Sang Mantan

Sang Mantan

Sang Mantan
Oleh : R Herlina Sari

Berbicara soal mantan, seharusnya sesuatu yang pantas dibuang ke tempatnya. Siapa pun bisa memungutnya. Mantan, kadang menyesatkan. Tak dapat dihilangkan padahal menyakitkan. Namun, mantan kali ini berbeda banget buatku. Dia adalah seseorang yang penuh kenangan. Sayang jika dibuang, lebih baik dimakan biar kenyang. Sadis, memang.

“Neng, minta mantan kamu,” kata Eka—sahabatku—saat kami asyik bercengkerama mesra berdua di atas ranjang kamar kosan.

“Tuh, ambil ndiri, ada di meja,” sahutku sekenanya.

“Ish … bukan mantan yang itu, dodol. Mantan kamu, boleh gak aku minta?” tanyanya lagi, sambil menunjuk bungkus berwarna merah yang terlihat sedap untuk dicomot.

Sok, ambil, nyebelin juga ini dia,” kataku. Aku berjalan ke arah meja, mengambil sesuatu di sana, dan mulai memakannya. Nikmat bener memang mantan yang satu ini.

“Beneran, ya, jangan nyesel. Pan mantan kamu kemarin ngajak balikan?” tanyanya lagi. Sambil meraih makanan yang ada di tanganku.

“Katanya, gak mau mantan yang ini? Kok main ambil aja, kamu?”

Aku menyebik. Entah mengapa melihat dia lagi pegang mantan kok ada rasa cemburu. Mana itu rasa yang paling aku suka, daging panggang, main embat aja. Kan, akunya sedih. Udah jomlo, mantannya direbut pisan. Lengkap sudah penderitaan ini.

“Mantan yang ini rasanya enak, gak sia-sia aku comot sebungkus.” Eka berkata sambil ngemil.

“Eh, Ka. Kamu inget sama Bayu, gak?”

“Bayu? Yang mantan kamu itu? Yang orangnya gagap, bengek, dan tukang latah itu?” tanyanya. Entah kenapa rasanya pengen aja bahas si Bayu.

“Iya lah, Ka. Siapa lagi mantan aku kalau bukan cowok terganteng seantero kampus itu?” Aku menjelaskan sambil makan keripik mantan.

“Terus, kenapa?” tanya Eka.

“Bayu mau jadi manten. Sama anak kelas sebelah.”

“Iyakah? Sama siapa? Kok aku baru denger?” tanyanya lagi.

“Itu sama cewek kutu buku, namanya siapa ya, Tari apa Taro?”

“Tayo kali,” sahut Eka.

“Hush. Tayo kan bus. Gimana, sih?” kataku sambil mengunyah keripik mantan yang sisa tak seberapa.

“Lha, kamu diajak ngomong serius juga. Malah ngajak gelut. Namanya itu Tarisa. Anak Sastra Inggris.” Eka berdiri, meraih gelas yang ada di meja sebelah kiri.

“Nah, itu kamu tahu. Berarti tadi kamu pura-pura bloon ya, Ka?” tanyaku. Aku merebut keripik mantan di genggaman tangannya. “Yah … tinggal dikit. Jahat kamu, Ka!”

Aku bergegas pergi dari kamar. Pura-pura marah, padahal mau beli keripik mantan di toko sebelah.

“Naaa, Naaa, tungguin. Mau ke mana kamu?” Eka berlari mengerjarku. Langkah kakinya terseok-seok hingga jatuh karena terbelit rok yang dia pakai.

“Mau jemput mantan!” sahutku, tak memedulikan dia yang berteriak kesakitan. Salah sendiri habisin keripik mantan kesukaanku. Mana gak pakai modal pula, tinggal comot.

“Naaa, tungguin! Aku ikut,” panggilnya. Melihat kondisinya yang amburadul sontak aku tertawa terbahak-bahak. Bagaimana tidak? Eka yang biasanya selalu tampil prima, sekarang dalam kondisi acak-acakan, rambut tak beraturan, lipstik belepotan, baju compang-camping, dan rok yang robek sebelah. Bukan Eka banget, deh!

“Ngapain ikut?” tanyaku pada Eka yang masih mengatur napasnya yang memburu.

“Aku mau ketemu mantan kamu,” jawabnya dengan mimik serius.

“Iih, mana ada orang mau ketemuan ama mantan dibuntutin? Nggak, pulang, sonoo. Tar, aku gak bisa nostalgia lagi,” usirku sambil mendorong tubuhnya pelan.

Eka merenggut kesal, tapi tak urung ia pergi juga. Andai gadis itu tahu, aku pergi bukan karena mau menjemput mantan, tapi tak kuasa menahan tangis kalau ingat mantan.

Huaaa ….

Gara-gara ngomongin mantan, hatiku kebat-kebit gak karuan. Kebayang wajah cakepnya, senyum sama ucapan manisnya yang bikin terbang.

Kalau mantan aku gak ganteng kayak gitu, sudah dari dulu aku relain digebet sama orang. Sekarang, dengar dia mau nikah, aku nggak rela, Tuhan ….

Eh, ke mana cewek nyebelin satu itu? Kirain dia ngejar aku yang lagi patah hati berkali-kali ini. Tahunya, aku dari tadi ngelamun sendirian sambil memandang hamparan jalan.

Keripik mantan yang kumakan ludes tak bersisa. Seharusnya melupakan mantan itu seperti makan keripik, kunyah, abis, sisa rasa di tenggorokan, akan hilang seiring dengan air yang mengalir di kerongkongan.

Aku menunggu Eka dengan sabar, kali saja itu anak sedang kesasar di hati orang, dengan jantung berdebar. Tiba-tiba bahuku ada yang memegang. Sontak aku pun menegang, merinding pada saat yang bersamaan.

“Na ….” Suara itu begitu dekat di telinga. Menimbulkan debaran yang tak biasa. Debaran yang sama seperti dulu. Aku menoleh ke arah suara.

“Ba-Bayu.”

“Nih, undangan,” katanya.

Aku buka sebuah undangan yang dia genggamkan di tanganku. Tertulis sepasang nama di sana. Bayu dan Dina. Loh kok aku kenal sama nama mempelai wanitanya? Kok bisa?

“Bay? Bagaimana mungkin?” tanyaku keheranan. “Bukankah harusnya dengan Tarisa?” lanjutku lagi.

“Iya … itu undangan salah nama. Gak tau percetakannya nulis seperti itu, jadi ya harus kita lanjutkan,” katanya cuek. Kemudian pergi meninggalkanku yang sedang terdiam.

Kita lanjutkan? Serius?

Ini prank, bukan?

 

Sub, 05 Agustus 2020

R Herlina Sari, lebih dikenal dengan nama pena RHS. Seorang melankolis yang mempunyai hobi membaca juga menulis.

Editor: Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata