Selembar Koran Usang
Oleh : Musyrifatun
Hari yang paling dinantikan Arul, bocah berusia sembilan tahun, akhirnya tiba. Sang ibu yang bekerja di Jepang sebagai tenaga kerja wanita akhirnya mendapatkan cuti tahunan untuk mengunjungi keluarganya di tanah air.
“Ayah, pasti Ibu tambah cantik, ‘kan?” Mata Arul membulat. Digenggamnya tangan Rudi—ayahnya. Mereka berdua duduk di ruang tunggu kedatangan bandara internasional.
“Tentu, Sayang. Ibu adalah wanita paling cantik di dunia.”
Rudi tersenyum riang, betapa kerinduannya selama setahun ini akan segera terhapuskan. Bukan perkara mudah bagi laki-laki sepertinya harus tinggal berjauhan dengan sang istri.
Setelah menunggu cukup lama, wajah yang dirindukan ayah dan anak itu akhirnya menampakkan sosoknya. Mengenakan pakaian modis, wanita itu berlari-lari kecil sambil menyeret koper ke arah dua lelaki yang juga ia rindukan.
Ketiganya lantas berpelukan erat, saling mencium satu sama lain. Lantas masing-masing menanyakan kabar, lanjut bercerita tentang kehidupan yang mereka jalani, disertai gelak tawa bahagia.
***
Hal menyenangkan bersama Ibu yang paling diingat Arul adalah ketika ia dibelikan sepeda baru oleh Ratna. Sudah sejak lama Arul menginginkan sepeda itu.
Tubuh kecil Arul belum bisa menaiki sepeda dengan seimbang, bocah kecil itu semangat belajar mengayuh sepeda di halaman rumah, peluh membasahi dahi serta bajunya, tapi tak menyurutkan semangat bocah itu agar bisa mengayuh sepeda dengan lancar.
“Lihat, Bu. Arul hampir bisa mengayuh sepeda ini.” Arul berujar sambil terus mengayuh sepeda. Tangan kecilnya berusaha kukuh memegang stang yang terus berbelok-belok.
Ratna tertawa melihatnya.
“Istirahat dulu, Rul! Nanti kamu kecapekan!” teriak Ratna dari teras.
“Sebentar lagi, Bu. Sedikit lagi aku bisa naik sepeda ini.” Arul berkata sambil mengelap peluhnya menggunakan ujung lengan baju. Sementara Ratna tertawa semringah hingga ujung bibirnya berkerut.
Momen-momen seperti inilah yang dirindukan Arul. Bermain ditemani sang ibu. Bocah kecil itu sering kali merajuk menginginkan Ratna agar tak pergi bekerja jauh dari dirinya.
“Arul, sabar, ya. Ada saatnya nanti Ibu pulang dan nggak kembali kerja jauh lagi,” ucap Ratna dengan mata mengembun, pada suatu malam saat mereka hendak tidur.
“Tapi kapan?” tanya Arul.
“Nanti, kalau uang Ibu sudah banyak dan bisa bikin rumah sendiri.” Ratna mengusap pucuk kepala putranya.
Ratna memandang Arul dari teras rumah kontrakan. Sesekali ia memekik tatkala putranya itu terjatuh, atau tertawa lepas saat Arul berhasil mengayuh beberapa putaran sampai akhirnya terjatuh lagi.
Wanita yang tetap cantik di usianya yang sudah tak muda lagi itu hanya tinggal beberapa hari di rumah. Setelah itu, ia kembali berangkat bekerja. Meninggalkan Arul berdua dengan Rudi, lagi.
Malam sebelum keberangkatan, Ratna memeluk erat tubuh mungil Arul dalam pangkuannya. Arul merasakan kedamaian yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bocah itu lagi-lagi bertanya mengapa ibunya tidak tinggal di rumah saja?
“Pasti sangat menyenangkan tinggal bersama Ayah dan Ibu, seperti teman-temanku,” ucap Arul.
Ratna menggeleng, kedua matanya basah. Diliriknya Rudi yang duduk di sebelah, lelaki itu menghela napas pelan, ada rasa bersalah yang terpancar dari matanya.
“Maafkan Mas, Dek.” Rudi menggenggam tangan Ratna. Sebelah tangannya ia gunakan untuk meraih kepala Ratna agar bersandar di bahunya.
“Tak ada yang perlu dimaafkan, Mas. Memang sudah jalannya seperti ini, mau gimana lagi?” ucap Ratna.
Arul saat itu belum sepenuhnya mengerti apa yang dibicarakan kedua orangtuanya. Namun, bocah itu bisa merasakan ada kesedihan yang mendalam di mata ayah dan ibunya.
Keesokan paginya, Arul dan Rudi mengantar Ratna ke bandara. Wanita itu terlihat sangat cantik dan berbeda dengan para ibu lain di kampung mereka. Mengenakan celana ketat juga jaket kulit berwarna cokelat, serta sepatu high heels warna senada, rambut ikal panjangnya ia biarkan tergerai, mirip seperti artis-artis yang sering terlihat di layar televisi.
“Arul, jangan bandel, ya. Nurut sama Ayah, jangan bikin Ayah repot.” Ratna berjongkok sambil memeluk putra tercintanya itu, bahunya berguncang. Pundak Arul basah karena air mata sang ibu.
Itulah hari terakhir Arul bertemu ibunya. Lebih tepatnya, bertemu Ibu yang tulus menyayangi ia dan ayahnya.
***
Semenjak keberangkatan Ratna, Rudi menjadi lebih pendiam. Sering terlihat ia memandangi pigura foto Ratna yang terpajang di dinding ruang tamu.
Rudi meminta Arul untuk tidur di kamarnya saja, agar ia tak merasa kesepian setiap malam. Menempati tempat tidur Ratna di sebelahnya.
Rudi adalah sosok ayah yang baik. Sebelum beranjak tidur, ia selalu mengajak Arul berdoa bersama kemudian membacakan dongeng-dongeng hingga putranya terlelap. Pria paruh baya itu juga telaten mengajari Arul mengaji serta belajar menulis.
Sering kali Arul mengungkapkan rasa irinya terhadap teman-teman yang selalu dekat dengan ibunya. Namun, Rudi selalu berupaya membesarkan hati bocah itu agar merasa cukup dengan kasih sayang dan perhatian yang ia berikan.
***
Lima bulan berlalu semenjak kepergian Ratna, seorang tetangga datang ke kontrakan Rudi membawa selembar koran.
“Istrimu itu nggak bener, Rud. Kamu nggak tahu ‘kan di sana dia kerja jadi apa?”
Rudi tak menyahut, ia menyuruh Arul yang tengah asyik menonton televisi agar masuk ke kamar. Arul bersungut-sungut, karena acara kartun kesukaannya belum selesai. Rudi lalu mematikan televisi kemudian menutup pintu kamar putranya.
Sejak hari itu, Rudi bekerja serabutan. Kadang menjadi kuli panggul di pasar, menjadi kuli bangunan, bahkan sesekali bekerja di sawah milik tetangga. Padahal biasanya pria itu hanya di rumah.
Dulu setiap awal bulan, Rudi akan mengajak Arul ke ATM, kemudian pulangnya mereka singgah di pasar membeli keperluan harian. Sesekali pria itu juga membelikan mainan untuk putranya. Sekarang, semua itu tak pernah dilakukannya lagi.
Rumah menjadi berantakan dan berdebu sejak Rudi bekerja, pergi pagi pulang malam hingga tak sempat membersihkan rumah. Setiap pagi setelah shalat Subuh, Rudi menyempatkan waktu untuk memasak. Kadang jika terburu-buru berangkat bekerja, ia memberi Arul uang jajan lebih untuk membeli makanan di warung.
Perut Arul memang tidak pernah kelaparan, tapi hatinya kesepian. Rudi sepertinya mulai lupa jika bocah itu tidak hanya butuh uang, tapi juga butuh kasih sayang.
“Ayah, kenapa Ibu nggak pernah video call lagi? Aku rindu, Yah,” ucap Arul suatu ketika, saat mereka baru selesai makan malam.
Wajah Rudi pucat mendengar pertanyaan putranya. Memang, sudah lebih dari sebulan tak pernah ada lagi panggilan video dari nomer Ratna. Ia tahu persis, putranya itu sangat merindukan ibunya.
“Nanti, kapan-kapan kita telepon Ibu, ya.” Rudi berkata sambil membuang muka, menatap ke luar jendela.
Sering kali Arul tertidur sambil memeluk selembar baju Ratna yang sering dikenakan ketika di rumah. Menghidu aroma khas yang masih melekat di sana, sambil berharap akan bertemu dengan sang ibu dalam mimpi.
Pigura-pigura foto Ratna sudah tidak terpasang di dinding, Arul pernah menanyakan keberadaannya, tapi Rudi diam tak menjawab.
***
Pagi itu hari Minggu, sudah sejak subuh Rudi pergi ke pasar untuk bekerja menjadi kuli panggul. Hari Minggu pasar memang sedang ramai-ramainya.
Arul yang sendirian bosan di rumah hanya menonton televisi, maka ia memutuskan untuk beres-beres rumah supaya terlihat sedikit rapi dan bersih.
Mula-mula, bocah itu mengumpulkan pakaian kotor di dalam kamar miliknya, kemudian berlanjut ke kamar sang ayah. Lima kemeja lusuh dan berbau keringat ia temukan tergantung di belakang pintu kamar. Seprai tempat tidur juga sudah kotor dan berantakan, maka Arul berniat memasukkannya sekalian ke dalam baskom.
Lipatan selembar koran terjatuh ketika Arul menyibak bantal milik Rudi. Bocah kecil itu lantas membuka lipatannya yang terlihat sudah usang.
Tidak ada yang aneh, itu hanyalah lembaran koran biasa, tapi kenapa Rudi menyimpannya?
Beragam pertanyaan memenuhi benak Arul, ia yakin pasti ada sesuatu. Mata bocah itu kemudian mulai mengeja, membaca baris demi baris berita dalam koran tersebut, seketika ia membelalak ketika mendapati sebuah judul yang terpampang besar-besar, disertai gambar foto Ratna.
“SEORANG TKW TEWAS DI TANGAN MAJIKAN PEREMPUAN.”
“TKW? Bukankah para tetangga sering menyebut pekerjaan ibu dengan sebutan itu?” Arul bergumam, otak kecilnya mulai menyambungkan benang-benang yang membuatnya penasaran.
“Ibu … apakah wanita ini benar ibuku?” Arul mengusap gambar foto Ratna dalam lembaran koran itu. “Apa yang Ibu lakukan sampai ada yang tega membunuhnya? Wanita simpanan? Apa itu?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi kepala Arul. Membuat rasa penasaran bocah itu kian menggunung.
“Ayah. Ya, aku harus menemui Ayah,” ujarnya pelan.
Secepat kilat Arul berlari menuju pasar tempat ayahnya bekerja. Tak dihiraukannya rasa nyeri pada telapak kaki saat menjejak jalanan kerikil berbatu. Bocah itu hanya ingin menuntut penjelasan sang ayah tentang apa yang baru saja ia lihat di koran itu. Langkahnya terus berpacu, membawa serta selembar koran usang dalam genggaman.
Rudi sedang duduk beristirahat di emperan sebuah toko kelontong, saat Arul datang di hadapannya dengan napas terengah-engah, berkali-kali Rudi mengelap peluh di dahinya menggunakan handuk kecil yang tengantung di pundak.
“Arul? Ngapain kamu kesini, Nak?” tanya Rudi, dahinya berkerut.
Arul tak menjawab, hanya mengulurkan lipatan koran yang sudah basah oleh keringat dan air mata.
“Apa ini, Yah?”
Tanpa menjawab pertanyaan Arul, Rudi langsung memeluk putra tercintanya.
“Maafkan Ayah. Maafkan ibumu ….”
Pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi berjejalan di kepala Arul menguap begitu saja saat melihat sang ayah menangis. Untuk pertama kali dalam hidupnya, bocah kecil itu melihat laki-laki tangguh di hadapannya meneteskan air mata.
Indragiri Hilir, 26 Agustus 2020
Musyrifatun, Seorang ibu rumah tangga yang suka mengisi waktu luangnya dengan membaca dan menulis, karena melalui dua hal tersebut ia bisa menambah ilmu, wawasan dan juga banyak teman. FB : Musyrifatun Darwanto.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata