Suatu Hari di Kota Mati

Suatu Hari di Kota Mati

Suatu Hari di Kota Mati
Oleh: Dyah Diputri

Suatu hari di kota mati, Jea tertegun memandang halaman rumahnya yang lengang. Ada seberkas sinar yang mengecup punggung awan hingga tanah gersang di kota itu merasa cemburu. Angin tidak berdesau sama sekali, dan wajah Jea juga semuram pohon oak yang baru ditebang. Tidak ada satu pun orang yang lewat di depan rumahnya. Tidak ada kendaraan yang menepi sembarangan. Tidak ada bunyi klakson mobil dari segala penjuru.

Suatu hari di kota mati, sebelum hari itu. Jea keluar dari rumahnya untuk menemui Quin, sahabatnya. Meski disergap kecemasan karena kota itu semakin lengang setiap harinya, dia memberanikan diri berjalan tergesa-gesa melewati sepanjang Briks Road.

“Tidakkah kau sadari, kota ini semakin sepi, Quin?” Jea bertanya dengan nada gelisah begitu sampai di rumah Quin.

“Orang-orang sibuk bekerja pada siang hari. Dan mereka tidur pada malam hari. Kau saja yang aneh!” Quin mencebik dengan tatapan tak lepas dari tayangan televisi di seberang matanya.

“Ah, tapi biasanya tidak sesunyi ini. Aku bahkan merasakan hawa dingin yang aneh walau ada sinar matahari di atas sana. Ya, ada beberapa orang lalu-lalang, tapi mereka tidak senyap seperti tadi.”

Quin berpikir sejenak, kemudian berdecak pelan. Dia bilang, “Iya juga, benar katamu. Hari ini aku bangun sendiri. Ibuku, entah kenapa beliau tidak membangunkanku.”

“Kau ada jadwal hari ini?” Jea bertanya lagi.

“Tidak. Ini hari Sabtu, bukan?” Quin melirik Jea, dari raut wajahnya seakan-akan menyimpan rahasia. “Eum, tapi aku … harus pergi menemui seseorang,” lanjutnya ragu-ragu.

“Kau mau kencan? Astaga, sepertinya aku akan lebih merasakan kematian kota ini!”

Quin tak menggubris perkataan Jea. Dia menunggu di ambang pintu, berharap Jea ikut keluar karena tidak mungkin gadis itu tinggal, sedangkan Quin sudah akan pergi.

Benar saja, setelah mereka berdua berpisah di perempatan jalan, Jea merasa kota itu semakin sunyi dan lengang. Dia berpikir, akan lebih menyeramkan jika berdiam di rumah sendirian. Kenapa tidak ikut saja dengan Quin—walau dia tak mengajaknya bersenang-senang? Setidaknya dia merasa ada kehidupan dengan sahabatnya itu. Jea juga berpikir, kalau Quin akan marah karena dia mengikutinya, pasti tidak akan lama, bukan?

Jea dan Quin sudah bersahabat cukup lama, bahkan kelahiran mereka hanya terpaut beberapa hari. Agaknya persahabatan orang tua mereka menurun kepada dua remaja itu. Quin yang hanya punya seorang ibu adalah teman terbaik yang Jea punya. Hanya saja, dua bulan terakhir hingga kota terasa lengang saat itu, Quin lebih sibuk dengan kegiatannya menjadi pemandu junior di kampus.

Jea acapkali pulang lebih dulu karena kelelahan menunggui kesibukan Quin. Padahal, sejak naik semester enam, ada banyak hal yang ingin dikeluhkan Jea kepada sahabatnya. Tentang ayah ibunya yang lebih sering bertengkar akhir-akhir ini, tentang pria asing bermata liar yang lalu-lalang di depan rumah Jea dan menebang asal pohon oak-nya, tentang teman di kampus yang menarik perhatiannya, juga tentang malam sunyi sebelum kota menjadi mati.

Tak pikir panjang lagi, Jea berbalik badan dan berlari menyusuri jalan hingga perempatan. Pikirnya, Quin harus tahu tentang semua isi hatinya. Mereka bersahabat, bukan? Apa gunanya menyimpan perasaan sendirian?

“Quin! Quin!”

Jea sampai di depan sebuah kafe di dekat kampus. Sepanjang jalanan menuju kampus juga lengang. Namun, dia bisa melihat sahabatnya tengah duduk berhadapan dengan seorang pria berjaket kulit. Jea memanggil, tetapi Quin sama sekali tidak menoleh. Sambil menahan rasa letih, dia pun berjalan mendekati kedua orang itu.

Namun, alangkah terkejutnya Jea, saat tahu pria itu adalah pria yang sama yang menebang pohon oak di rumahnya.

“Quin, kau … kenal dia?” Jea hampir saja menangis.

“Dia orang yang menebang pohon oak di rumahmu, bukan? Dan dia juga yang memperkosamu malam itu. Aku yang menyuruhnya, Je.”

“Kau ….” Jea hanya bisa menangkup mulut. Bergantian, dia menatap Quin dan pria yang terdiam dengan nikmat cerutunya itu. Detik itu, dia merasa kotanya benar-benar telah mati.

“Aku tidak bisa memaafkanmu, Je. Karena kamu dan ibumu, orang yang seharusnya kupanggil ayah itu tidak pernah ada di dekatku.”

“Kau ….” Lagi, hanya itu yang bisa keluar dari bibir Jea.

“Dan aku juga tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Setelah kau bunuh diri waktu itu, aku mengikuti langkahmu. Kau benar, Je. Kota kita telah mati!”

Malang, 31 Agustus 2020

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.

Editor: Erlyna

Gambar: Pinterest.com

 

Leave a Reply