Terbiasa

Terbiasa

Terbiasa
Oleh : Medina Alexandria

“Waktu tidak menyembuhkan, ia hanya membuat kita terbiasa.”

Teman saya, si Aini mengatakan itu ketika saya mengatakan: Saya sudah berhenti menangisi Mufik. Saya akhirnya sembuh.

Entah dari mana Aini mengutip kata-kata puitis itu, yang jelas menurut saya maknanya sama saja. Lambat laun luka ini tak akan lagi meneteskan darah, air mata pun pasti menyusut lalu mengering pada waktunya.

Berbulan-bulan terombang-ambing dalam tanya: kenapa kekasih saya tak pernah lagi datang ke rumah, memaksa hati untuk menelaah dan menerima dugaan-dugaan yang melatarbelakangi kisah cinta kami yang berakhir tanpa kejelasan.

Waktu itu, untuk pertama kalinya ia mengundang saya ke rumahnya setelah sebelum-sebelumnya, ialah yang mendatangi saya setiap Sabtu malam. Tak pernah tebersit dalam pikiran, bahwa kunjungan pertama itu sekaligus menjadi yang terakhir.

Ibu Mufik sangat ramah. Tutur katanya lembut seperti kebanyakan perempuan-perempuan Jawa. Beliau menyambut saya dengan baik. Namun satu hal darinya yang membuat saya sampai pada dugaan-dugaan dan memaksa menerima prasangka itu sebagai kebenaran: saat putranya menyampaikan bahwa saya adalah seorang Madura, raut mukanya berubah cepat, ia terlihat sedikit terperanjat, rahangnya mengejang, dan matanya tampak waspada. Detik kemudian,mimik wajah ibu Mufik melunak. Namun, reaksi sekilas itu, membekas di kepala saya hingga kini atau mungkin selamanya.

Lalu, Mufik tak pernah lagi datang, dan berminggu-minggu setelahnya, saya masih menunggunya. Saya memang hanya mampu menunggu dan menduga-duga, sama seperti saat ia tak kunjung menyatakan cintanya dulu, pun saat ia menghilang tanpa pesan.

Ada batas antara saya dengannya, dan batas itu menjadikan cinta kami sebuah kemustahilan. Ibunya tidak merestui, dan Mufik adalah anak yang tahu diri.

Taman kecil tempat saya beristirahat, siang ini begitu sepi, mungkin karena itu saya menjadi terlalu khusyuk dalam lamunan, tempat ini menyeret ingatan pada segala hal yang saya lalui bersama Mufik bertahun silam.

Tiga tahun saya melalui jalanan di sisi taman ini bersama Mufik. Ah, kalian mungkin belum tahu, dulu waktu saya masih SMA, ia adalah kusir delman dan saya adalah pelanggannya. Cinta kami bersemi di atas kereta kuda.

Namun taman ini tak lagi terasa sepi saat suara tawa yang sangat saya kenal tiba-tiba menerobos gendang telinga. Tawa dalam dan berat yang seolah-olah berasal dari dalam dada. Salah satu hal yangdulu membuat saya jatuh cinta pada pemiliknya.

Tak jauh di depan saya, seorang laki-laki mendorong ayunan dengan bocah kecil duduk di papannya. Ia menjerit-jerit girang saat ayunan itu melambungkan tubuh mungilnya. Dan lelaki itu menatap ke arah saya.

Ia menunduk di sisi kepala bocah laki-laki itu, tampak seperti membisikkan sesuatu. Anak itu mengangguk-angguk. Lalu ia berjalan … ke arah saya. Semakin pendek jarak antara kami, semakin rapat jantung ini berdegup.

“Apa kabar?” Ia mengulurkan tangan. “Boleh saya duduk?”

Saya menerima uluran tangannya dengan ragu-ragu lalu bergeser memberi tempat padanya untuk duduk di sisi kanan saya.

Waktu seakan berhenti bergerak. Keheningan yang menyiksa, dan hanya jantung yang bersuara begitu kencang sehingga rasanya saya dapat mendengarnya.

Lelaki di samping saya menghela napas.

“Beberapa waktu lalu saya bertemu Aini, dan saya senang hari ini melihat keadaan kamu baik-baik saja.”

Saya bergeming.

“Bagaimana kabar Ibu?” Saya bertanya tanpa menoleh padanya. Melalui ekor mata, saya lihat ia menarik napas panjang.

“Ibu sudah tiada.”

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, saya turut berduka, Fik.” Laki-laki itu mengangguk, kemudian hening.

“Mungkin sudah terlambat, tapi bolehkah saya ceritakan padamu tentang masa lalu?”

Saya tidak menjawab, mungkin karenanya ia anggap saya bersedia mendengarnya.

“Beberapa hari sebelum Ibu mengembuskan napas terakhir, beliau sekali lagi meminta maaf pada saya, juga meminta saya untuk menyampaikan permohonan maaf sama kamu,” suara orang yang pernah saya cintai itu terdengar serak, “maafkan saya, Mar. Harusnya dulu saya mendatangimu untuk sebuah penjelasan. Saya dapat membayangkan bagaimana keadaan kamu saat itu, tapi saya sangat malu, padamu, pada ibu-bapakmu. Dan saya pengecut!”

Mata saya mulai panas dan mengabur.

“Suami kakak perempuan saya, orang Madura, sama seperti kamu. Dia orang yang sangat keras. Tak jarang dia memukuli kakak saya bila sedang marah. Buntutnya dia meninggalkan kakak saya begitu saja saat sedang mengandung. Saya tahu perlakuan Ibu tidaklah adil terhadap kamu, Mar, tapi saya bisa memahami ketakutannya. Saya mohon jangan benci ibu saya.”

Dengan punggung tangan, saya menyeka air mata yang mulai menetes, lalu mengangkat wajah ke arah bocah yang masih sibuk mendayung ayunan dengan kaki-kaki mungilnya. Bocah itu tampak mulai bosan, ia berhenti mendayung, berdiri, kemudian melangkah ke arah kami.

“Apakah dia anak kamu?” saya tidak tahu kenapa menanyakan pertanyaan bodoh ini, tapi sudah tak mungkin saya tarik kembali.

Ia tersenyum. Ada sesuatu dalam hati yang terusik saat melihat reaksinya. Apakah saya kecewa?

Bocah lelaki itu sangat manis, garis mukanya mirip sekali dengan Mufik. Tanpa diperintah, ia meraih lalu mencium tangan saya.

Kekhawatiran akan luka lama yang akan kembali terbuka membuat saya memutuskan pergi setelah mengacak-acak lembut rambut bocah yang ternyata bernama Aryo itu. Sepertinya saya sedikit keliru, tentang hati yang sebelumnya saya kira sudah sembuh ini.

“Saya sudah memaafkan Ibu. Sejak dulu. Saya minta maaf atas segala hal yang kurang berkenan di masa lalu, dan saya juga memaafkanmu.”

*

Tak berapa lama, sebelum pertemuan kita, aku bertemu Aini, Mar. Ia bercerita pada saya tentang derita dan air matamu akibat kepengecutan saya enam tahun silam. Kamu tertatih-tatih bangkit, sendiri mengobati luka hati yang saya torehkan. Dan ia bilang, kamu telah terbiasa dengan semua rasanya, kamu tak lagi menangis, senyummu yang telah lama hilang sekarang kembali mengembang. Saya senang mendengarnya. Kamu mungkin telah memaafkan saya, tapi saya tak akan bisa memaafkan diri saya sendiri.

“Paman, ayo kita pulang!” (*)

 

Medina Alexandria, bidan yang suka menulis.

Editor : Fitri Fatimah

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata