pernah mengumpulkan biodata. Umi lihat di biodata tertulis bahwa Mbak Rani sudah siap menikah,” jelasnya dengan logat Jawa yang kental.
Sampai di rumah, kubuka perlahan amplop cokelat itu. Dengan hati yang berdebar-debar, kubaca paragraf demi paragraf biodata ikhwan tersebut. Namanya simpel, cuma satu kata, “Ahmad”. Terakhir, kupandangi fotonya. Hidung mancung, mata jernih, bibir terbelah menghiasi wajahnya yang teduh.
Astaghfirullah, aku tidak boleh larut. Biarkan hati ini netral agar aku bisa istikharah dengan tenang.
Dalam biodata itu tertulis bahwa kriteria calon istri baginya tidak muluk-muluk. Dia hanya ingin wanita salihah. Mungkinkah aku jodohnya? Entahlah, aku tak mau meneduga-duga. Kupasrahkan pada-Mu, ya Robb! Hatiku meminta pada sang pemilik cinta sempurna.
Selama seminggu berturut-turut salat istikharah, selalu ada petunjuk di setiap harinya, hingga suatu hari, tiba-tiba teman-teman menyebut nama ikhwan tersebut. Malamnya, ikhwan itu pun muncul di mimpiku dengan mengenakan pakaian serba putih. Wajahnya bersinar, senyumnya manis. Tangannya melambai-lambai seakan mengajakku ke suatu tempat yang indah.
Selain salat istikharah, aku bermusyawarah, meminta pendapat kedua orang tua. Alhamdulillah, Bapak dan Mama setuju. Mudah sekali mendapat restu mereka. Apakah ini pertanda kami berjodoh? Tak sampai di situ, aku berusaha mencari informasi seputar ikhwan itu dengan bertanya kepada beberapa teman perihal sifatnya, tanpa mereka tahu bahwa aku sedang menyelidikinya. Semua teman yang kutanya mengatakan bahwa ikhwan yang bernama Ahmad itu orangnya baik, ramah, murah senyum, penolong dan jarang marah. Ah, benar-benar lelaki idaman, batinku.
***
“Assalamu’alaikum. Bagaimana, Mbak Rani, mau dilanjut prosesnya? Kalau iya, kita lanjut nadzor2, ya?” ujar Umi di ujung telepon sana.
“Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya bersedia melanjutkan proses ta’aruf ini,” jawabku mantap.
“Baik, kalau begitu, besok ba’da Maghrib, datang ke rumah Umi, ya!” seru wanita ramah yang berprofesi sebagai PNS itu.
Hatiku bergetar saat mendengar beliau mengatakan “nadzor”. Bagaimana nanti saat pelaksanaannya? Hatiku tidak karuan. Semoga semuanya berjalan lancar.
Waktu yang dijanjikan tiba. Aku mengendarai sepeda motor menuju rumah Umi. Kunyalakan mesin dan melaju. Tak henti-hentinya berzikir selama perjalanan. Lampu-lampu bertiang menerangi jalan raya. Hiruk-pikuk penjual dan pembeli menambah keramaian malam itu. Sampailah aku di rumah Umi, yang terletak di kawasan Komplek Garuda Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Kulihat dua unit sepeda motor sudah terparkir di halaman rumahnya.
“Assalamualaikum,” ucapku sambil sembari membuka pintu garasi.
“Wa’alaikumussalam,” jawab mereka serempak.
Umi mempersilakan aku duduk dan minum terlebih dahulu. Kuhela napas perlahan. Kuatur irama degup jantung yang bertalu-talu laksana genderang perang.
“Bismillahirrahmanirrahim. Mbak Rani, ini ikhwan yang ada dalam biodata itu. Dan yang ini namanya Ustadz Ismail, beliau Murobbi Akhi Ahmad yang menjadi perantara dari pihak ikhwan,” jelas wanita beranak dua itu.
Aku hanya tersenyum simpul kemudian tertunduk malu. Ingin sekali menatap langsung wajahnya, tapi tak berani.
“Silakan jika ada yang mau ditanyakan satu sama lain!” seru Ustadz Ismail.
Sambil berkeringat dingin, kuberanikan memulai pembicaraan. Kuhela napas perlahan terlebih dahulu.
“Ana tidak pandai memasak, Akh,” ucapku dengan nada gugup sambil menunduk.
“Tidak mengapa, Ukhti, nanti bisa belajar bersama,” sahutnya dengan tenang.
“Ana kan guru, jika nanti sudah berumah tangga, bolehkah tetap mengajar?” lanjutku sembari merekatkan jemari, mencoba mengusir rasa gugup yang masih mendera.
“Selama tidak meninggalkan kewajiban sebagai istri dan ibu, boleh saja.”
“Selanjutnya, silakan pertanyaan dari pihak ikhwan,” cetus Umi ramah.
“Saya tidak punya pertanyaan apa-apa, Umi. Saya hanya berharap, Ukhti Rani menjadi istri salihah yang setia mendampingi suami.”
“Baiklah, kan sudah bertemu. Silakan dimusyawarahkan kembali dengan orang tua masing-masing. Tolong kabari Umi keputusan finalnya, seminggu kemudian!” pinta Umi.
“Keputusan ana tetap lanjut,” sahut ikhwan itu dengan mantap.
Aku dan Umi tersenyum. Semangat sekali nih ikhwan, gumamku dalam hati.
Acara nadzor selesai. Sampai di rumah, kupandangi kembali foto ikhwan itu, seperti pernah melihatnya, tapi di mana ya? Esok hari kutanyakan pada Umi perihal itu. Wanita berwajah ayu itu mengatakan bahwa memang benar Akhi Ahmad pernah melihatku di rumah Bu Haji Wati, pemilik yayasan pendidikan tempatku mengajar. Ternyata, ikhwan itu masih ada hubungan kerabat dengan beliau. Aku baru ingat, saat ke rumah Bu Haji Wati membantu acara tasyakuran anaknya yang sedang hamil. Saat memasuki rumahnya, kulihat sekilas ikhwan itu sedang duduk di teras sambil membaca koran.
Masih ada waktu satu minggu untuk keputusan final. Kembali kugali informasi tentang dirinya.
“Orangnya ramah, Mbak Rani. Walaupun bukan berasal dari keluarga berada, tapi Ibu yakin dia orang baik. Dia taat dalam beribadah, Ibu tahu persis,” cakap Bu Haji Wati.
Selain itu, aku pun bertanya pada menantu Bu Haji, yang merupakan sebab-musabab persaudaraan mereka dengan Akhi Ahmad. Ternyata, menantu Bu Haji itu adalah sepupunya. Pastilah dia tahu banyak tentang Akhi Ahmad. Menantu Bu Haji yang bernama Saprudin itu mengatakan bahwa Akhi Ahmad adalah laki-laki salih. Dia pun tahu masa kecil dan teman sepermainannya. Ya Allah, benarkah ikhwan yang bernama Ahmad ini adalah jodohku? Lagi-lagi aku bersenandika.
Kembali kuminta pendapat kedua orang tua. Mereka mengatakan, “Jika menurut Rani, laki-laki itu baik, Bapak dan Mama setuju saja.”
Seminggu sudah berlalu. Umi kembali menanyakan keputusan final.
“Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya bersedia melanjutkan proses ta’aruf ini,” ujarku mantap.
Kemudian, pertemuan dua keluarga digelar. Akhi Ahmad diantar saudaranya datang ke rumah untuk melamarku. Mama menyuguhkan makanan dan minuman. Sedangkan aku duduk di samping Bapak.
Sesuai yang tertulis di biodata bahwa ayahnya sakit keras dan aktivitasnya bergantung pada ibunya. Karena itu dia diantar oleh uwa dan kakaknya saja.
“Kalau boleh tahu, sudah berapa lama Nak Ahmad ini kenal anak saya?” tanya Bapak tanpa basa-basi.
“Sekitar tiga minggu yang lalu, Pak,” jawabnya tenang yang terlihat dari air mukanya.
“Baru kenal, sudah langsung melamar? Nak Ahmad yakin?” lanjut Bapak memastikan sambil memandang langsung pada kedua bola mata Akhi Ahmad.
“Insya Allah, saya yakin, putri Bapak adalah wanita baik-baik. Maka dari itu, saya ingin melamarnya,” jelasnya tanpa keraguan sedikit pun dari nada bicaranya.
“Bapak jadi terharu. Namun, walaupun bapak ini ayahnya, untuk keputusan tetap ada di tangan anak saya,” cetus Bapak sembari melihat ke arahku.
“Gimana, Ran, diterima apa tidak?”
Jantungku berdegup semakin kencang. Hanya anggukan kepala yang bisa kulakukan dan seutas senyum tersungging di bibir.
“Alhamdulillah,” ucap laki-laki kelahiran tahun 1981 itu dengan penuh syukur. Sebuah kotak beludru merah berbentuk love, dia keluarkan dari saku celana sebelah kanan, tanpa sengaja aku meliriknya. Lalu dia memberikan sebuah cincin sebagai tanda bahwa aku telah dikhitbah[3].
“Ma-maaf, kalau boleh nanti saya ingin melihat kondisi ayahnya Akhi Ahmad,” ucapku dengan nada gugup. Dan uwa-nya Akh Ahmad membolehkan.
Empat minggu kemudian, dengan kondisi banjir selutut di kampungku, Akhi Ahmad kembali ke rumah menemui Bapak, menyerahkan sejumlah uang untuk biaya akad dan resepsi pernikahan. Tidak ada nominal yang kami tentukan. Aku dan Bapak menerima dengan ikhlas berapa pun jumlahnya.
Kami menjalani masa ta’aruf sekitar dua bulan, terhitung mulai tanggal 11 Oktober 2010 sampai 11 Desember 2010. Selama masa ta’aruf sama sekali tidak ada aktivitas berduaan, karena sejatinya kami belum halal.
Menjelang H-14, aku berkunjung ke rumah orang tua Akhi Ahmad untuk melihat kondisi ayahnya. Tentu saja tidak sendiri ke sana. Kuminta seorang teman perempuan menemaniku. Sampailah kami di rumah Akhi Ahmad.
Seorang perempuan paruh baya menyambut kami ramah. Kami melangkah menuju sebuah bangunan berlantaikan tegel yang dilapisi karpet kasar. Dindingnya sebagian terbuat dari tembok dan sebagian lagi terbuat dari bilik. Kusen dan plafon sudah usang, terdapat banyak lubang pada bagian atap. Tak ada hiasan atau pun sofa di dalamnya. Kami duduk lesehan beralaskan tikar kasar.
Perempuan berpostur tinggi kurus itu menyuguhkan air mineral dan dua piring makanan. Dia mempersilakan kami mencicipi suguhannya. Saat aku hendak minum, tiba-tiba muncullah Akhi Ahmad Aku menunduk. Irama jantungku mendadak berubah menjadi lebih cepat. Dia hanya berkata, “Silakan Ukhti ngobrol sama Emak. Ana mau ada keperluan dulu di luar.” Sepertinya dia mencari kesibukan untuk menghindari aktivitas pertemuan fisik di antara kami.
“Rani, sini dah! Katanya lu pengen liat babanya Ahmad?” seru calon ibu mertua dengan logat Betawinya.
“Iya, Bu.”
“Panggil Emak aja ya!” pintanya sambil terus memandangiku.
“Baik, Mak.”
Kulihat sesosok laki-laki tinggi kurus berbaring lemah tak berdaya. Aku mendekatinya. Dia berkata sesuatu yang tidak dapat kupahami. “Baba nanya, apa benar ini calon bininya Ahmad?” Emak menterjemahkan.
Calon ayah mertuaku sudah dua tahun terkena stroke berat, sehingga tidak bisa beraktivitas layaknya orang normal. Sehari-harinya hanya di tempat tidur. Makan minum dan aktivitas MCK pun di tempat tidur. Emak begitu sabar merawatnya. Hatiku terenyuh, tiba-tiba cairan hangat menetes membasahi pipi.
Saat kami hendak pamit pulang, Akhi Ahmad datang. Aku menyerahkan buku berjudul Kado Pernikahan agar dibacanya. Sebuah buku yang sarat makna, membahas tuntas seputar pernikahan dan ilmu berumah tangga.
Aku dan temanku bergegas pulang. Kami mengendarai kendaraan roda dua. Selama perjalanan, tak hentinya air mataku menetes, mengingat keadaan calon ayah mertua. Betapa berat ujian keluarganya. Sangat mungkin, calon suamikulah yang menjadi tulang punggung keluarga, menggantikan ayahnya yang sudah tak berdaya. Melihat kondisi keluarganya, hati ini sempat dilanda keraguan. Aku meminta pendapat teman yang mengantarku. (*)
Bersambung …
Selanjutnya (Part 1)
Catatan kaki :
[1] guru mengaji
[2] dilamar
Penulis bernama lengkap Ina Agustin ini adalah seorang perempuan biasa yang bercita-cita memiliki karya luar biasa.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata